Eks Ketua KY Sebut Gelombang Kritik Kampus adalah Orkestrasi Moral

CNN Indonesia
Senin, 05 Feb 2024 22:45 WIB
Guru Besar FH UMS yang juga pernah jadi Ketua KY, Prof Aidul, mengatakan manifesto civitas sejumlah kampus beberapa waktu terakhir adalah orkestrasi moral.
Pembacaan Maklumat Kebangsaan Civitas Academica UMS di Gedung Siti Walidah, Kompleks Kampus UMS, Senin (5/2). (CNN Indonesia/Rosyid)
Solo, CNN Indonesia --

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Profesor Aidul Fitri Ciada Azhari menyayangkan sikap Istana yang menyebut kritik dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sebagai orkestrasi politik partisan.

Hal itu diutarakan Aidul usai membacakan Maklumat Kebangsaan Civitas Academica UMS di Gedung Siti Walidah, Kompleks Kampus UMS, Senin (5/2).

Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu membantah gerakan para akademisi itu muncul dari orkestrasi politik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya mendengar dari beberapa kalangan, ya sebutlah dari Pihak Istana, ini sebagai orkestrasi politik. Saya kira ini orkestrasi kewarasan, orkestrasi nurani, orkestrasi moral," kata Aidul.

Ia menyinggung gerakan serupa sempat bermunculan saat Pemerintah merevisi UU KPK dan mengesahkan UU Cipta Kerja. Kebijakan tersebut dipandang bermasalah sehingga menuai kritik dari para akademisi. Bahkan, dua beleid itu memicu gelombang aksi #ReformasiDikorupsi Jilid satu dan dua di berbagai daerah di tanah air hingga menimbulkan korban jiwa.

Meski demikian, Pemerintah tetap melenggang dengan Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Bahkan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk melanggengkan UU Cipta Kerja yang sudah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Aidul menyarankan Pemerintah agar lebih membuka diri terhadap kritik dari kalangan kampus. Ia mengingatkan respon-respon negatif dari Pemerintah dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

"Yang saya khawatirkan, kalau katup ini tertutup terus, bukan tidak mungkin hal-hal yang tidak kita inginkan itu terjadi," katanya.

Ia pun memastikan seruan yang belakangan muncul dari para akademisi lahir dari keprihatinan kalangan kampus terhadap kondisi demokrasi dan kebangsaaan yang kian merosot beberapa waktu terakhir. Ia yakin gerakan tersebut tidak muncul karena dorongan kelompok politik manapun.

"Para akademisi ini tidak terkoneksi dengan misalnya, koalisi masyarakat sipil tertentu atau gerakan di luarnya. Tidak," katanya.

"Jadi murni berangkat dari pertimbangan atau diskusi internal kampus. Karenanya Yang muncul guru besar," lanjut Aidul.

Aidul menambahkan seharusnya para akademisi disibukkan dengan penelitian dan mengajar di kampus. Ditambah lagi dengan kesibukan administratif lain yang cukup membebani.

"Jadi sebenarnya bisa dibayangkan, jangankan berpikir yang bersifat politis, untuk menghadapi kegiatan sehari-hari saja sudah cukup banyak. Riset dan sebagainya," katanya.

Hanya saja mereka melihat kondisi demokrasi di tanah air kian terpuruk. Diawali dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk bersanding dengan Prabowo Subianto di Pemilu 2024. Diperparah lagi dengan praktik politik dari Penyelenggara Negara yang tidak netral saat Pemilu. Hal itu berpotensi menjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara.

"Karena keadaan dirasakan semakin memburuk, saya kira panggilan moral itu menjadi lebih kuat untuk tampil menyerukan keprihatinan terhadap perkembangan demokrasi," katanya yang jadi Ketua Komisi Yudisial pada 26 Februari 2016 hingga 5 Juli 2018.

(syd/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER