Jakarta, CNN Indonesia --
Lantunan berbahasa Arab menggema di salah satu sudut ruang Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Kamis (25/1) siang. Para santri duduk bersila tanpa alas. Tangan mereka menopang kitab kuning dengan mata yang tak berhenti memandang.
Dalam jejeran yang tak rapi, kemeja dan kain sarung mereka tak seragam. Satu dua santri, sesekali membenarkan letak peci di kepala.
Lirboyo salah satu pondok tertua di Jawa Timur. Usia pondok yang didirikan KH Abdul Karim ini sudah satu abad lebih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini jumlah santri Lirboyo mencapai 39.534 orang.
Seperti pondok tradisional lain di Jawa Timur, afiliasi Lirboyo dengan Nahdlatul Ulama terjalin lewat kesamaan mazhab, tradisi salaf, dan pertalian para pendiri dan keturunannya dengan ulama-ulama NU. KH Abdul Karim tercatat pernah menuntut ilmu kepada para sesepuh NU antara lain Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari.
Sekitar satu bulan sebelumnya, keluarga besar pondok ini menyatakan dukungan kepada calon presiden dan pasangan nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Deklarasi dipimpin langsung oleh Pengasuh Utama Ponpes Lirboyo KH Anwar Mansyur.
Deklarasi Lirboyo menjadi suntikan berarti bagi Cak Imin lantaran survei sejumlah lembaga hingga akhir Desember 2023, elektabilitasnya di Jatim bersama Anies tak kunjung beranjak dari peringkat tiga.
Sementara bagi Lirboyo, dukungan kepada AMIN menandai perubahan arah politik pondok untuk kesekian kali.
 Pengurus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur saat menyampaikan dukungan kepada calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan serta Muhaimin Iskandar (AMIN). ANTARA/HO-Timnas AMIN |
Lirboyo memang punya catatan keterlibatan politik cukup panjang yang terus berlanjut sampai hari ini.
Pada Pilpres 2014, Lirboyo terang-terangan mendukung Prabowo-Hatta Rajasa yang kala itu menghadapi Jokowi-Jusuf Kalla.
Kemudian, Pilpres 2019,Lirboyo berubah haluan dengan mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.
Paslon-paslon yang didukung itu selalu berhasil menang di TPS-TPS dalam kompleks Lirboyo dan sekitarnya.
Patronase politik kiai
Berdasarkan data Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Jatim tahun ajaran 2022-2023, provinsi ini memiliki 6.826 pesantren, 992.563 santri/santriwati dan 89.773 ustaz/ustazah.
Dengan jumlah hampir satu juta santri, dukungan sebuah pondok tak bisa dianggap remeh.
Untuk pondok-pondok besar dan tua, dukungan mereka tak hanya berpotensi diikuti ribuan santri aktif, melainkan juga orang tua santri hingga para alumni, yakni para ustaz yang tersebar di pesantren-pesantren lain.
Bahkan dukungan pondok bisa mempengaruhi pilihan warga sekitar sebagaimana diperlihatkan Lirboyo pada Pemilu 2014 dan 2019 lalu.
Efek turunan itu tak lepas dari status kiai yang cukup istimewa di masyarakat, terutama di pedesaan Jawa Timur yang selama ini dikenal sebagai basisnya warga nahdliyin.
Survei SMRC pada Oktober tahun lalu mencatat ada sekitar 40 juta warga NU yang akan memilih di Pilpres 2024. Dari survei yang sama, sebanyak 48,4 persen warga di Jawa Timur mengaku sebagai bagian NU.
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam menyebut para kiai adalah panutan dan sumber rujukan berbagai hal, termasuk soal politik.
Surokim berkata pengaruh kiai-santri dalam politik di Jatim dapat dilihat dari beberapa hal.
Pertama, kiai sering kali menjadi tokoh sentral dalam tiap kontestasi politik. Mereka bisa menjadi juru kampanye atau bahkan caleg.
Kedua, santri juga sering kali terlibat aktif dalam kegiatan politik. Mereka bisa menjadi relawan atau bahkan caleg karena dukungan dan dorongan kiai.
Ketiga, keputusan kiai dalam politik sering kali diikuti para santri. Hal ini dikarenakan para santri menaruh kepercayaan dan rasa hormat yang tinggi kepada kiai.
Surokim menyebutnya sebagai patronase politik.
Salah satu pengasuh Pesantren Darul Ulum Jombang, KH Zahrul Jihad atau Gus Heri, menamakan relasi kiai-santri itu dengan sebutan nderek kiai.
Darul Ulum seperti Lirboyo, jadi salah satu pesantren NU tertua yang memiliki banyak santri. Bedanya, sikap politik Darul Ulum tak segamblang Lirboyo.
Tidak ada deklarasi terang-terangan dari para pengasuh seperti dilakukan oleh Lirboyo baru-baru ini. Pun, tak ada spanduk atau baliho para capres-cawapres di sekitar kompleks pesantren.
Gus Heri mengatakan baru capres nomor urut 1 Anies Baswedan yang berkunjung ke pesantrennya jelang Pilpres 2024.
"Di Darul Ulum, Anies pernah ke sini, dua kali," kata Gus Heri kepada CNNIndonesia.com.
Meski demikian, Gus Heri mengklaim mayoritas kiai di keluarga besar Darul Ulum, termasuk dirinya, condong mendukung Prabowo-Gibran.
Faktor terbesarnya ialah sosok Presiden Jokowi.
Gus Heri mengatakan dukungan ke Prabowo-Gibran ia sampaikan secara terang-terangan kepada santri yang disebutnya berjumlah 11.700 orang.
Kepada santri yang belum memiliki hak pilih, Gus Heri meminta mereka untuk menyampaikan pesan politik ke orang tuanya di kampung. Ia yakin mereka akan amanah mengikuti perintahnya itu.
"Hampir seminggu sekali saya sampaikan itu. Karena untuk penguatan. Saya katakan pada anak-anak, tolong sampaikan pada orang tua masing-masing," kata Gus Heri yang juga merupakan Sekretaris Partai Demokrat Jombang ini.
Klaim Gus Heri, tradisi nderek kiai di Darul Ulum masih terjaga. Karenanya, ia yakin dua kunjungan Anies tak akan mempengaruhi para santri.
Baca halaman berikutnya: Gugatan santri-santri muda
Perbedaan dukungan politik Lirboyo dan Darul Ulum sedikit banyak menggambarkan fragmentasi para kiai di Pilpres 2024. Pada level santri, yang terjadi lebih dari sekadar fragmentasi.
Beberapa santri muda bahkan menggugat otoritas kiai di ranah politik.
Achmad Taufiq, 24 tahun, salah satu santri di Lirboyo. Taufiq mengaku mendengar ustaz mereka memberikan informasi dan pandangannya tentang satu per satu capres.
"Kalau [arahan] sih, itu enggak ada yang menyarankan. Kalau ada, pun, hanya menerangkan capres ini seperti ini, ini seperti ini, gitu," kata Taufiq.
Taufiq juga tahu bahwa keluarga besar Lirboyo sudah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan AMIN di Pilpres 2024. Tapi Taufiq menegaskan sikap Lirboyo tidak mempengaruhinya saat masuk bilik pencoblosan.
Taufiq percaya santri wajib takzim atau hormat kepada kiai, kata Taufiq. Namun ia meyakini soal pilihan politik adalah urusan pribadi dan hati masing-masing.
"Kalau [terpengaruh] itu enggak, karena ya itu, kami walaupun takzim, tapi itu ada batasannya. Dalam artian, kami enggak memilih orang atau calon pemimpin ikut dari orang lain, kalau disarankan itu boleh, namun kalau hak kita sendiri kan harus kita yang yakini," ujarnya.
Ia kembali menekankan pentingnya hak atau otonomi individu ketimbang otoritas lain yang berasal dari luar. Buat dia, hak adalah sesuatu yang berharga dalam diri setiap manusia.
"Hak pilih itu hak kami sendiri, bahkan itu mahal harganya dan enggak bisa dibeli dengan harga berapapun," lanjut santri asal Blitar ini.
Jika Taufiq menggugat otoritas politik kiai, Imam --bukan nama sebenarnya-- malah mengaku jengah.
Imam mengaku sempat mendengar pernyataan guru atau ustaz menyampaikan keunggulan paslon tertentu.
"Kalau ustaz, enggak semuanya, tapi ada yang kayak mengarahkan buat ngasih tahu kelebihan salah satu paslon buat mendukung paslon tersebut. Ada yang memilih paslon ini, dan menjelekkan paslon lain," ujarnya.
Usia Imam belum memenuhi syarat untuk mencoblos pada 14 Februari mendatang. Namun ia terang-terangan mengaku tidak nyaman dengan gerilya sebagian ustaz yang mensosialisasikan salah satu paslon di ruang kelas.
"Kalau bisa dihilangkan. Kan, ini sekolah, kalau bisa dihindarilah," katanya.
Surokim menyebut temuan empiris tentang santri yang tak lagi mengikuti pilihan kiainya dalam Pilpres 2024 ini menunjukkan gejala mulai lunturnya budaya patronase politik di pesantren.
"Saya melihat tren tersebut dan saya meyakini bahwa pemilih Nahdliyin kelas menengah akan terus berkembang," kata Surokim.
Apabila benar demikian, Surokim menyebut pertarungan di Jatim akan semakin sulit terbaca
Pertarungan yang sulit diprediksi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pemilih di Jawa Timur pada Pilpres 2024 mencapai 31.402.838 orang. Jumlah itu setara dengan 15,33 persen dari total pemilih di seluruh Indonesia.
Lembaga survei Indikator Politik merekam tren menarik di Jawa Timur.
Berdasarkan hasil empat Pilpres sejak 2004 hingga 2019, pemenangnya selalu pasangan yang juga unggul di Jawa Timur selain di wilayah potensial lain.
Survei terbaru Indikator di Jawa Timur yang dirilis 1 Februari 2024 merekam bahwa pandangan tokoh masyarakat sekitar terkait capres/cawapres dinilai sebagai hal yang cukup/sangat penting.
Dari survei itu, 50,9 persen responden yang menganggap penting pandangan tokoh masyarakat. Yang menganggap kurang atau tidak penting sebesar 42, 9 persen dan yang tidak tahu atau tidak jawab ada 6,3 persen.
Khusus di kalangan NU, ada 53,8 persen yang menganggap penting. Lalu 41,5 persen menganggap kurang atau tidak penting dan 4,6 persen bagian NU yang tidak tahu/tidak jawab.
Para politikus menangkap hal ini. Ketiga paslon yang bertarung di Pilpres 2024 pun bersaing merekrut tokoh-tokoh agama dari NU dan Jatim masuk tim pemenangan.
Anies-Cak Imin mengandalkan mesin politik dan jejaring keagamaan dan pesantren yang dimiliki PKB. Ketokohan Cak Imin dan caleg-caleg PKB diharapkan menjadi magnet.
Sementara Prabowo-Gibran merekrut sejumlah tokoh yang sempat menjadi pengurus PBNU. Mulai dari Nusron Wahid, Habib Luthfi, hingga yang teranyar Khofifah Indar Parawansa.
Dari kubu Ganjar, ada sosok Yenny Wahid, putri dari mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh besar yang pernah ada dalam sejarah NU.
Tokoh-tokoh tersebut, bersama jejaring politik mereka dengan pesantren dan kiai-kiai terkemuka, diharapkan bisa mendulang suara besar di Jatim.
Dari survei terbaru Indikator, peta elektabilitas di Jawa Timur saat ini dipuncaki oleh Prabowo-Gibran, diikuti oleh Ganjar-Mahfud dan Anies-Cak Imin. Namun, jika tren lunturnya budaya patronase politik ini benar terjadi di Pilpres 2024, menurut Surokim, pertarungan politik di Jawa Timur dipastikan bakal semakin dinamis.
"Ini akan menjadi fenomena menarik saat voters pesantren yang selama ini selalu ikut patron kiai terdekatnya sekarang mulai bergeser independen," ujar dia.
Pada kondisi ini, para timses mungkin hanya bisa menggambar sketsa-sketsa kantong suara paslon jagoan mereka tanpa bisa memetakan secara meyakinkan perolehan elektoral dari kantong-kantong tersebut.
Sebab, dalam budaya patronase yang meluntur, otoritas kiai dan afiliasi aktor-aktor politik terhadap ormas keagamaan bahkan termasuk PBNU, menjadi sulit untuk diandalkan.
 Foto: CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani Insert - Demografi Pemilih Jawa Timur |
Akan gegabah jika melihat memudarnya patronase ini sebagai sebuah pembangkangan santri terhadap kiai atau ajaran-ajarannya.
Apa yang menjadi sikap Taufiq dari Lirboyo dan para santri lain yang memilih berbeda dengan para kiai, harus dilihat secara lebih jernih.
Bagi Surokim, lunturnya patronase politik di pesantren ada kaitannya dengan tumpah ruah informasi politik yang didapat para santri dan warga pesantren.
Intelektual muslim ternama yang juga jebolan Darul Ulum Jombang, Nurcholis Madjid, punya penjelasan tak kalah menarik untuk memahami sikap Taufiq dan kawan-kawan santri lain.
Menurut Cak Nur (1992:562-563), partisipasi politik dalam Islam sebagaimana diperlihatkan Taufiq, berakar dalam adanya hak-hak pribadi dan masyarakat yang tidak boleh dihindari.
Hak individu ini, disebut Cak Nur membawa sisi lain dari prinsip hidup manusia dalam Islam yang ditegaskan dalam Al-Quran. Prinsip ini menekankan bahwa manusia tidak akan dituntut pertanggungjawabannya, kecuali atas apa yang ia lakukan sendiri.