Selain itu di bagian dalam terdapat 12 buah tiang penyangga masjid. Bentuk dari menara masjid yang terbuat dari kayu ini juga unik dan berbeda dengan masjid-masjid lainnya.
Struktur bangunan masjid dengan atap tumpang tersebut memang karib pada masa itu. Hal itu didapatkan berdasarkan kajian Tawalinuddin Haris yang ditulis dalam jurnal Masjid-masjid di Dunia Melayu Nusantara (2010, hal 291).
Dia menerangkan pendirian masjid di Indonesia memang meniru atau mengambil bentuk bangunan lain. Dan masjid-masjid tua di Indonesia hampir sama yakni atapnya tumpang satu sampai tujuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ternyata atap tumpang ditemukan juga pada masjid-masjid tua di Malaysia, Patani, Brunei dan Filipina," tulis Haris dalam jurnalnya.
Masih dalam jurnal tersebut, masjid-masjid tua di Indonesia lazimnya dibangun di atas tiang-tiang kolong, terutama sejumlah masjid tua di Kalimantan Barat seperti Masjid Sultan Abdurrahrnan di Pontianak, Masjid Keraton Sanggau, Masjid Keraton Sambas, dan lain-lain.
Dia mengatakan hal itu ada kaitan dengan faktor lingkungan, alam, maupun budaya. Dalam perkembangan selanjutnya bangunan masjid lndonesia meniru masjid tipe India atau Timur Tengah dengan munculnya bangunan masjid beratap kubah setelah abad ke-19.
Pada awal berdiri masjid ini bernama Masjid Jami', kemudian pada tahun 1960 namanya diubah menjadi Masjid Shiratal Mustaqiem.
Kekhasan lain yang tampak dari Masjid Shiratal Mustaqiem ialah bangunannya bersisian dengan sumber air. Kondisi ini merupakan bagian dari masyarakat melayu Kalimantan yang memang lekat dengan budaya sungai.
Sejarawan lokal Muhammad Sarip pun sepakat dengan hal tersebut. Bersama Nabila Nandini, dia pernah menelusuri sejarah Islam di Kutai termasuk masjid yang kemudian dijurnalkan dengan judul Islamisasi Kerajaan Kutai Kertanegara Abad Ke-16: Studi Historiografi Naskah Arab Melayu Salasilah Kutai.
Sarip menegaskan, penempatan masjid di umumnya di bantaran Sungai Mahakam karena faktor kedekatan dengan sumber air.
"Hal ini mengingat tata cara ibadah muslim dimulai dengan wudu yakni proses penyucian diri menggunakan air," terangnya dalam jurnal itu.
Kepada CNNIndonesia.com, Muhammad Sarip juga menyatakan Masjid Shiratal Mustaqiem di Kecamatan Samarinda Seberang sudah masuk cagar budaya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Masjid Shiratal Mustaqiem pernah direnovasi beberapa kali, di antaranya pad 1970, 1989, dan 2001. Kendati demikian, renovasi diklaim tidak mengubah bentuk asli masjid.