LIPUTAN KHUSUS

Riset Kratom: Antara Khasiat Analgesik dan Efek Rawan Psikotropika

Khaira Ummah Junaedi | CNN Indonesia
Selasa, 09 Jul 2024 13:17 WIB
Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BRIN mengungkap kratom memiliki sifat analgesik yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin.
Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BRIN mengungkap kratom memiliki sifat analgesik yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin. (CNN Indonesia/Hamka Winovan)

Kementerian Kesehatan mendukung penelitian kratom yang tengah dilakukan BRIN. Kemenkes juga sudah melakukan penelitian kratom beberapa tahun lalu yang ditulis dalam laporan "Kratom, Prospek Kesehatan dan Sosial Ekonomi" oleh Slamet Wahyono dan kawan-kawan.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya melihat kratom bisa menjadi bahan ketahanan industri kesehatan. Ia mengatakan selama ini Indonesia memberikan peluang manfaat kratom 30-100 kali lipat dari nilai jual saat ini kepada asing.

Berdasarkan penelitian sementara, kata Nadia, penggunaan kratom dapat memberikan efek yang mirip dengan morfin. Apabila temuan itu terbukti, maka Indonesia menurutnya dapat menemukan substitusi baru pengganti morfin. Mengingat selama ini Indonesia mengeluarkan sekitar Rp2 triliun untuk pembelian morfin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kalau ini memang betul, ini bisa jadi bahan ketahanan farmasi kita. Ini semua lagi dalam tahap riset ke sana," kata Nadia.

Nadia menyebut Kemenkes terus memantau perkembangan kratom, terutama laporan dan efek samping yang ditemukan di masyarakat setempat yang mengonsumsi kratom. Sejauh ini belum ada efek fatal atas konsumsi kratom.

Perihal manfaat kratom, berdasarkan data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu pada 2015 silam, kratom digunakan oleh beberapa etnis. Di etnis Bentian atau Kalimantan Timur, kratom dikenal dengan nama bengkal dan digunakan sebagai penghalus kulit.

Di etnis Segai dan Berau dikenal sebagai attiap, merupakan salah satu komponen dalam ramuan perawatan nifas, capek, dan pegal linu. Kemudian di beberapa wilayah, kratom juga digunakan untuk menambah stamina, mengatasi nyeri, rematik, asam urat, hipertensi, gejala stroke, diabetes, susah tidur, luka, diare, batuk, kolesterol, tipes, dan menambah nafsu makan.

Oleh sebab itu, kata Nadia, Kemenkes memandang ada peluang besar kratom dimanfaatkan sebagai obat yang nantinya bisa memperoleh izin edar dari BPOM.

"Sepertinya begitu, obat ya, kita memang tengah berupaya mengusung ketahanan obat kan. Dan tanaman ini tidak ditemukan di negara lain," ujarnya.

Di satu sisi, Nadia juga menilai berdasarkan penelitian sementara, kratom kemungkinan tidak dimasukkan dalam narkotika golongan I. Mungkin, tanaman endemik itu akan dikategorikan dalam narkotika golongan II atau III. Artinya, kratom tetap dapat digunakan. Sebagai terapi serta untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

"Ya kita sih melihat dari fakta empiris saja ya, sepertinya arahnya tidak ke narkotika golongan I, lebih ke tanaman obat," ujarnya.

Ahli Toksinologi Indonesia sekaligus pejabat BKPK Kemenkes Tri Maharani mengatakan uji toksisitas pada kratom perlu dilakukan dengan serius untuk mengetahui atau mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.

Maha mengimbau agar konsumsi kratom pada manusia dilakukan dengan menunggu hasil uji klinik rampung. Kendati beberapa orang tidak merasakan efek samping berarti, menurutnya bukan berarti setiap manusia memiliki respons yang sama.

"Jadi ada tidaknya efek withdrawal dan efek toksisitas itulah yang menurut saya harus lebih penting daripada efek ekonomi. Itu harus diteliti sampai rampung dulu," kata Maha.

Apalagi konsumsi kratom oleh beberapa orang dicampur dengan bahan makanan atau minuman lain. Maha menyoroti hal tersebut memerlukan aturan pakai atau dosis yang jelas, sementara saat ini masih belum diketahui.

Ia menyebut efek keracunan dapat terjadi apabila kratom dicampurkan dengan obat yang bekerja pada reseptor di otak yang sama dengan stimulan dan yang memiliki efek opiat. Kondisi itu bahkan bisa menimbulkan kematian pada konsumennya.

"Bisa jadi kan adiktif bagi beberapa orang, jadi terus dikonsumsi. Terus karena sering, maka dicampur dalam makanan, dicampur dalam minuman," katanya.

Untuk itu, Maha meminta agar tidak ada praktisi kesehatan yang menyarankan kratom sebagai obat kepada pasien. Ia menegaskan bukan berarti dirinya dalam posisi menolak pemanfaatan kratom. Namun setiap obat memerlukan proses panjang yang menganut kaidah sains.

Ia pun mencontohkan bisa saja kratom akan bernasib sama seperti Belladonna yang memiliki kandungan atropine dan scopolamine. Tanaman yang dulunya dikenal beracun itu kini sudah mendapatkan izin untuk diproduksi secara ekstrak guna membantu mengobati gejala-gejala penyakit.

"Nah, jadi kalau seperti ini memang masalah ekonomi itu harus nomor kesekian dibandingkan masalah keselamatan nyawanya," ujar Maha.

(gil)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER