Jakarta, CNN Indonesia --
Pandangan RP teralihkan saat mengengkol sepeda motornya yang di parkir di depan Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3) sore.
Perempuan paruh baya itu melihat sesuatu terjun di depan apartemen tower Topaz. Sepersekian detik, suara keras terdengar.
"Terbang antara lima meter dari dasar, tiba-tiba saya lihat apa itu? Burung, enggak? Besar sekali," kata RP beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Langsung, boom," imbuh dia.
Ia lalu mematikan motor, dan menunda pergi ke gereja. RP tak berani terlalu dekat karena suasana yang masih sepi.
Saat itu, ia melihat ada empat orang yang jatuh di halaman depan apartemen. Kondisinya luka parah.
"Si bapaknya kondisi terlentang, anaknya (laki-laki) pun terlentang, yang tengkurap miring itu anak perempuannya," ujar dia.
Sekitar 20 menit melihat korban tergeletak, RP pergi. Ia baru kembali sekitar pukul 18.00 WIB, ketika Tim Inafis telah datang ke apartemen. Saat itu, ia tidak tahu siapa yang terjun dari atas apartemen.
RP baru mengetahui belakangan. Ia mengaku cukup kenal dengan korban yang diketahui pernah menghuni unit di lantai 16.
"Ya Tuhan, ini ibu yang baik hati itu," kata dia.
Berdasarkan keterangan polisi, ada empat orang terdiri dari satu keluarga, yang diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai 22 apartemen.
Keempatnya adalah pria berinisial EA (50), perempuan AIL, laki-laki JWA (13) dan perempuan JL (16).
Kapolsek Metro Penjaringan Kompol Agus Ady mengatakan keempat korban tiba di apartemen sekitar pukul 16.02 WIB dengan diantar taksi online.
Ady menyebut berdasar rekaman CCTV, EA sempat mencium kening tiga anggota keluarganya sebelum terjun.
"Para korban ini masuk dalam lift, terekam, ini EA mencium-cium kening dari ketiga orang lainnya. Setelah dicium-cium keningnya, AEL terlihat mengumpulkan handphone-handphone dari semuanya untuk naik ke atas," kata Agus, Senin (11/3).
 Tempat kejadian perkara bunuh diri satu keluarga di Apartemen Teluk Intan Penjaringan Jakarta Utara pada Sabtu (21/3/2024). (CNN Indonesia/Yogi Anugrah) |
Sekitar pukul 16.05 WIB, para korban keluar dari lift di lantai 21. Mereka menggunakan tangga darurat menuju ke rooftop apartemen.
Agus mengatakan pada pukul 16.13 WIB, korban jatuh bersamaan di depan lobby apartemen. Saat itu posisi korban dalam keadaan terikat tali.
"Pada saat terjatuh itu masih dalam kondisi EA dan JL terikat tangannya dengan tali yang sama, AEL terikat tali yang sama dengan JWA, ikatan tali tersebut mengikat," ujar Agus.
Berdasar keterangan polisi dan beberapa tetangga, keluarga tersebut sudah dua tahun tidak tinggal di hunian apartemen itu.
Nur, salah seorang tetangga yang tinggal satu lantai dengan korban, mengatakan keluarga itu sempat berpamitan sekitar dua tahun lalu, saat masa pandemi Covid-19.
"Bilangnya mau pindah ke Solo, pas Covid-19 pindah," kata Nur.
Saat itu, ia mengaku tidak tahu alasan keluarga tersebut pindah. Nur juga tidak mengetahui apakah hunian mereka dijual saat pindah.
Ia mengaku kenal dan sering berkomunikasi dengan keluarga itu. Nur mengatakan keluarga itu ramah dan baik kepada tetangga.
Sepengetahuannya, keluarga itu tergolong mampu secara ekonomi. Namun ia tidak tahu soal informasi yang menyebut keluarga itu terlilit hutang.
"Bapaknya itu mungkin bos, ibunya ibu rumah tangga kayak saya. Anaknya sekolahnya di sekolah mahal itu, kalau tidak salah," ujar Nur.
Belakangan, penyelidikan yang dilakukan polisi mengungkap sejumlah temuan.
Di antaranya, jauh sebelum insiden itu terjadi, keluarga tersebut mempunyai bisnis kapal ikan. Namun, bisnis tersebut bangkrut saat pandemi Covid-19.
Kedua anak juga disebut sudah satu tahun tidak bersekolah. Keluarga ini juga disebut cenderung tertutup dengan keluarga besar dan sudah lama tidak berkomunikasi.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Sepi di titik nadir
Sang ibu (AIL) sempat sembahyang di klenteng yang terletak di rooftop apartemen sebelum melakukan aksi bunuh diri.
CNNIndonesia.com mencoba menelusuri apartemen, termasuk melihat kondisi lantai paling atas, tempat para korban terjun.
Suasana sepi sudah terlihat di lorong-lorong mulai dari lantai 2. Deretan pintu tertutup, hanya sesekali ada aktivitas penghuni lewat.
