Pemilihan mapel pilihan ini bukan tidak mungkin menimbulkan gesekan antara keinginan siswa dan permintaan orang tua.
Perbedaan itu pun terjadi di SMAN 36. Untuk mendapatkan titik temu, pihak sekolah pun memanggil orang tua/wali guna diskusi perihal mapel pilihan siswa.
Wakasek SMAN 36, Imas mengatakan tanggapan orang tua terhadap Kurikulum ini positif. Hanya saja, ada sebagian orang tua yang masih beranggapan ada 'Anak IPA' dan 'Anak IPS'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu Sunaryo mengakui selama penerapannya sejauh ini selalu terjadi minat siswa ternyata banyak tertuju pada suatu paket mapel pilihan. Ketika itu terjadi, dia mengatakan pihak sekolah akan mempertimbangkan kemampuan siswanya untuk mengambil mapel tersebut.
"Makanya itu dasarnya tiga, yakni minat, bakat, kemampuan. Kalau dengan minat sudah tercukupi, ya sudah. Ternyata dengan minatnya yang milih sampai 300 orang, tapi guru cuma satu. Ya baru kita lihat kemampuannya. Jadi bertahap. (Kemampuan dari) nilai kelas 10," kata dia.
![]() |
Sunaryo menyebut siswa kelas 10 di SMAN 70 beberapa kali mengirimkan angket terkait mapel yang disenangi sebelum akhirnya memilih mapel pilihan. Hal itu dilakukan sepanjang semester genap pada kelas 10.
"Jadi di kelas 10 anak-anak dikasih gform survey Dari empat sampai lima kali gform kita jembreng, kecenderungan anak ini yang mana sih? Misalnya, 'Santi kecenderungannya ke Biologi dan Kimia. Kenapa pilih Biologi dan Kimia? Panggil anaknya. Ternyata anaknya mau kedokteran'," tutur dia.
Secara keseluruhan sejauh ini, Sunaryo mengklaim orang tua/wali maupun siswa merasa senang selama sekolah ini mengimplementasikan Kurikulum Merdeka di SMAN 70 Jakarta itu.
Salah satu siswa kelas 12 di SMAN 36 Jakarta, Dhafa Akbar Novalendo (17) mengaku dia dan teman-teman adalah angkatan pertama yang menggunakan Kurikulum Merdeka di sekolah tersebut.
Menurut Dhafa, Kurikulum Merdeka membantu mengembangkan potensinya karena menyediakan jam pelajaran khusus untuk siswa dapat membuat proyek mandiri.
Ia menyebut terdapat tema proyek yang dapat dikerjakan siswa. Adapun proyek mandiri ini berada di luar jam pelajaran mapel pilihan.
"Misalnya, pilihan tema wirausaha. Istilahnya, sebelumnya saya sama sekali enggak mengenal usaha, ekonomi, dan segala macam. Tetapi dengan Kurikulum Merdeka ini, kita benar-benar diperkenalkan dan di-push untuk bisa mengenal itu. Dan di situ tanpa kita sadari itu bisa mengembangkan potensi-potensi yang sebelumnya kita enggak pernah sadari," kata Dhafa saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (23/7).
Ketua OSIS SMAN 36 Jakarta ini mengaku telah memiliki tujuan yang jelas terkait mapel pilihan sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kini, Dhafa duduk di kelas 12 F1.1. Itu artinya Dhafa memilih mapel pilihan Kesehatan.
"Dari dulu saya sudah mau jadi dokter, makanya saya ambil di F1," aku Dhafa.
Sementara itu, ada pula siswa yang mesti beradaptasi dengan Kurikulum Merdeka karena termasuk anak pindahan dari sekolah lain yang belum menerapkan kurikulum itu.
Contohnya, Alia Majida (16), siswa kelas 12 F3.1 SMAN 36 Jakarta. Dia baru pindah ke sekolah di Rawamangun itu dari salah satu SMA swasta pada kelas 11. Dia pun mengaku langsung harus beradaptasi dengan paket mapel pilihan dari kurikulum Merdeka Belajar yang diterapkan di SMA negeri itu.
"Kalau kesulitan (penyesuaian) sih pasti ada. Karena kan aku dari sekolah sebelumnya kan bukan Kurikulum Merdeka ya. Aku kesulitan banget karena tiba-tiba pas masuk sini kayak udah ada proyek, tiba-tiba disuruh bikin ini bikin itu, sedangkan di sekolah lama itu enggak ada, benar-benar teori semua gitu. Kalau masuk ke sini rata-rata praktik semua, presentasi gitu-gitu, aku jarang di sekolah yang lama," kata Alia.
Alia mengungkap orang tuanya sempat takut dirinya terbebani dengan Kurikulum Merdeka ini.
"Awalnya mereka kayak takut, terbebani, karena takutnya akunya enggak mampu. Cuma ketika mereka melihat proses aku selama di sini, terus aku juga ternyata bisa mengikuti dan diakui juga. Jadinya mereka udah ngerasa aman gitu," kata dia yang mengambil mapel pilihan F3 Bahasa.
"Plus (Kurikulum Merdeka) aku jadi merasa sekolah terfokusnya kepada aku, kepada siswa. Karena kan kita disuruh presentasi, proyek. Jadinya kayak guru-guru itu kayak melihat kreativitas kita gitu. Jadi aku ngerasa kayak kreativitas aku itu diakui oleh guru-guru. Kalau minus (Kurikulum Merdeka) belum ada sih sejauh ini," imbuh Alia.