LIPUTAN KHUSUS

Riset Kratom: Antara Khasiat Analgesik dan Efek Rawan Psikotropika

Khaira Ummah Junaedi | CNN Indonesia
Selasa, 09 Jul 2024 13:17 WIB
Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BRIN mengungkap kratom memiliki sifat analgesik yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin.
Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BRIN mengungkap kratom memiliki sifat analgesik yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin. (CNN Indonesia/Meutia Rahmawati)
Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah merampungkan penelitian awal selama satu tahun (2022-2023) untuk mengetahui manfaat dan efek samping dari ekstrak kratom. Hasilnya mengungkap kratom memiliki sifat analgesik yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan morfin

Riset kratom ini dikerjakan oleh Pusat Riset Vaksin dan Obat serta Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional di bawah Organisasi Riset Kesehatan BRIN.

Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Ni Luh Putu Indi Dharmayanti mengatakan ini kali pertama BRIN melakukan penelitian terkait kratom. Menurutnya, data-data terkait tanaman asli Asia Tenggara itu masih minim. Sehingga awal penelitian BRIN berfokus pada kandungan senyawa aktif pada daun kratom.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Riset bioaktivitas, yaitu meliputi uji antioksidan, antiinflamasi, kemudian juga analgesik, serta efek psikotropika yang kita lakukan secara in vitro dan juga in vivo," kata Indi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Lihat Juga :

Indi mengatakan morfin memiliki tingkat analgesik yang lebih tinggi dari kratom, namun kratom punya durasi menghilangkan rasa sakit yang lebih lama ketimbang morfin.

"Dari hasil riset kami, efek morfin misalnya pada hari ketiga sudah mulai mengalami penurunan terhadap aktivitas analgesiknya. Sedangkan kratom durasi untuk menghilangkan rasa sakitnya masih jauh lebih panjang sampai baru turun di hari ketujuh," ujarnya.

"Jadi itu yang mungkin bisa kita bandingkan dengan morfin terkait dengan aktivitas analgesik yang dimiliki oleh kedua zat tersebut. Sehingga dalam kesimpulan sementara kita bahwa memang kratom ini memiliki aktivitas analgesik yang mungkin dapat bermanfaat untuk pengobatan," katanya.

Riset kimia yang dilakukan oleh BRIN difokuskan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif utama mitraginin pada daun kratom di Indonesia dan memperoleh ekstrak dengan kandungan marker mitraginin tertinggi. Setelah itu dilakukan pengujian bioaktivitas (in vitro dan in vivo) untuk melihat potensi farmakologi (antioksidan, anti-inflammatory, analgesik) dan efek psikotropika.

Ekstrak kasar dan alkaloid daun kratom menunjukkan kandungan mitraginin cukup tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 6 persen dan 56 persen.

Ni Luh P. Indi Dharmayanti, Kepala Organisasi Riset (OR) Kesehatan BRINFoto: (CNN Indonesia/Muhammad Hirzan Ibnurrusyd)
Ni Luh P. Indi Dharmayanti, Kepala Organisasi Riset (OR) Kesehatan BRIN.

Pada pengujian analgesik, tim peneliti BRIN memberikan morfin, ekstrak kasar, dan alkaloid kratom 20 mg/kg kepada mencit atau tikus putih sehari dua kali selama 4 hari. Hasilnya untuk ekstrak kratom khususnya alkaloid kratom didapatkan efek analgesik yang lebih panjang jika dibandingkan dengan morfin.

Sementara pengujian efek psikotropika pada uji toleransi (tolerance assay), hasilnya memperlihatkan aktivitas analgesik yang bertahan hingga hari kelima dengan pemberian ekstrak kratom 20 mg/kg dan alkaloid (10 mg/kg).

Hal ini berbeda dengan pemberian morfin yang hanya menunjukkan aktivitas analgesik hingga hari ketiga dan membutuhkan pemberian dosis lebih tinggi pada hari berikutnya untuk menunjukkan efek analgesik yang sama (efek adiktif).

Kemudian pada pengujian selanjutnya, withdrawal assay, dilakukan peningkatan dosis secara bertahap setiap harinya selama 5 hari, untuk kemudian diamati efek kecanduan (sakau) pada mencit tersebut dengan pemberian injeksi naloxone. Dari pengamatan dapat dilihat kondisi mencit secara penampakan pemberian morfin dan ekstrak alkaloid menunjukkan adanya kemiripan.

Selain itu dalam uji ketergantungan fisik, penggunaan selama 28 hari berturut-turut dan penghentian obat selama 7 hari, tidak menunjukkan gejala toksis seperti halnya gejala putus obat pada golongan narkotika.

Laporan hasil riset BRIN tersebut masih membutuhkan tambahan kelengkapan data ilmiah utamanya tentang efek manfaat, risiko efek toksik dan potensi efek ketergantungan yang muncul dari penggunaan tanaman kratom sebagai bahan evaluasi lanjutan untuk penggolongan tanaman kratom.

Observasi pengguna kratom

BRIN turut meneliti perilaku dan efek samping konsumsi kratom oleh masyarakat di sentra produksi kratom, yakni di Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Melalui observasi klinis komunitas, masyarakat mengaku mengkonsumsi kratom untuk menjaga kebugaran dan pengobatan sejumlah penyakit.