Situasi serupa juga persis di lantai 16, tempat hunian milik korban. Hampir semua pintu unit tertutup, ada beberapa yang terbuka, namun tetap terhalang pintu teralis.
CNNIndonesia.com sempat bertanya kepada dua penghuni di lantai itu, namun keduanya mengaku tidak mengenal korban.
Sementara itu, untuk menuju rooftop apartemen, lift hanya tersedia sampai lantai 21. Setelah itu akses ke rooftop hanya menggunakan tangga darurat.
Di rooftop terdapat sebuah klenteng sederhana. Saat didatangi pada Rabu (20/3) pagi, kondisi klenteng sepi, tidak ada penjaga atau aktivitas di dalamnya.
Di sekitar rooftop tempat klenteng berdiri inilah, keluarga tersebut lompat bunuh diri.
Meski begitu, jika dilihat, tembok pembatas di rooftop ini sebenarnya cukup tinggi. Butuh alat bantu bagi seseorang untuk memanjatnya.
Sementara itu, dari sejumlah keterangan penghuni, peristiwa orang melompat dari apartemen sudah tiga kali terjadi di wilayah tersebut.
CNNIndonesia.com telah mencoba untuk meminta penjelasan dari pengelola apartemen soal peristiwa bunuh diri ini, namun tidak ada pengelola yang bersedia ditemui. Sejumlah petugas keamanan juga enggan memberi keterangan.
 Infografis Ketahui Deteksi Awal Bunuh Diri. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Bunuh diri melibatkan anak naik 200 persen
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang 2023 terdapat 46 anak yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Angka itu naik 200 persen dari 2022.
Pada 2023, terdapat lima kejadian anak meninggal korban bunuh diri orang tua.
Sementara itu, sepanjang Januari-Maret 2024, terdapat 12 kasus anak mengakhiri hidup dengan bunuh diri serta 1 kejadian keluarga bunuh diri dengan anak ikut serta.
Jika melihat secara umum, data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusikmas) Polri mencatat sepanjang Januari-Mei 2023, kepolisian telah menindak 451 kasus bunuh diri.
Polda Sumatra Utara dan Polda DIY termasuk dalam satuan kerja yang menindak kasus bunuh diri dengan jumlah terbanyak.
Baca halaman selanjutnya: Faktor Orang Tua Bunuh Diri Ajak Anak
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan masyarakat membutuhkan bantalan sosial dalam kehidupan, yakni tempat untuk 'berlabuh' dan menceritakan masalah yang dihadapi.
Namun, kehidupan di perkotaan yang cenderung cuek satu sama lain, membuat orang tak memiliki bantalan ketika menghadapi masalah.
"Di kota, kita hidup bagaikan alien, bagaikan orang asing satu sama lain karena memang walau bertetangga, bisa jadi kerja beda, latar belakang ekonomi beda, suku beda, agama beda, sehingga kemudian ada kecenderungan masyarakat kota itu saling menghindari untuk berinteraksi," kata Devie.
Menurutnya, karena kondisi itu, masyarakat di perkotaan pun menghadapi beban dan tantangan itu sendirian. Pilihan bunuh diri menjadi opsi ketika mereka mendapat masalah.
"Inilah yang membuat masyarakat kota yang pasti juga memiliki beban, tantangan dan sebagainya harus hadapi sendiri. Sehingga kemudian rujukan untuk mengakhiri hidup dengan jalan yang berbahaya seperti bunuh diri, itu jadi opsi bagi masyarakat kota," katanya.
Dalam studi ilmu sosial, ia menuturkan aksi bunuh diri yang dilakukan orang tua dengan mengajak anak, didasari niat melindungi anak itu sendiri.
"Praktek mengakhiri hidup itu ada beberapa motivasi berdasar studi ilmu sosial, ada yang motivasi didorong keinginan untuk melindungi," katanya.
"Ada beberapa penelitian yang menunjukkan ketika orang tua mengakhiri hidupnya dan menyertakan anak, itu semua dilakukan atas dasar kasih sayang karena tidak ingin anaknya, misalnya harus menghadapi beratnya beban kehidupan," imbuh dia.
Sementara itu, Guru Besar Psikologi UGM, Koentjoro Soeparno menilai dalam kasus di Penjaringan, sang anak selama ini diajarkan soal kepatuhan terhadap orang tua.
"Bentuk mereka patuh, sayang, ketika naik dicium keningnya, kemudian HP diberikan, itu kan perilaku kepatuhan," katanya.
Oleh karena perilaku kepatuhan itu, menurutnya, sang anak turut bunuh diri dalam kasus ini.
"Si anak itu kan belum punya kehendak bunuh diri, karena masih di bawah umur. Itu tadi saya katakan, ini adalah karena kepatuhan tadi," ujarnya.
Bunuh diri atau pembunuhan anak?
Pakar Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel tidak sependapat narasi bunuh diri disematkan dalam kasus di Penjaringan. Dia menyebutnya sebagai kasus pembunuhan terhadap anak.
Ia mengatakan peristiwa itu baru bisa dikatakan bunuh diri apabila empat orang yang terjun dari apartemen tersebut memiliki kehendak dan bersepakat untuk terjun bersama.
"Pada peristiwa ini ada dua anak-anak. Dikarenakan ada dua anak-anak, secara universal, tidak boleh kita asumsikan bahwa anak-anak berkehendak apalagi memberikan kesepakatan untuk melakukan aksi sedemikian rupa," kata Reza.
Sebagaimana dalam kasus seksual, kata Reza, anak-anak harus secara mutlak dipandang sebagai pihak yang tidak berkehendak dan tidak memberikan konsensual.
Oleh karenanya, kata dia, mereka harus dipandang sebagai pihak yang dipaksa untuk melakukan tindakan sedemikian rupa.
"Dengan bingkai situasi bahwa ini pemaksaan terhadap anak-anak untuk terjun, terlepas apakah mereka mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, maka terhadap anak-anak itu mereka tidak tepat disebut sebagai melakukan aksi bunuh diri. Justru mereka adalah korban pemaksaan (korban pembunuhan)," katanya.
[Gambas:Photo CNN]
Komisioner KPAI Pengampu Kluster Kekerasan Fisik Psikis Anak, Diyah Puspitarini berpendapat kasus di Penjaringan sebagai kekerasan orang tua terhadap anak.
"Anak sebagai korban dari kondisi tidak berdaya di antara keputusan orang tua, bahkan KPAI juga khawatir ada paksaan orang tua kepada anak untuk ikut bersama dalam aksi bunuh diri ini," katanya.
Ia menyoroti kasus bunuh diri satu keluarga dengan anak-anak yang terjadi di beberapa tahun terakhir. Kejadian serupa terjadi di Malang, Jawa Timur pada Desember 2023.
"Hal ini seharusnya menjadi keresahan bersama dan harus diantisipasi, terutama anak-anak selalu menjadi korban masalah yang dihadapi oleh orang tuanya," kata Diyah.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menduga ada unsur paksaan terhadap anak dalam kasus bunuh diri di apartemen Penjaringan.
"Menurut saya, dipaksa atau enggak dipaksa, anak ikut terjun bebas, ya, masuk unsur paksa. Karena begini, anak itu enggak perlu diminta persetujuan," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dikutip Antara, Senin (18/3).
Kementerian PPPA pun meminta kepolisian mendalami motif kasus ini agar kasus serupa tidak terulang kembali.
Hingga kini motif bunuh diri satu keluarga di apartemen Penjaringan belum diketahui. Polisi masih melakukan penyelidikan untuk mendalami apakah aksi bunuh diri dipicu motif ekonomi atau bukan. Termasuk, dugaan bahwa satu keluarga itu terjerat utang pinjaman online (pinjol).
Terbaru, polisi bakal mengecek DNA pada tali yang mengikat para korban. Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan mengatakan hal itu dilakukan untuk memastikan apakah ada orang lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Negara abai
Reza mengatakan dengan beruntunnya kasus satu keluarga bunuh diri, ada alasan untuk tidak menyebutnya sebagai kasus individual, namun sebagai fenomena sosial.
"Kalau kita sepakat memotret ini sebagai fenomena sosial, maka cermatan kita harus berpindah, tidak hanya pada orang tuanya, tapi pada negara," kata dia.
Ia menduga orang tua mengajak anak bunuh diri, lantaran berpikir bahwa negara tidak bisa melindungi anaknya, ketika dia hendak bunuh diri sendiri.
"Anggaplah dengan mati, saya selesaikan masalah saya, tapi siapa yang bisa jamin hidup anak saya akan lebih baik, karena negara seolah tidak hadir, maka apa boleh buat, ketimbang anak saya hidup bermasalah, saya pun mengambil jalan yang salah dengan mengajak mereka," kata dia.
"Seberapa jauh sesungguhnya kontribusi negara terhadap peristiwa-peristiwa semacam ini," imbuh dia.
Reza mengatakan ada riset di Amerika yang menyimpulkan bahwa kebijakan negara yang pro masyarakat bawah secara ekonomi, signifikan menurunkan tingkat kasus bunuh diri.
Mengacu riset itu, kata dia, berarti ada faktor makro yang berkontribusi terhadap peristiwa bunuh diri maupun kasus yang tertangkal.
"Maka saya punya alasan untuk bertanya, beruntunnya satu keluarga tewas, boleh jadi karena negara abai, tidak kunjung berhasil untuk hasilkan kebijakan yang pro kita-kita ini," ujarnya.
Sementara itu, KPAI mengatakan negara harus hadir dalam perlindungan anak sesuai pasal 20 UU Perlindungan Anak No 35 tahun 2014.
"Baik kementerian di tingkat pusat atau daerah. Dari mulai pencegahan, pendampingan, jika sudah ada kerentanan dalam keluarga dan anak, serta penyelesaian kasus dengan cepat dan akurat, artinya penyelidikan harus menyeluruh sampai tuntas," ujar Diyah Puspitarini.