Eks Dirut RBT Menyesal Kerja Sama dengan PT Timah: Sebetulnya Malas

CNN Indonesia
Rabu, 18 Des 2024 16:11 WIB
Dirut PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2018 Suparta mengaku menyesal telah melakukan kerja sama dengan PT Timah Tbk. (ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) sejak tahun 2018 Suparta mengaku menyesal telah melakukan kerja sama dengan PT Timah Tbk. Ia mengatakan dari awal sebetulnya tak terlalu berminat, karena bisnisnya sudah mapan.

Hal itu disampaikan Suparta dalam agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (18/12).

"Pada saat saya mendengar imbauan bantuan untuk kerja sama PT Timah, hal pertama yang saya rasakan adalah sebenarnya saya malas Yang Mulia untuk membantu karena saya sudah cukup nyaman dengan bisnis timah yang saya jalani. Bisnis saya sudah tenteram dan sudah tidak ada lagi ambisi," ujar Suparta di muka persidangan.

Suparta mengaku sempat mendengar cerita dari rekan-rekannya perihal kerja sama dengan perusahaan BUMN. Namun, dia terpaksa melakukan kerja sama karena selalu digaungkan jargon untuk membela negara demi martabat Indonesia.

"Siapa sih warga negara yang tidak mau membela negaranya? Pada saat itulah saya tergerak oleh kata-kata nasionalisme. Maka, saya pikir, baiklah akan saya bantu semampu saya," ucap Suparta.

"Padahal, saya sudah sering mendengar cerita dari teman, kalau berurusan dengan perusahaan BUMN yang terkenal adalah masalah pembayaran yang selalu telat dan hanya mau dengan aturannya sendiri, tidak memikirkan orang lain," sambungnya.

Kata Suparta, keluhan tersebut terbukti. Ia menuturkan banyak pembayaran-pembayaran telat yang mengakibatkan pelunasan utang di bank menjadi mundur alias tidak sesuai rencana.

"Keuntungan ekspor saya dari produksi kami sendiri ikut tergerus, bahkan sampai saat ini kami masih ada pinjaman di bank. Yang mana aset, pabrik dan persediaan stok sebagai jaminannya. Kemudian yang paling apes bagi saya adalah saya sampai harus di sini menjadi terdakwa di hadapan Yang Mulia majelis hakim," ucap dia.

Minta abaikan kerugian negara

Dalam pleidoinya, Suparta meminta majelis hakim mengabaikan dakwaan kerugian keuangan negara sejumlah Rp300,003 triliun. Ia menilai ahli yang dipakai Kejaksaan Agung untuk menghitung kerugian keuangan negara yakni Bambang Hero (ahli lingkungan IPB) sangat keji.

Menurutnya, penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan senilai Rp271 triliun merupakan tuduhan yang naif dan gegabah. Ia mengatakan tidak mungkin mungkin dalam kurun waktu 18 bulan terjadi daya rusak begitu besar.

"Saksi saudara Bambang Hero juga menyatakan bahwa ada seluas 170 ribu hektare bukaan tambang yang berada di wilayah IUP PT Timah. Jika dihitung selama masa kerja sama smelter 2 tahun, maka area yang harus dibuka dan ditambang setiap harinya adalah 7 ribu hektare. Bahkan, jika dihitung selama masa periode perkara 2015-2022 atau 7 tahun, maka area yang harus dibuka dan ditambang setiap hari adalah 68 hektare per hari," katanya.

Suparta menyatakan hal tersebut sangat tidak mungkin untuk dilakukan. Apalagi, perjanjian kerja sama yang ada hanya mengenai sewa-menyewa peralatan pengolahan untuk penglogaman timah, bukan kontrak penambangan.

"Yang Mulia majelis hakim yang saya hormati, saudara Bambang Hero dengan mudah menyebut angka kerugian yang hanya berdasarkan pikirannya sendiri bahkan di dalam persidangan dengan mudahnya menjawab metode sampling yang semestinya tidak boleh dilakukan dalam perhitungan kerugian negara," imbuhnya.

Suparta mengatakan kerugian negara harus nyata dan pasti. Menurut dia, keterangan Bambang Hero yang menggunakan analisis Google Map dan Google Earth tidak bisa dijadikan acuan untuk menganalisis lahan 170 ribu hektare.

Ia mengatakan seharusnya Bambang Hero meminta pendapat tentang luasan yang pasti melalui lembaga pemerintah resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG).

"Saudara Bambang yang mengaku dirinya ahli ternyata di dalam persidangan banyak menjawab tidak tahu dan tidak mau menjawab pertanyaan mendasar tentang keuangan negara, tentang lingkungan dan tentang bagaimana proses perhitungan kerugian negara," klaim Suparta.

"Saudara Bambang sangat keji dalam membuat analisis dan pendapat yang asal-asalan yang sangat merugikan kami. Sikap tersebut sangat menyakitkan kami dan tidak bertanggung jawab," ungkap dia.

Ia pun bertanya-tanya apa yang didapat Kejaksaan Agung dan para jaksa yang menangani perkara ini ketika mengumumkan nilai kerugian negara yang sangat fantastis tersebut.

"Setelah kita telusuri semua proses penanganan perkara timah ini, dari sejak penyidikan dan penuntutan atau pembuktian di persidangan, apakah semua didakwa oleh jaksa penyidik maupun penuntut umum benar apa adanya? Atau ada apanya?" ucap Suparta.

"Dengan uraian kami tersebut, kami mohon Yang Mulia majelis hakim dapat mengabaikan kerugian lingkungan sebesar Rp271 triliun tersebut karena kerugian tersebut tidak nyata dan tidak pasti dan tidak dapat dipertanggungjawabkan," sambungnya.

Suparta dituntut dengan pidana 14 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sejumlah Rp4.571.438.592.561,56 (Rp4,5 triliun) subsider delapan tahun penjara.

Suparta bersama sejumlah pihak lain termasuk Harvey Moeis (mewakili PT Refined Bangka Tin) disebut merugikan keuangan negara sejumlah Rp300,003 triliun terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

Jumlah kerugian negara tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).

(ryn/tsa)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK