Pakar hukum tata negara Mahfud MD meminta Presiden Prabowo Subianto memikirkan ulang rencana pemindahan terpidana kasus penyelundupan narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso ke negara asalnya, Filipina.
Mantan Menko Polhukam itu meminta rencana pemulangan Mary Jane tak dilakukan sampai setidaknya disahkan undang-undang yang melandasi pemulangan narapidana asing ke negara asalnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Supaya dipikirkan dulu, kalau memang sudah kebelet mau dilaksanakan buat undang-undangnya, sekarang, bawa ke DPR," kata Mahfud ditemui di UII, Sleman, DIY, Jumat (13/12).
Mahfud menekankan, pemindahan Mary Jane sekarang hanya akan melanggar asas legalitas. Alasannya, memang tak bisa dilakukan menimbang bunyi Pasal 45 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Beleid ini, kata Mahfud, mengamanatkan pembuatan aturan yang khusus mengatur pemindahan narapidana.
"Nah di undang-undang itu apa yang diatur, harus syaratnya. Yang dipertukarkan itu jenis narapidana apa, jenis hukumannya bagaimana, bagaimana memindahkannya, dan seterusnya. Karena kan bisa beda-beda sistem hukumnya," ujarnya.
"Oleh sebab itu, dibuat undang-undang dulu dan dengan persetujuan DPR," kata Mahfud menambahkan.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu melanjutkan pemindahan Mary Jane ini berbeda dengan penangkapan dan pemulangan narapidana kasus hak tagih (cessie), Bank Bali Djoko Tjandra beberapa tahun lalu. Mahfud melihat banyak yang mempersepsikan kedua kasus ini serupa.
Menurut Mahfud, Djoko Tjandra dahulu bisa dipulangkan lewat skema Perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) antara Indonesia dengan negara lain. Ini diatur berdasar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006.
"Ada yang mengatakan 'enggak pak, itu (Indonesia) udah pengalaman (transfer of prisoner), nggak pakai undang-undang', yang nggak pakai undang-undang itu adalah MLA," ujarnya.
Sesuai UU Nomor 1 Tahun 2006, pemindahan individu dan perkara melalui jalur MLA hanya memungkinkan selama yang bersangkutan belum resmi berstatus tersangka atau terpidana dalam suatu kasus.
Kata Mahfud, MLA selain itu melarang pemulangan narapidana dan pemindahan perkara tanpa undang-undang.
"Di situ (aturan) boleh dilakukan transfer pemindahan narapidana dari suatu negara ke negara lain, tetapi tidak boleh memindahkan narapidana dari satu tempat ke tempat lain memindahkan perkara, yang dibolehkan di Mutual Legal Assistance itu adalah orang yang belum terpidana," jelas Mahfud.
"Tapi kalau orang sudah terpidana ya kemudian sudah tersangka di suatu negara gitu ya, lalu mau diminta pindah ke negara enggak bisa, kalau tersangka di suatu negara lari ke negara lain tapi di negara lain itu dia belum apa-apa, boleh mutual legal assistance," lanjutnya.
Mahfud tak menampik, pemindahan Mary Jane tanpa dilandasi aturan yang khusus mengatur pemindahan narapidana bisa menjadi preseden buruk buat Pemerintah RI apabila benar-benar terlaksana.
"Apa sih susahnya, kita buat undang-undang ini lah buat satu pasal tambahan terhadap undang-undang itu kan bisa. Kalau sudah kebelet betul ya pakai Perppu saja, kan presiden berkuasa nanti dipertahankan aja di DPR Perppu-nya kan bisa diatur di dalam sidang-sidang itu, kalau demi kebaikan hubungan antarnegara," katanya.
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra mengakui Indonesia masih belum mempunyai payung hukum atau undang-undang yang mengatur proses pemindahan narapidana (transfer of prisoner) ke negara asal.
Yusril menjelaskan karena belum adanya aturan tersebut, pemindahan narapidana narkotika Mary Jane Veloso ke Filipina hingga napi Bali Nine ke Australia yang ditargetkan sebelum natal tahun ini, dilakukan melalui diskresi Presiden Prabowo Subianto.
"Ini adalah satu kebijakan yang ditempuh oleh Presiden, berpaku kepada beberapa konvensi walaupun belum kita ratifikasi," jelasnya kepada wartawan, Rabu (11/12).
"Sampai hari ini sebenarnya aturan hukum tertulis tentang transfer personal narapidana itu belum ada. Karena itu presiden menggunakan diskresi kebijakan yang ada pada beliau," imbuhnya.
Meski bersifat diskresi, Yusril mengklaim hal tersebut tetap memiliki kekuatan hukum dan dapat dibenarkan dari sisi administrasi negara.
"Dengan mempertimbangkan berbagai konvensi praktik penyelenggaraan negara dan asas umum pemerintahan yang baik. Karena itu dapat dibenarkan dari sebuah pandang hukum administrasi negara," tuturnya.
(kum/fra)