Sejumlah tenda yang dihuni para mahasiswa pemrotes kebijakan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) UGM di halaman Gedung Balairung akhirnya dibongkar, Jumat (31/5) sejak didirikan lima hari lalu.
Pembongkaran paksa dilakukan oleh puluhan Petugas Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PK4L) UGM. Proses pembongkaran dilakukan secara halus tanpa kekerasan.
Pembongkaran tak berjalan mulus saat para mahasiswa yang mencoba mempertahankan tenda mereka, menolak untuk angkat kaki dari posisi masing-masing. Kendati, kini tinggal satu tenda saja yang tersisa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan mundur kawan-kawan," teriak salah seorang mahasiswi.
"Tuntutan kami belum dipenuhi," kata salah seorang mahasiswa.
Hingga saat ini, para mahasiswa maupun petugas PK4L sama-sama bertahan di halaman Gedung Balairung.
Terpisah, Sekretaris Universitas UGM Andi Sandi Antonius menuturkan, pembongkaran tenda dilakukan lantaran halaman Gedung Balairung akan dipakai sebagai lokasi pelaksanaan Upacara Hari Lahir Pancasila.
Ia menuturkan kampus telah meminta secara persuasif, bahkan hingga Rektor Ova Emilia dan jajaran rektorat serta pimpinan fakultas turun gunung menemui para mahasiswa.
"Jadi kita akan minta, kalau memang tidak, apa namanya ya kita harus tegas bahwa ini mau dipakai untuk kegiatan kenegaraan. Bukan berarti kami tidak memberikan ruang kepada mereka untuk berekspresi," kata Andi Sandi di ruang rapat rektor.
![]() |
Sebelum pembongkaran ini, para mahasiswa dan Ova Emilia telah bertemu hingga melakukan diskusi secara terbuka. Kala itu, perwakilan mahasiswa menyampaikan tuntutan terkait aksi ini yakni meniadakan IPI atau uang pangkal dan mengubah skema UKT dari lima menjadi delapan golongan.
Mahasiswa juga menuntut Ova menolak implementasi Permendikbud nomor 2 tahun 2024 yang mengatur skema UKT dan IPI. Tuntutan ketiga, mahasiswa mendesak Ova untuk mendorong pemerintah menaikkan APBN pendidikan tinggi sebesar 30 persen.
"Tapi yang paling penting daripada itu semua adalah kita memaksa pimpinan Universitas Gadjah Mada membatalkan skema uang pangkal, baik itu SSPU, IPI atau yang lainnya," kata Gayuh, selaku perwakilan mahasiswa.
Menanggapi tuntutan soal IPI, Ova mengklaim apa yang diberlakukan kampusnya bukanlah sistem uang pangkal, melainkan Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) sejak dua tahun lalu.
SSPU ini diberlakukan sebelum IPI yang batal setelah terbitnya edaran Kemendikbudristek Nomor: 0511/E/PR.07.04/2024 tanggal 27 Mei 2024 tentang Pembatalan kenaikan UKT dan IPI Tahun Akademik 2024/2025.
"UGM berbeda dari yang lain, dan kita melakukan SSPU itu hanya untuk yang UKT tertinggi. Artinya tertinggi itu adalah yang memang mampu. Yang lain tidak. Jadi bukan uang pangkal, njeh?" kata Ova di depan mahasiswa.
"Tentang skema permen itu memang sudah dibatalkan, jadi sejak dari yang disampaikan oleh Pak Menteri (Nadiem), kita sudah mengikuti itu jadi kita tidak lagi menggunakan yang Permen terbaru, sudah dibatalkan, kita menggunakan aturan yang lama. Dan aturan yang lama itu tadi seperti yang saya ceritakan, hanya untuk yang UKT tertinggi," sambungnya.
SSPU ini, jelas Ova, dimaksudkan sebagai wujud pendidikan yang berkeadilan. Artinya, mahasiswa golongan mampu membantu mereka yang butuh bantuan lewat skema subsidi.
"Kita harus juga adil, adil orang yang mampu kok malah tidak diberi kesempatan untuk diberikan SSPU. Jadi, kita juga sangat selektif, kita enggak ingin ada mahasiswa yang sebetulnya tidak mampu, kok terus dikena itu (SSPU), tunjukkan, kalau ada, kita akan ubah," ujar Ova.
Sedangkan terkait tuntutan APBN pendidikan tinggi 30 persen, Ova mengklaim rektorat selalu menyuarakan hal tersebut.
(kum/pmg)