Sementara itu, Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud meminta MK membatalkan hasil Pemilu 2024 khusus terkait pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam permohonannya, mereka tidak meminta MK membatalkan hasil pemilihan anggota legislatif (pileg), baik DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
Ganjar-Mahfud juga meminta Pilpres 2024 diulang hanya dengan dua pasangan calon, yaitu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Pemungutan suara harus dilakukan kembali di semua TPS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di seluruh Tempat Pemungutan Suara di seluruh Indonesia selambat-lambatnya pada tanggal 26 Juni 2024," bunyi gugatan tersebut.
Tim Hukum Ganjar-Mahfud lalu menguraikan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Mereka menyatakan kecurangan TSM berupa nepotisme yang dilakukan Presiden Jokowi.
Mereka menyebut ada penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi untuk memenangkan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 dalam satu putaran.
Salah satunya melalui bantuan sosial yang mereka sebut sebagai alat untuk mengendalikan kepala desa. Tim Hukum Ganjar-Mahfud pun menyebut ada pengerahan TNI dan Polri serta ratusan penjabat (Pj) kepala daerah di wilayah masing-masing.
Tak hanya itu, Ganjar-Mahfud turut mengungkit sejumlah sikap dan kegiatan Presiden Jokowi selama masa kampanye Pilpres 2024 yang mempengaruhi suara Prabowo-Gibran.
"Daftar abuse of power yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam bentuk pembagian bantuan sosial yang dipolitisasi," kata TPN dalam halaman 56 gugatan PHPU nomor 2/PHPU.PRES-XXII/202.
Ganjar-Mahfud menyoroti peningkatan intensitas pemberian bansos selama masa kampanye pilpres. Mereka mencatat pemberian bansos oleh Jokowi mencapai 20 kali per bulan, tertinggi dalam 9 bulan terakhir.
Ganjar-Mahfud juga mengkritisi penambahan anggaran perlindungan sosial hingga Rp496,8 triliun saat pilpres. Mereka menilai angka itu hampir mirip dengan anggaran perlinsos di masa pandemi Covid-19.
Tim hukum Ganjar-Mahfud menyebut Presiden Joko Widodo melanggar tiga jenis etika politik dengan ikut campur tangan pada Pilpres 2024.
"Terdapat tiga bentuk pelanggaran etika politik yang terjadi dari nepotisme yang melahirkan abuse of power terkoordinasi ini," kata Annisa.
Etika politik pertama yang dilanggar Jokowi adalah nepotisme yang merupakan pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan. Mereka menyitir Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 14 UU Administrasi Pemerintahan.
Selain itu, Tim Ganjar-Mahfud juga mengutip larangan nepotisme di Pasal 5 angka 1 juncto Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Kedua, Ganjar-Mahfud juga berpendapat Jokowi melanggar etika politik pelanggaran etika pemerintahan yang bersumber dari tujuan bernegara.
"Nepotisme yang melahirkan abuse of power terkoordinasi, apalagi yang menggunakan fasilitas negara, jelas merupakan pengkhianatan besar bagi tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945," ucap Annisa.
Etika politik ketiga yang dilanggar Jokowi adalah etika pemerintahan yang bersumber dari sumpah jabatan. Mereka mengingatkan Jokowi bersumpah "memegang teguh konstitusi, menjalankan undang-undang, dan berbakti pada Nusa dan Bangsa".
Kemudian, Kuasa hukum pasangan Ganjar-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis mengatakan puncak kehancuran MK terjadi ketika hakim konstitusi mengabulkan gugatan perkara 90 soal syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden di UU Pemilu.
Putusan itu membuat Gibran yang merupakan keponakan Anwar Usman bisa maju di Pilpres 2024.
"Puncak dari robohnya dan hancurnya kredibilitas dan integritas MKRI terjadi ketika Putusan MKRI Nomor 90/PUU-XXI/2023 dilahirkan di mana nepotisme dan kolusi tampil secara telanjang di depan mata kita," kata Todung.
Todung menyinggung putusan yang dibacakan Anwar itu melanggar hukum dan etika. Todung pun melabeli MK sebagai mahkamah yang memalukan karena putusan itu.
Todung juga spesifik menyinggung putusan MKMK yang memutuskan semua hakim MK bersalah akibat putusan yang mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Menurut Todung, putusan MKMK mestinya bisa membuat semua hakim MK mengundurkan diri. Sebab, putusan MKMK mengagetkan publik dan membuat orang sedih dan marah
(rzr/bmw)