Kebijakan bantuan sosial (bansos) menjadi salah satu senjata andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melindungi ekonomi kelompok miskin dalam satu dekade pemerintahan.
Kebijakan ini juga menjadi bukti bahwa negara hadir di era pemerintahan Jokowi. Maka tak heran jika anggaran mencapai ratusan triliun selalu digelontorkan untuk pemberian bansos kepada masyarakat.
Jokowi mengungkapkan pemerintah sengaja membuat berbagai jenis bansos karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada konsumsi masyarakat. Porsinya mencapai lebih dari 50 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan karena kondisi ekonomi global yang masih relatif stagnan, pertumbuhan ekonomi kita akan lebih bertumpu pada permintaan domestik, sehingga daya beli masyarakat akan dijaga ketat dengan pengendalian inflasi, dengan penciptaan lapangan kerja dan dukungan program bansos dan subsidi," ungkap Jokowi di Gedung DPR/MPR, Jumat (16/8).
Data APBN KiTa edisi September 2024 mencatat realisasi belanja seluruh bansos mencapai Rp95,89 triliun pada Januari-Agustus 2024. Realisasi ini mencapai 62,96 persen dari pagu senilai Rp152,3 triliun pada tahun ini.
Menurut catatan Kementerian Keuangan, realisasi belanja bansos itu mencakup penyaluran bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) bagi 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan penyaluran program Kartu Sembako bagi 18,7 juta KPM.
Kemudian, penyaluran bansos juga telah diberikan untuk bantuan iuran bagi 96,6 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan bantuan tanggap darurat bencana oleh Badan Nasional Penanggulang Bencana (BNPB).
Selanjutnya, pemerintah juga telah menyalurkan belanja bansos untuk bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) bagi 12,3 juta siswa dan bantuan bantuan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) bagi 875,2 ribu mahasiswa.
Tak hanya melalui bansos, pemerintah membuktikan negara hadir di tengah masyarakat melalui pemberian berbagai jenis subsidi, baik energi maupun non-energi.
Realisasi belanja subsidi sendiri sudah mencapai Rp146,97 triliun pada Januari-Agustus 2024. Capaian ini setara 51,39 persen dari pagu yang dianggarkan pada tahun ini sebesar Rp285,97 triliun.
Subsidi yang diberikan ini mencakup subsidi energi untuk bahan bakar minyak (BBM) sebanyak Rp12,57 triliun. Subsidi BBM yang diberikan mencapai 10,28 juta KL.
Subsidi energi juga diberikan untuk pembelian LPG tabung 3 kg bagi 4,74 juta MT dengan nilai mencapai Rp48,2 triliun, dan subsidi listrik bagi 40,86 juta pelanggan mencapai Rp42,08 triliun.
Pemerintah juga memberikan subsidi bagi sektor usaha kecil, misalnya subsidi pupuk sebanyak 4,42 juta ton mencapai Rp11,97 triliun dan subsidi PSO Rp2,96 triliun.
Kemudian ada pula pemberian subsidi untuk bunga program pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) mencapai Rp23,6 triliun. Bunga KUR diberikan kepada 3,32 juta debitur.
Tak ketinggalan, pemerintah juga memberikan subsidi pajak mencapai Rp5,59 triliun dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) perumahan bagi 106,97 unit rumah bersubsidi.
Jika ditotal, pemberian bansos dan subsidi sejatinya sudah menyentuh ratusan juta penduduk Indonesia, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan kalangan menengah.
"Jumlah peserta JKN juga meningkat dari sebelumnya 133 juta menjadi 273 juta di tahun 2024, di mana separuh dari jumlah tersebut adalah Penerima Bantuan Iuran dari pemerintah," kata Jokowi.
Sementara jika ditotal dalam satu dekade terakhir, pemberian bansos dari pemerintah telah meningkat dari segi jumlah anggaran maupun jumlah penerima. Pada PKH misalnya, mulanya bantuan diberikan kepada 2,8 juta KPM dengan realisasi anggaran mencapai Rp3,87 triliun pada 2014.
Perlahan, jumlah penerimanya meningkat menjadi 3,5 juta KPM dengan anggaran Rp6,32 triliun pada 2015. Kemudian naik lagi menjadi 5,98 juta KPM dengan anggaran Rp8,54 triliun pada 2016 sampai akhirnya menyentuh angka 9,99 juta KPM dengan anggaran Rp28,01 triliun pada 2023.
Begitu pula dengan program Kartu Sembako yang semula tidak diberikan pada 2014. Program bansos ini baru diberikan mulai 2015 kepada 15,5 juta KPM dengan anggaran mencapai Rp21,84 triliun.
Jumlah penerima dan anggarannya pun perlahan naik dari tahun ke tahun hingga akhirnya bantuan ini dapat dirasakan oleh 18,7 juta KPM dengan anggaran mencapai Rp44,15 triliun pada 2023.
Sejalan dengan derasnya anggaran perlindungan sosial kepada masyarakat dengan bujet mencapai ratusan triliun per tahun, tingkat kemiskinan di Indonesia pun menurun. Artinya, kebijakan ini dapat mengikis jumlah penduduk miskin di Tanah Air.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 28,28 juta orang pada Maret 2014. Jumlah ini setara 11,25 persen dari total populasi Indonesia.
Sementara selang sedekade kemudian, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 25,22 juta orang pada Maret 2024. Jumlahnya setara 9,03 persen dari total penduduk Indonesia.
Artinya, jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berkurang 3,06 juta orang dalam 10 tahun terakhir. Oleh karenanya, Jokowi ingin program perlindungan sosial dalam bentuk bansos dan subsidi tetap diberikan kepada masyarakat miskin pada tahun depan, meski sudah tidak menjabat lagi.
Pemerintah pun tetap menganggarkan alokasi perlindungan sosial mencapai Rp504,7 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Selain itu, dukungan bagi 'wong cilik' juga dipastikan kembali hadir melalui anggaran kesehatan mencapai Rp197,8 triliun dan anggaran ketahanan pangan mencapai Rp124,4 triliun.
"Ini untuk mengurangi beban masyarakat miskin dan rentan serta mengakselerasi pengentasan kemiskinan yang dilakukan dengan tepat sasaran, efektif, dan efisien," ucap Kepala Negara.
Selain dalam bentuk bansos dan subsidi, pemerintah juga memastikan negara hadir sampai ke pelosok negeri melalui akses internet. Hal ini direalisasikan dengan melakukan pembangunan infrastruktur digital selama satu dekade terakhir.
Salah satunya dengan pembangunan proyek jaringan serat optik, Palapa Ring yang dimulai secara bertahap pada 2016. Pembangunan dimulai dengan Palapa Ring Barat, Palapa Ring Tengah hingga Palapa Ring Timur.
Secara total, pembangunan serat optik ini mencapai 36 ribu kilometer dan menjangkau 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Proyek ini pun akhirnya rampung secara menyeluruh pada 2019.
Hasilnya, masyarakat Indonesia di pusat ekonomi hingga yang berada di pelosok negeri dapat merasakan akses internet yang sama, sehingga berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
Salah satunya adalah masyarakat di Desa Puncak Jeringo, Suwela, Lombok Timur, NTB yang lokasinya berada di bawah kaki Gunung Rinjani. Sebelumnya mereka sempat terisolasi karena kesulitan mendapat jaringan internet secara stabil.
Dampak dari kesulitan mendapat akses internet ini dirasakan oleh para guru dan murid SDN 01 Puncak Jeringo. Berbagai upaya demi mendapat jaringan internet yang stabil ini sudah dicoba, tapi sayangnya tidak efektif dan tidak bertahan lama.
"Kami pernah mencoba beberapa, yang pertama seperti kita ketahui itu ada program pemerintah, bantuan TIK berupa chromebook bersama router. Nah kami bisa memanfaatkan router itu. Cuma dari segi pulsa sepertinya agak boros gitu," ujar Kepala Sekolah SDN 01 Puncak Jeringo Maturiadi Firmansyah kepada CNN Indonesia.
"Misalkan kami juga kalau menggunakan itu dalam bentuk mid, gak bisa menjangkau ke semua kelas karena terlalu memakan pulsa, itu router. Kemudian kami pernah mencoba jaringan wifi, karena dia modalnya nembak, rentan gangguan gitu. Artinya, jaringannya gak stabil," imbuhnya.
Meski sempat terkendala akses internet yang tidak stabil, kini Desa Puncak Jeringo telah mendapat bantuan dari program BAKTI SINYAL Kominfo di bawah naungan Kementrian Komunikasi dan Informatika, dengan memasang alat pemancar sinyal dengan jaringan Telkomsel di sekolah tersebut pada September lalu.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat akses internet yang meningkat turut menaikkan jumlah pengguna internet di dalam negeri dari 71,19 juta orang pengguna pada 2013 menjadi 221,56 juta pengguna pada 2024. Kenaikannya mencapai lebih dari dua kali lipat.
Tak hanya dari jumlah pengguna, tingkat kecepatan internet di Tanah Air juga meningkat dari 1,7 Mbps pada 2013 menjadi 24,53 Mbps untuk download dan 13,2 Mbps untuk upload pada 2024.
Bahkan, kecepatan rata-rata internet di Indonesia mampu berada di peringkat ke-104 dunia. Posisi ini menempatkan Indonesia di atas Vietnam, Filipina, dan India.
Dengan akses internet yang merata dan cepat, masyarakat akan terbantu dalam berbagai aktivitas seperti kerja, usaha, maupun sekolah. Hal ini juga berdampak pada tingkat pelayanan publik dan kesehatan bagi masyarakat yang kini berbasis digital.
(yli/vws)