Jakarta, CNN Indonesia --
Pengamat mencibir usul calon pimpinan KPK petahana Johanis Tanak yang dalam fit and proper test di DPR menyatakan agar operasi tangkap tangan (OTT) pelaku tindak pidana korupsi ditiadakan saja, karena tak sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pengamat mengatakan OTT itu justru selama ini menjadi salah satu giat terdepan KPK dalam memerangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
Efek gentar terhadap koruptor
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) Zaenur Rohman berpendapat OTT diperlukan KPK untuk pengungkapan kasus-kasus suap, sehingga tak hanya berpatok pada konstruksi penyidik membangun pengungkapan kasus (case building) saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, dia mengatakan OTT juga mampu menimbulkan efek gentar bagi pihak yang punya niat melakukan tindak pidana korupsi.
"Kalau rencana Tanak ini nanti akan diterapkan di KPK, tidak ada lagi OTT, ya tentu para pelaku tindak korupsi akan sangat senang dan mereka tidak akan takut lagi dan KPK kehilangan deterrent effect (efek gentar) di dalam pemberantasan korupsi," kata Zaenur saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (20/11) malam.
Menurutnya, pernyataan Tanak yang ingin menghapus OTT itu adalah sesat pikir yang sekadar ingin mengambil hati dan menyenangkan anggota DPR. Pasalnya, kata dia, anggota DPR adalah penyelenggara negara yang juga rentan terhadap tindak pidana korupsi sehingga takut terkena OTT.
"Anggota DPR itu paling takut sama OTT, karena anggota DPR itu penyelenggara negara yang paling banyak diduga menerima suap dari para pengusaha, dari orang-orang yang dibantu urusannya dan seterusnya," katanya.
Zaenur pun mempersoalkan pernyataan Anggota DPR yang meminta KPK mengingatkan penyelenggara sebelum melakukan korupsi.
"Ada politisi bertanya, 'Kenapa tidak dicegah sebelum adanya suap? Kalau dicegah sebelum suap itu terjadi, padahal itu sudah ada informasi akan terjadi suap, maka pelaku akan membatalkan'. Padahal biasanya informasi akan adanya suap itu adalah kejadian yang kesekian kali, bukan merupakan pertama kali," ujar Zaenur menyindir anggota DPR tersebut.
Zaenur mengatakan KPK justru sebaiknya lebih kencang lagi dengan meningkatkan OTT terhadap penyelenggara negara yang melakukan aksi tipikor. Selain itu, dia mengatakan setelahnya tetap perlu juga ada perbaikan sistem agar tindak pidana korupsi tidak berulang.
"Pasca-OTT, dilakukan perbaikan sistem agar korupsi tidak terulang di instansi yang terkena OTT," ujarnya.
 Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) menyaksikan petugas KPK menunjukkan barang bukti uang tunai saat rilis kasus dugaan korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4/2023). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
OTT KPK Tak Berlawanan dengan KUHAP
Hampir senada, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola berpendapat pernyataan Johanis Tanak soal OTT itu tak memiliki dasar di dalam KUHAP justru tidak tepat.
Menurut Alvin, tidak ada hukum acara pidana yang dilanggar dari OTT yang dilakukan KPK sejak berdiri dua dekade lalu.
Menurutnya, KUHAP tidak mempermasalahkan metode dalam penindakan kasus.
"Apakah lewat OTT atau case building (membangun kasus). Justru yang penting itu soal pembuktiannya," kata Alvin saat dihubungi Rabu malam lalu.
Alvin mengatakan di negara yang korupsinya sistemik seperti Indonesia, OTT bisa jadi pilihan metode penindakan yang strategis. Namun, imbuhnya, dengan syarat bahwa operasi tangkap tangan terhadap koruptor itu harus dilakukan secara profesional dan akuntabel
"Jadi enggak ada alasan materiil maupun formil [jadi pembenar] kalau OTT itu dihentikan," ujarnya.
Di sisi lain, ia berpendapat memang banyak yang perlu dievaluasi dari sistem penindakan di KPK di era pimpinan sebelumnya. Evaluasi harus dilakukan pimpinan KPK ke depan.
"Misal di era Firli [Eks Ketua KPK Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri], banyak info bocor, suap penyidik dan lain-lain. Justru itu tugas pimpinan KPK ke depan, untuk mengevaluasi itu," ucapnya.
 Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) memberikan keterangan pers kasus dugaan korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4/2023). (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
Pernyataan Johanis Tanak soal hapus OTT ada di halaman selanjutnya
Sementara itu, Indonesia Memanggil (IM57+) Institute mengaku tidak terkejut dengan keinginan Johanis Tanak yang ingin menghapus OTT. Hal tersebut dihubungkan dengan berbagai catatan potensi etik yang pernah ada selama kepemimpinan di KPK.
"Pada sisi kinerja, minimnya prestasi KPK dalam pengungkapan kasus korupsi menjadi cerminan justifikasi JT (Johanis Tanak) untuk membenarkan apa yang dilakukan selama di KPK," kata Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito.
Yang cukup mengkhawatirkan, kata Lakso, adalah pernyataan tersebut diucapkan ketika instansi asal Johanis Tanak yaitu Kejaksaan Agung mulai mengadopsi pendekatan OTT (red handed) pada berbagai kasus yang memang dikenal dalam praktik pemberantasan kejahatan pada skala internasional.
"Suatu kejanggalan ketika praktik tersebut diterapkan dan diadopsi penegak hukum lain, malah KPK meninggalkannya. Padahal, OTT adalah pintu masuk membongkar kejahatan yang lebih serius," ucap Lakso.
Di sisi lain, Lakso menganggap keinginan Johanis Tanak menghapus OTT menjadi pembuktian bagi DPR dan presiden untuk tidak mengulangi kesalahan dalam pemilihan calon pimpinan KPK sebelumnya.
"Kami teringat bagaimana statement-statement kontroversial Firli Bahuri dikeluarkan pada uji publik di DPR lima tahun lalu yang ternyata terbukti membawa kehancuran pemberantasan korupsi pascaterpilih menjadi pimpinan KPK," ungkap Lakso.
"Kalau DPR melakukan hal yang sama maka bukanlah kejutan bagi publik. Akan tetapi, apabila ternyata DPR merealisasikan janji perubahan KPK, maka itu adalah legacy pemerintahan baru Indonesia," tegasnya.
Saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon pimpinan KPK periode 2024-2029 di Komisi III DPR, Selasa (19/11), Johanis Tanak mengaku akan menghapus OTT apabila terpilih kembali menjadi Komisioner KPK.
Capim petahana KPK itu menilai konsep OTT tidak tepat berdasarkan terminologi maupun aturan KUHAP.
"Seandainya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua [rapat seleksi di Komisi III DPR], saya akan tutup, close, karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata Johanis disambut tepuk tangan para anggota DPR saat itu.
Menurut Tanak, secara terminologi definisi OTT tidak tepat. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata dia, operasi adalah serangkaian kegiatan yang telah dipersiapkan layaknya dilakukan seorang dokter.
Sementara menurut KUHAP, tertangkap tangan menghendaki penangkapan yang dilakukan seketika dan tanpa perencanaan.
"Nah kalau ada suatu perencanaan operasi itu, terencana, satu dikatakan suatu peristiwa itu ditangkap, ini suatu tumpang tindih. Itu tidak tepat. Ya menurut hemat saya OTT itu tidak tepat," katanya.
Tanak menjadi satu dari sepuluh capim KPK yang namanya disetor Presiden ketujuh RI JokoWidodo (Jokowi) sebelumnya untuk dipilih lima orang oleh DPR guna memimpin KPK periode 2024-2029.
Johanis Tanak saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua KPK. Ia mulai menduduki jabatan itu Oktober 2022 menggantikan Lili Pintauli Siregar yang mengundurkan diri karena dugaan gratifikasi dari PT Pertamina terkait akomodasi dan tiket menonton MotoGP Mandalika. Saat menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, Tanak juga sempat terjerat dugaan pelanggaran etik, tetapi dinyatakan tak bersalah.
Sementara itu dalam lanjutan kegiatan fit and proper test di Komisi III DPR, Calon Dewan Pengawas (Dewas) KPK Benny Jozua Mamoto mengaku ingin membuat payung hukum khusus untuk operasi tangkap tangan.
Benny menjelaskan OTT memiliki kemiripan dengan teknik penyidikan kasus narkotika. Metode penyidikan itu diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Maka dalam hal OTT KPK menurut kami juga perlu satu aturan yang dibuat atau payung hukum sehingga nanti tidak dipermasalahkan," kata Benny dalam fit and proper test di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (20/11).
Kini, Tanak telah terpilih menjadi satu dari pimpinan KPK periode 2024-2029. Belum diketahui nasib OTT ke depan di KPK.
Namun, Ketua KPK terpilih, Setyo Budiarto adalah pimpinan yang setuju OTT terus dilakukan.