Cerita Filosofis Masjid Tua dan Kampung Islam Desa Adat Denpasar Bali

CNN Indonesia
Rabu, 13 Mar 2024 05:00 WIB
Masjid Al Muhajirin yang berdiri sejak 1908 menjadi saksi peradaban kampung islam di Desa Adat Kepaon, Denpasar, Bali.
Suasana di Masjid Besar Al Muhajirin di Kampung Islam Kepaon, Kota Denpasar, Bali, Selasa (5/3). (CNN Indonesia/Kadafi)

Sayuti menjelaskan  berdirinya Masjid Al Muhajirin Ini tidak terlepas dari masyarakat yang hidup di sekitar masjid, yaitu warga Kampung Islam Kepaon. Kampung Islam Kepaon adalah kampung muslim yang dihuni warga asli Bali yang akar sejarahnya dari Puri Pemecutan.

"Kalau awal mula kedatangan kita di sini, yang lebih paham mungkin sejarahwan dari Puri Pemecutan, karena di sana asalnya kita. Kita [warga di Kampung Islam Kepaon] minim bukti sejarah, lain dengan kampung muslim lainnya yang bukti sejarahnya ada," ujarnya.

Berdasarkan penelusuran ke berbagai sumber, didapat sejarah terbentuknya Kampung Islam Kepaon masih berhubungan erat dengan Kerajaan Badung atau yang kerap disebut Puri Pemecutan. Dan, munculnya Kampung Muslim Kepaon juga tidak lepas dari kisah Raden Ayu Siti Khotidjah dan Raja Suryadiningrat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari berbagai cerita yang didapat, bahwa nama asli Raden Ayu Siti Khotidjah adalah Gusti Ayu Made Rai atau juga dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Raden Ayu Pemecutan, adalah seorang Putri Raja Pemecutan. Sementara, dari berbagai versi cerita, Raden Ayu Pemecutan diketahui menikah dengan Putra Raja Bangkalan, Madura, yang bergelar Raden Suryadiningrat.

Kemudian, berselang beberapa hari setelah menikah Raden Suryadiningrat memutuskan kembali ke Bangkalan, Madura, dengan mengajak sang istri. Sesampainya di Madura, kedua mempelai kembali menjalani upacara pernikahan secara Islam. Gusti Ayu Made Rai pun menjadi mualaf dan mengubah namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah atau Raden Ayu Pemecutan.

Kemudian, beberapa tahun setelah menetap di Madura, Raden Ayu memutuskan untuk pulang ke Bali untuk menjenguk orang tua dan keluarganya lantas dia berangkat dengan pengawalan 40 prajurit.

"Kalau diperkirakan misalkan putri raja itu meninggalnya tahun berapa. Mungkin tiga atau lima tahun sebelumnya (leluhur) kita sudah di sini, diperkirakan kan begitu," ujar Sayuti.

Sayuti menyampaikan leluhurnya yang bermukim di Desa Adat Kepaon bukan keturunan Raja Suryadiningrat secara langsung. Sebab diceritakan turun temurun bahwa Raja Suryadiningrat dan Raden Ayu Siti Khotijah tak memiliki keturunan.

Leluhurnya di desa tersebut yang beranak pinak hingga kini adalah  keturunan para prajurit yang mengawal Raja Suryadiningrat dan Raden Ayu Siti Khotijah.

"Kita memang bukan keturunan raja secara langsung karena rajanya kan tidak punya anak. Putri (Raden Ayu Siti Khotijah) itu yang konon nenek moyang kita. Dan kita kan bukan keturunan langsung sebenarnya, Raja dari Madura Suryadiningrat itu ke sini dengan beberapa prajurit dan beberapa penggawanya, iya kita (keturunan) dari sananya bukan dari keturunan raja aslinya," ujar Sayuti.

"Raja dan para prajuritnya menetap di sini satu rombongan itu. Raja Suryadiningrat ke sini ceritanya mengobati Putri Pemecutan karena bisa sembuh dinikahkan, kan begitu ceritanya dan belum sempat punya anak. Keberadaan (leluhur) kita ini diyakini dari rombongan (Raja Suryadiningrat) yang menetap. Cuma, kita tidak mengerti rombongan yang dibawa itu apakah rakyat jelata, apakah memang ada patih dan segala macamnya, kita itu tidak tahu. Kebenaran itu yang tahu dari Puri Pemecutan sebenarnya," ujarnya.

prasasti yang menandai berdirinya Masjid Al Muhajirin pada 1426 Hijriah atau 1908 Masehi. Prasati kayu itu menjadi  salah satu catatan sejarah yang menunjukan Masjid Al Muhajirin dan Kampung Islam Kepaon telah lama hidup dan tinggal di Kota Denpasar, Bali.  (Dok. Facebook resmi Masjid Al Muhajirin)Masjid Al Muhajirin di Denpasar berdiri pada 1426 Hijriah atau 1908 Masehi. Prasati kayu ini menjadi salah satu catatan sejarah yang menunjukkan Masjid Al Muhajirin dan Kampung Islam Kepaon telah lama hidup dan tinggal di Kota Denpasar, Bali. (Dok. Facebook resmi Masjid Al Muhajirin)

Tradisi di bulan Ramadan

Kampung Muslim Kepaon saat Bulan Ramadan memiliki tradisi unik yaitu Megibung atau para warga makan bersama dalam satu wadah yang sama di dalam Masjid Al Muhajirin. Sayuti menerangkan tradisi megibung ini dilakukan saat warga berbuka puasa bersama di bulan Ramadan.

Kemudian, untuk warga menyediakan hidangan makanan dibagi menjadi tiga tempat. Warga Kampung Islam Kepaon menyumbang bergiliran dari sisi selatan, tengah, dan utara setiap 10 hari. Saat 10 hari Ramadan ini sumbangan dimulai dari warga sebelah selatan.

"Kita sebenarnya sama pada umumnya ada tarawih dan tadarus Alquran cuma dulu kita dibagi tiga wilayah. Wilayah Selatan, tengah dan utara jadi ada tiga wilayah. Jadi, setiap Ramadan kita khataman tiga kali. Jadi 10 Ramadan pertama kita khataman, 10 hari kedua kita khataman lagi dan 10 hari ketiga kita selamatan semacam seremonial," ujar Sayuti.

"Jadi 10 (hari) Ramadan itu yang Selatan bikin hidangan dan di hari 20 warga di tengah dan terakhir yang warga yang di sebelah utara," ujarnya.

Kemudian, untuk menu yang disajikan adalah nasi kapar atau nasi yang diletakkan di wadah atau talam besar seperti nasi tumpeng dengan beraneka macan lauk pauk.

"Menu yang disajikan itu ada namanya nasi kapar. Iya nasi pakai talam besar itu semacam tumpengan isinya ayam ada serundeng ada telur menu khas kita di sini. Jadi, bahasa Bali-nya itu megibung atau makan bersama, dalam satu talam itu rata-rata isinya enam atau lima orang. Jadi setiap warga itu membawa (hidangan) ke masjid," ujarnya.

Tradisi megibung yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu maknanya untuk menjalin silaturahmi dan kerukunan antara warga di Kampung Muslim Kepaon.

"Fokusnya kita disilaturahminya itu maksudnya orang tua dulu," tutup Sayuti.

(kdf/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER