Lebih lanjut, Zaenur mengatakan perlu sanksi tegas agar praktik korupsi di lembaga peradilan ini tak kembali terulang. Menurutnya, jika ada seorang hakim yang terlibat korupsi selain diproses pidana, ada sanksi untuk ketua pengadilan tempat hakim itu bekerja.
Ia menyebut para ketua pengadilan ini harus ikut bertanggungjawab karena gagal membina para hakimnya.
"Ini harus di semua level, kalau pengadilan negeri berati ketua pengadilan negeri dicopot, hakim pengadilan tinggi nerima suap, ketua pengadilan tingginya harus dicopot, hakim agung yang nerima suap, ketua MA mengundurkan diri, ketua kamar juga mengundurkan diri, itu bagian dari pertanggungjawaban pimpinan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaenur juga mengusulkan perubahan aturan terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dengan memberikan sanksi pidana atau perdata bagi pejabat yang tidak melaporkan hartanya. Selain iut perlu revisi UU Tindak Pidana Korupsi (TIpikor) dan mendorong Undang-undang Perampasan Aset disahkan.
"Karena mafia hukum akan tergilas habis kalau Indonesia punya instrumen itu," katanya.
Zaenur mengatakan pemerintah dan lembaga penegak hukum juga harus memperbaiki sistem rekrutmen, promosi, mutasi, demosi, hingga kesejahteraan.
Dari sisi kesejahteraan, menurutnya, perlu dukungan dari pemerintah. Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 terkait peningkatan gaji hakim pada 18 Oktober lalu. Gaji para hakim naik hampir dua kali lipat.
Namun, kata Zaenur, pemerintah mesti meningkatkan gaji para pegawai MA dan lembaga peradilan di bawahnya.
"Itu yang juga perlu untuk disesuaikan bahkan sekarang pun terjadi disparitas yang cukup lebar antara hakim dan nonhakim, mereka kan beroperasi, mafia ini tidak hanya dari hakim tapi dari pegawai," ujarnya.
Zaenur mengatakan saat ini kesejahteraan para hakim masih lebih baik dari penegak hukum lain, seperti polisi dan jaksa. Ia mendukung perbaikan kesejahteraan bagi polisi dan jaksa agar tak tergiur melakukan korupsi.
"Diikuti dengan pengawasan, yang nakal-nakal tolong diamputasi, mereka akan membuat malu institusi, harus ada perbaikan serius, reformasi yang serius, yang bersama-sama dipikirkan dengan pemerintahan yang baru ini," katanya.
Masalah mafia hukum demikian kompleks. Jejaringnya terajut dari pegawai level rendah hingga elite. Bibitnya pun bisa dimulai sejak dari masa perekrutan aparat.
Faktor penyebab pun beragam, mulai dari masalah gaji, integritas, hingga sistem pengawasan yang lemah terhadap aparat.
Salah satu faktor yang juga berpengaruh adalah demoralisasi. Menurut Luhut M.P. Pangaribuan (2002), secara umum perilaku koruptif pada hampir semua penegak hukum bukan terjadi karena moral yang rendah, namun merupakan akibat terjadinya demoralisasi para penegak hukum serta gaya hidup yang berlebihan. Akibatnya, menerima uang secara tidak halal, menurut persepsi mereka, bukanlah sesuatu yang aneh lagi, tapi menjadi suatu keharusan (Yuntho, 2009).
Bertalian dengan demoralisasi itu, Peneliti Pusat Studi Antikorupsi (Saksi) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah alias Castro mengatakan saat ini MA kehilangan panutan usai Artidjo Alkostar pensiun. Mantan hakim agung itu meninggal pada 28 Februari 2021 lalu.
Castro menyebut MA betul-betul disegani ketika Artidjo masih memegang palu hakim. Banyak terdakwa korupsi yang pikir-pikir mengajukan kasasi ataupun peninjauan kembali karena was-was perkaranya ditangani Artidjo.
"Ya kalau sekarang terungkap perkara yang melibatkan hakim-hakim MA itu karena Mahkamah Agung sedang keropos, kehilangan panutan dalam urusan integritas dalam pemberantasan korupsi, seperti diibaratkan anak ayam kehilangan induk," kata Castro kepada CNNIndonesia.com.
Castro menilai korupsi yang masih muncul di dunia peradilan terjadi karena masalah di hulu sampai hilir. Mulai dari proses seleksi hakim yang kurang ketat. Ia mencontohkan soal pelacakan integritas dan rekam jejak yang setengah hati.
Selain itu, kata Castro, pengawasan internal di MA juga lemah. Menurutnya, MA seperti tak tegas memproses etik para hakim atau pejabat yang terlibat korupsi atau suap. Lembaga peradilan tertinggi itu seolah-olah ingin menyelesaikan kasus-kasus ini sendiri.
"Padahal kan untuk menjamin objektivitas penanganan perkara, kalau ada kasus-kasus yang melibatkan hakim-hakim atau kalangan di internal MA harusnya ditangani penegak hukum lain," ujarnya.
Castro mendorong kewenangan Komisi Yudisial (KY) lebih diperkuat dalam mengawasi para hakim. Ia menyinggung keputusan KY yang mengusulkan kepada MA memberhentikan tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur jauh sebelum Kejagung menangkap tangan ketiganya.
"Tapi urung dieksekusi MA karena alasan belum inkracht. Harusnya rekomendasi KY bersifat mengikat. Cukup banyak hakim hakim yang saya yakin masih punya integritas di Mahkamah Agung," katanya.
MA sebelumnya telah mengambil langkah dengan membentuk tim pemeriksa untuk mengklarifikasi majelis hakim yang menangani kasasi perkara Ronald Tanur pada 28 Oktober lalu. Tim pemeriksa bekerja sepekan mendalami dugaan permufakatan suap.
Hasilnya MA menyatakan tidak ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) oleh majelis kasasi yang terdiri dari hakim agung Soesilo, Ainal Mardhiah, dan Sutarjo. Kasus tersebut dinyatakan ditutup.
Di sisi lain KY menyatakan bakal tetap mengusut dugaan pelanggaran etik majelis hakim kasasi perkara Ronald Tannur tersebut.
"Berdasarkan putusan pleno, KY akan terus mendalami dan tetap memeriksa atas dugaan pelanggaran etik majelis hakim kasasi yang menangani perkara GRT," kata Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata beberapa waktu lalu.
Ketua MA periode 2024-2029 Sunarto juga telah mengeluarkan imbauan setelah mencuat kasus dugaan suap tiga hakim PN Surabaya dan Zarof Ricar yang juga menyeret majelis kasasi perkara Ronald Tannur. Imbauan kepada para ketua pengadilan tingkat banding dan tingkat pertama itu dikeluarkan pada 22 November lalu.
Sunarto mengimbau jajarannya selalu meniatkan pekerjaan yang kita lakukan selain untuk memenuhi kewajiban, juga untuk beribadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian menjunjung tinggi etika profesi sebagaimana termuat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Panitera dan Juru Sita, serta Aturan Perilaku Pegawai Mahkamah Agung.
"Memberikan pelayanan terbaik dengan cara bekerja keras, cerdas, dan ikhlas, serta menghindari pelayanan yang bersifat transaksional," ujarnya.
Sunarto juga mengimbau jajarannya menghindari perbuatan tercela agar dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap badan peradilan.
"Memperkuat jiwa korsa agar tercipta rasa persatuan, kebersamaan, dan rasa memiliki organisasi demi terwujudnya peradilan yang agung," katanya.
Tentu saja, iktikad baik tak cukup untuk memberantas soal mafia hukum. Pun dengan dukungan lembaga-lembaga negara seperti MA, KY, hingga KPK.
Pemberantasan mafia hukum yang kian menjerat sistem hukum di Indonesia, memerlukan komitmen politik dari pemimpin tertinggi dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto.
Kasus Zarof, yang terbongkar di masa-masa awal pemerintahan Prabowo, sejatinya bisa jadi momentum bagi pemerintah untuk menegaskan sekaligus membuktikan komitmen mereka membongkar mafia hukum, menciptakan pemerintahan yang bersih, dan memperkuat reformasi hukum seperti dijanjikan dalam Asta Cita.
(wis)