Indi mengatakan beberapa responden mengaku tidak betul-betul merasakan efek kebugaran dari kratom. Mereka masih ada yang tetap merasa gelisah, susah tidur, dan sulit berkonsentrasi. Di sisi lain, beberapa responden juga mengaku tidak merasakan efek samping setelah lama tidak mengkonsumsi kratom.

"Ternyata memang hasil research, hasil observasi klinis kami, itu memang konsumsi kratom dengan durasi dan takaran yang beragam itu mempengaruhi. Misalnya pola tidur, nafsu makan, berat badan, kemudian juga dorongan seksual, serta konsumsi alkohol," ujarnya.

"Temuan observasi klinis itu juga mengungkap beberapa memang tidak bisa mengurangi penyakit, seperti kolesterol, gula darah, dan sebagainya," imbuhnya.

Terlepas dari itu, Indi menekankan kratom memiliki efek psikotropika jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, BRIN masih butuh penelitian lebih lanjut terkait dosis aman penggunaan kratom serta pengujian apakah kratom bisa menjadi obat untuk pasien ketergantungan opioid.

"Kita masih memerlukan riset lanjutan yang tadi saya kemukakan tadi terkait dengan range dosis aman dari kratom itu seperti apa. Karena kita tahu bahwa kratom itu memiliki efek sedatif narkotik. Kemudian juga terkait dengan apakah kratom ini bisa untuk menggantikan ketergantungan terhadap opioid. Itu yang masih kita lakukan," katanya.

"Tentu penelitiannya tidak bisa setahun saja begitu, terus masih akan kita lakukan," ujar Indi.

Indi menambahkan saat ini pihaknya juga tengah mengembangkan pembuatan koyok atau patch dengan bahan baku ekstrak kratom. Koyok atau patch ini merupakan salah satu metode penghantaran obat secara transdermal.

"Karena dia mempunyai efek analgesik yang mempunyai durasi cukup panjang yang tentunya bisa kita manfaatkan sebagai alternatif untuk yang lebih aman dibandingkan dengan jika dimanfaatkan dengan cara yang lain. Misalnya salah satu alternatifnya dengan membuat kratom dalam kratom patch (koyok)," ujarnya

Dalam laporan penelitian BRIN, pengembangan dan evaluasi transdermal patch berbasis alkaloid kratom untuk terapi analgesik topikal masih berjalan. Indonesia sebagai pengekspor bubuk kering daun kratom terbesar di dunia sangat berpotensi untuk menghasilkan produk hilir.

Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, Masteria Yunovilsa Putra.Foto: (CNN Indonesia/Meutia Rahmawati)
Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, Masteria Yunovilsa Putra.

Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN Masteria Yunovilsa Putra mengatakan daun kratom memiliki dua sisi, yakni sifat analgesik jika dikonsumsi dalam dosis rendah dan sifat psikotropika apabila dengan dosis tinggi.

"Kita bisa melihat bahwa memang antara ekstrak dan alkaloid ekstrak mempunyai potensi sebagai analgesik, tapi tidak sekuat morfin dan amfetamin. Dalam uji penuh yang kami lakukan itu mempunyai potensi untuk analgesik," kata Masteria di laboratorium BRIN.

Dari penelitiannya ini, Masteria menemukan bahwa daun kratom dari Kapuas Hulu memiliki kualitas unggul.

"Kami pernah mendapatkan dari Kalimantan Timur, kami mendapatkan dari Kalimantan Barat juga, kemudian di beberapa daerah, memang Kapuas Hulu menjadi sumber utama yang bagus untuk kandungan senyawa mitraginin, yang paling bagus dibandingkan daerah-daerah yang lainnya," kata Masteria.

Namun, Masteria mengaku belum bisa memastikan kratom bisa dipakai sebagai obat. Menurutnya, masih butuh penelitian lebih lanjut untuk memutuskan bahwa tanaman ini bisa menjadi obat yang aman dikonsumsi manusia. Pihaknya juga terus berkomunikasi dengan BPOM dan Kementerian Kesehatan terkait hasil penelitian awal ini.

"Tugas kami membuktikan secara riset itu tidak masalah. Tetapi nanti untuk dijadikan produk atau apakah ini legal secara (hukum) di Indonesia, itu nanti ranahnya di Kemenkes dan Badan POM," ujarnya.

Masteria menambahkan peneliti BRIN mempublikasikan hasil penelitian terbaru terkait kratom yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah Molecules.

Menurutnya, efek analgesik yang dimiliki oleh alkaloid kratom memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. Salah satunya adalah penggunaan ekstrak alkaloid kratom sebagai adjuvant untuk pengobatan kanker bersama penggunaan dosis rendah obat antikanker doxorubicin dalam menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro.

Berdasarkan hasil riset lainnya yang dilakukan Masteria dkk., saat ini dalam proses peer review journal, juga menemukan adanya potensi alkaloid kratom untuk dikembangkan sebagai obat antiinflamasi yang mampu menurunkan efek samping yang biasa ditemui pada obat-obatan anti inflamasi golongan non-steroid (non-steroid antiinflammatary drugs) secara in vitro.

"Aktivitas ini ditenggarai karena adanya mekanisme dual inhibisi dari senyawa alkaloid kratom terhadap enzim yang berperan dalam proses inflamasi," jelasnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Potensi Kratom Jadi Tanaman Obat

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER