ANALISIS

Ruang Gelap Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD

CNN Indonesia
Senin, 16 Des 2024 12:17 WIB
Jakarta, CNN Indonesia --

Usulan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan tak langsung lewat DPRD dalam pilkada tidak benar-benar menjadi solusi atas tingginya ongkos politik langsung.

Usulan itu dianggap hanya memindahkan masalah yang selama ini dihadapi masyarakat dari ruang publik ke ruang yang lebih privat di balik tembok-tembok para anggota dewan.

Namun, akar masalah tingginya ongkos politik yang selama ini dinilai bersumber dari internal partai politik tak tersentuh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita seolah hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke dalam ruang-ruang tertutup di DPRD," kata pemerhati kepemiluan sekaligus dosen FISIP UI, Titi Anggraini, Senin (16/12).

Prabowo membuka wacana agar pilkada kembali dipilih lewat DPRD saat memberi pidato di acara HUT 60 Golkar, Sentul, Bogor, Kamis (12/12). Dia melihat ongkos pemilu di negara-negara tetangga yang menurutnya lebih murah.

"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati," kata Prabowo di pidatonya di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar, Sentul, Kamis (12/12).

Prabowo menganggap Pilkada lewat DPRD bisa menekan menekan anggaran yang harus dikeluarkan negara. Sehingga uang alokasi anggara itu nantinya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih penting bagi masyarakat.

"Efisien enggak keluar duit kayak kita kaya, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi," ucap Prabowo.

"Ini sebetulnya begitu banyak ketum parpol di sini. Sebenarnya kita bisa putuskan malam ini juga, gimana?" Imbuhnya.

Sementara, Titi mengingatkan bahwa perubahan sistem pilkada dari tidak langsung menjadi langsung pada 2004 seperti saat ini, semula merupakan reaksi atas tingginya praktik money politics. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dilatarbelakangi oleh praktik jual beli kursi oleh anggota DPRD untuk keterpilihan kepala daerah ((candidacy buying).

Pemilihan kepala daerah lewat DPRD mungkin bisa menekan biaya yang dikeluarkan oleh negara. Namun, katanya, hal itu tidak serta-merta menghapus praktik politik uang dan politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya.

"Karena yang menjadi akar persoalannya, yaitu buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki," kata Titi.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai usulan Prabowo hendak mengamputasi partisipasi warga. Menurut Hamzah, tak semuanya partisipasi warga itu harus diwakili oleh DPRD sebagai wakil dari rakyat.

Saat ini, kata Castro, sapaan akrabnya, tak mudah saat ini untuk sepenuhnya percaya pada wakil masyarakat di parlemen. Kata dia, para anggota dewan toh juga memiliki masalah besar, terutama dengan oligarki kekuasan yang selamat ini masalahnya bersumber di internal partai.

"Bagaimana mungkin kemudian publik kemudian mempercayakan suaranya kepada mereka?" Kata Castro saat dihubungi, Senin (16/12).

Castro menilai pilkada tak langsung lewat DPRD hanya akan membuat prosesnya beralih ke ruang-ruang gelap kekuasaan, dan dia ragu bisa berjalan dengan adil.

"Ya ibaratkan korupsi kalau pun kemudian proses pemilihan dilakukan di ruang gelap DPRD, siapa yang mengawasi, siapa yang memastikan proses itu akan berlangsung secara fair dan terbukti, itu enggak ada," kata Castro.

Pemerintah cek ombak

Sementara, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), Ali Rif'an menilai pemerintah sedang cek ombak dengan ingin melihat respons publik terhadap isu tersebut. Dia meyakini usulan itu akan benar-benar akan dieksekusi jika respons publik minim dan benada positif.

Namun, Ali memberi catatan terhadap negara yang dijadikan contoh oleh Prabowo. Menurut dia, tiga negara itu, Singapore, India, dan Malaysia selama ini menggunakan sistem parlementer yang pemerintah eksekutifnya dipilih oleh legislatif.

Sehingga, kata Ali, Prabowo tidak sepadan menyamakan Indonesia dengan tiga negara tersebut. Sebab, Indonesia menganut sistem presidensial. "Jadi tidak kompetibel dengan sistem kita yang presidensial," katanya, Senin (16/12).

Ali khawatir nantinya wacana itu juga akan meluas. Bukan hanya diberlakukan untuk pilkada, namun juga untuk pemerintah eksekutif di tingkat pusat seperti presiden dan wakil presiden. Namun terlepas daripada itu, wacana pilkada tak langsung atau lewat DPRD memang butuh kajian mendalam, terutama jika hanya didasarkan pada alasan money politics.

"Apa basis argumentasi yg kokoh sehingga solusi dari centang prenang pilkada langsung diganti via DPRD. Kalau sekiranya alasannya money politic, apakah jika pilkada via DPRD bisa dipastikan tdk ada money politic," katanya.

Terakhir, Ali menegaskan bahwa dalam sistem presidensial, eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena telah dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak mudah seorang presiden/kepala daerah itu dijatuhkan oleh DPR atau DPRD.

(ugo/ugo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER