KRONIK

Bunuh Diri Satu Keluarga di Balik Sikap Abai Negara

Yogi Anugrah | CNN Indonesia
Jumat, 22 Mar 2024 10:36 WIB
Beruntunnya kasus bunuh diri satu keluarga dengan melibatkan anak, boleh jadi karena negara abai memberikan jaminan perlindungan terhadap warganya.
(CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan masyarakat membutuhkan bantalan sosial dalam kehidupan, yakni tempat untuk 'berlabuh' dan menceritakan masalah yang dihadapi.

Namun, kehidupan di perkotaan yang cenderung cuek satu sama lain, membuat orang tak memiliki bantalan ketika menghadapi masalah.

"Di kota, kita hidup bagaikan alien, bagaikan orang asing satu sama lain karena memang walau bertetangga, bisa jadi kerja beda, latar belakang ekonomi beda, suku beda, agama beda, sehingga kemudian ada kecenderungan masyarakat kota itu saling menghindari untuk berinteraksi," kata Devie.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, karena kondisi itu, masyarakat di perkotaan pun menghadapi beban dan tantangan itu sendirian. Pilihan bunuh diri menjadi opsi ketika mereka mendapat masalah.

"Inilah yang membuat masyarakat kota yang pasti juga memiliki beban, tantangan dan sebagainya harus hadapi sendiri. Sehingga kemudian rujukan untuk mengakhiri hidup dengan jalan yang berbahaya seperti bunuh diri, itu jadi opsi bagi masyarakat kota," katanya.

Dalam studi ilmu sosial, ia menuturkan aksi bunuh diri yang dilakukan orang tua dengan mengajak anak, didasari niat melindungi anak itu sendiri.

"Praktek mengakhiri hidup itu ada beberapa motivasi berdasar studi ilmu sosial, ada yang motivasi didorong keinginan untuk melindungi," katanya.

"Ada beberapa penelitian yang menunjukkan ketika orang tua mengakhiri hidupnya dan menyertakan anak, itu semua dilakukan atas dasar kasih sayang karena tidak ingin anaknya, misalnya harus menghadapi beratnya beban kehidupan," imbuh dia.

Sementara itu, Guru Besar Psikologi UGM, Koentjoro Soeparno menilai dalam kasus di Penjaringan, sang anak selama ini diajarkan soal kepatuhan terhadap orang tua.

"Bentuk mereka patuh, sayang, ketika naik dicium keningnya, kemudian HP diberikan, itu kan perilaku kepatuhan," katanya.

Oleh karena perilaku kepatuhan itu, menurutnya, sang anak turut bunuh diri dalam kasus ini.

"Si anak itu kan belum punya kehendak bunuh diri, karena masih di bawah umur. Itu tadi saya katakan, ini adalah karena kepatuhan tadi," ujarnya.

Bunuh diri atau pembunuhan anak?

Pakar Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel tidak sependapat narasi bunuh diri disematkan dalam kasus di Penjaringan. Dia menyebutnya sebagai kasus pembunuhan terhadap anak.

Ia mengatakan peristiwa itu baru bisa dikatakan bunuh diri apabila empat orang yang terjun dari apartemen tersebut memiliki kehendak dan bersepakat untuk terjun bersama.

"Pada peristiwa ini ada dua anak-anak. Dikarenakan ada dua anak-anak, secara universal, tidak boleh kita asumsikan bahwa anak-anak berkehendak apalagi memberikan kesepakatan untuk melakukan aksi sedemikian rupa," kata Reza.

Sebagaimana dalam kasus seksual, kata Reza, anak-anak harus secara mutlak dipandang sebagai pihak yang tidak berkehendak dan tidak memberikan konsensual.

Oleh karenanya, kata dia, mereka harus dipandang sebagai pihak yang dipaksa untuk melakukan tindakan sedemikian rupa.

"Dengan bingkai situasi bahwa ini pemaksaan terhadap anak-anak untuk terjun, terlepas apakah mereka mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, maka terhadap anak-anak itu mereka tidak tepat disebut sebagai melakukan aksi bunuh diri. Justru mereka adalah korban pemaksaan (korban pembunuhan)," katanya.


Komisioner KPAI Pengampu Kluster Kekerasan Fisik Psikis Anak, Diyah Puspitarini berpendapat kasus di Penjaringan sebagai kekerasan orang tua terhadap anak.

"Anak sebagai korban dari kondisi tidak berdaya di antara keputusan orang tua, bahkan KPAI juga khawatir ada paksaan orang tua kepada anak untuk ikut bersama dalam aksi bunuh diri ini," katanya.

Ia menyoroti kasus bunuh diri satu keluarga dengan anak-anak yang terjadi di beberapa tahun terakhir. Kejadian serupa terjadi di Malang, Jawa Timur pada Desember 2023.

"Hal ini seharusnya menjadi keresahan bersama dan harus diantisipasi, terutama anak-anak selalu menjadi korban masalah yang dihadapi oleh orang tuanya," kata Diyah.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menduga ada unsur paksaan terhadap anak dalam kasus bunuh diri di apartemen Penjaringan.

"Menurut saya, dipaksa atau enggak dipaksa, anak ikut terjun bebas, ya, masuk unsur paksa. Karena begini, anak itu enggak perlu diminta persetujuan," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dikutip Antara, Senin (18/3).

Kementerian PPPA pun meminta kepolisian mendalami motif kasus ini agar kasus serupa tidak terulang kembali.

Hingga kini motif bunuh diri satu keluarga di apartemen Penjaringan belum diketahui. Polisi masih melakukan penyelidikan untuk mendalami apakah aksi bunuh diri dipicu motif ekonomi atau bukan. Termasuk, dugaan bahwa satu keluarga itu terjerat utang pinjaman online (pinjol).

Terbaru, polisi bakal mengecek DNA pada tali yang mengikat para korban. Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan mengatakan hal itu dilakukan untuk memastikan apakah ada orang lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Negara abai

Reza mengatakan dengan beruntunnya kasus satu keluarga bunuh diri, ada alasan untuk tidak menyebutnya sebagai kasus individual, namun sebagai fenomena sosial.

"Kalau kita sepakat memotret ini sebagai fenomena sosial, maka cermatan kita harus berpindah, tidak hanya pada orang tuanya, tapi pada negara," kata dia.

Ia menduga orang tua mengajak anak bunuh diri, lantaran berpikir bahwa negara tidak bisa melindungi anaknya, ketika dia hendak bunuh diri sendiri.

"Anggaplah dengan mati, saya selesaikan masalah saya, tapi siapa yang bisa jamin hidup anak saya akan lebih baik, karena negara seolah tidak hadir, maka apa boleh buat, ketimbang anak saya hidup bermasalah, saya pun mengambil jalan yang salah dengan mengajak mereka," kata dia.

"Seberapa jauh sesungguhnya kontribusi negara terhadap peristiwa-peristiwa semacam ini," imbuh dia.

Reza mengatakan ada riset di Amerika yang menyimpulkan bahwa kebijakan negara yang pro masyarakat bawah secara ekonomi, signifikan menurunkan tingkat kasus bunuh diri.

Mengacu riset itu, kata dia, berarti ada faktor makro yang berkontribusi terhadap peristiwa bunuh diri maupun kasus yang tertangkal.

"Maka saya punya alasan untuk bertanya, beruntunnya satu keluarga tewas, boleh jadi karena negara abai, tidak kunjung berhasil untuk hasilkan kebijakan yang pro kita-kita ini," ujarnya.

Sementara itu, KPAI mengatakan negara harus hadir dalam perlindungan anak sesuai pasal 20 UU Perlindungan Anak No 35 tahun 2014.

"Baik kementerian di tingkat pusat atau daerah. Dari mulai pencegahan, pendampingan, jika sudah ada kerentanan dalam keluarga dan anak, serta penyelesaian kasus dengan cepat dan akurat, artinya penyelidikan harus menyeluruh sampai tuntas," ujar Diyah Puspitarini.

(yoa/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER