Risa berharap keberadaan Kwitang dan toko-toko buku lainnya tetap bertahan, dan pemerintah dapat lebih memperhatikan hingga melestarikan keberadaannya agar tak hilang tergerus zaman.
"Harapannya semoga bertahan terus ya, soalnya pasti kita nggak bisa terus-terusan ngandelin online kan. Mungkin pemerintah juga bisa memfasilitasi para pedagang, mungkin dijadikan tempat yang perlu dilestarikan karena benar ini juga merupakan ikon kota Jakarta," tutur Risa.
Jay yang berdagang di Kwitang dari era mesin ketik hingga kini ponsel pintar yang berjaya mengaku kehadiran teknologi yang menyediakan penjualan buku-buku secara online turut memengaruhi lahan pencarian nafkahnya. Namun sebagai seorang pecinta buku, ia mengaku akan mencoba terus bertahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan hanya untuk mencari nafkah, dia mengatakan ada pula niatnya untuk mempertahankan ikon Kwitang dan jasa-jasa buku yang telah menjadikan banyak orang sukses.
"Ya pokoknya, dengan buku ini lah banyak teman-teman yang sukses, ada yang jadi dokter atau pekerja perusahaan, jadi pengacara. Ya memang mereka nyari bukunya di Kwitang. Emang Kwitang ini momennya, ikon ini kan dari dulu. Diakui di negara-negara, Malaysia, Singapura, kalau mereka cari buku bakal kemana? Ya ke Kwitang," kata Jay yang mengaku tak mencoba peruntungan di jalur toko daring.
Tepat di belakang ruko tempat Bang Jay dan pedagang lainnya berjualan, ada satu ruko yang juga dijadikan sebagai tempat berjualan tiga orang pedagang yang semula juga melapak di pinggir jalan Kwitang.
Pak Bil, yang sudah berjualan buku sejak 2000 itu mengaku kehadiran toko online tak begitu mempengaruhi penjualan buku di Kwitang.
Ia mengatakan bahwa masih ada orang yang lebih memilih untuk datang langsung ke tokonya dengan berbagai alasan, salah satunya agar dapat melihat kondisi bukunya secara langsung.
"Tapi kan orang juga gak semuanya mau online. Ada yang lebih nyaman dia lihat langsung kondisinya [buku], atau mungkin enggak ada di online, atau langsung tawar-menawar, lihat barang. Kalau masalah [penjualan] online-nya sih saya nggak ngaruh banget," katanya.
![]() |
Justru, sambungnya, malah lebih khawatir dengan perekonomian yang merosot menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana yang berimbas daya beli menurun. Ia melihat itu akan membuat kebutuhan akan buku menjadi 'kalah'.
"Yang saya khawatirkan itu kalau ekonomi merosot, daya beli orang, ya artinya PHK di mana-mana, gaji gak cukup, harga-harga naik, jadi orang belanjanya gak tersisa. Itu yang saya khawatirkan," imbuhnya.
Selain di Kwitang, berjarak sekitar 8 kilometer terdapat Pasar Kenari. Pasar yang juga berada di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat itu lebih dikenal sebagai sentra niaga peralatan teknik. Namun, di antara tumpukan kabel hingga alat listrik tersebut, terdapat pula lapak-lapak pedagang buku.
Pasar Kenari merupakan salah satu tempat relokasi para pedagang buku Kwitang yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 29 April 2019.
Ada 65 kios buku di lantai tiga dengan dilengkapi beragam fasilitas, seperti ruangan berpendingin udara, tempat membaca baik lesehan dengan rumput imitasi maupun meja serta kursi, pujasera makanan, bank, ruang laktasi, hingga fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD).
Namun berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com di hari yang sama, lantai 3 yang menjadi sentra buku tersebut terlihat sepi, bahkan hanya 5-6 kios yang buka.
Salah satu penjual buku, Robinson mengatakan kondisi Pasar Kenari memang selalu sepi sejak ia pindah ke sana pada 2019 silam.
Pedagang yang membuka tokonya dari jam 9 pagi hingga 5 sore ini mengaku kehadiran toko-toko online tentu berdampak bagi penjualan bukunya, sehingga Ia juga ikut membuka toko online yang memperoleh untung lebih besar.
"Terdampak banget, kalau sekarang ini ya lebih banyak di online. Lihat aja sekarang ini [kondisinya] bagaimana," tuturnya.
Lihat Juga : |