Yogyakarta, CNN Indonesia --
Para dosen ASN Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan menolak besaran anggaran tunjangan kinerja (tukin) dosen yang telah disetujui Kemenkeu senilai Rp2,5 triliun.
Mereka bersikukuh agar anggaran untuk tukin dosen sesuai dengan yang diusulkan Kemendiktisaintek sebesar Rp10 triliun.
"Takutnya yang diberikan tukin nanti hanya yang belum serdos (sertifikasi dosen)," kata Ketua STIMIK El Rahma Yogyakarta, Suparyanto usai menggelar aksi damai di kantor LLDIKTI Wilayah V.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suparyanto yang saat itu ditunjuk sebagai koordinator aksi, bersama para dosen ASN LLDIKTI Wilayah V kala itu baru saja menyuarakan realisasi pencairan tukin oleh pemerintah.
Suparyanto melanjutkan, melihat selisih Rp7,5 triliun tersebut pihaknya khawatir aturan ke depan mensyaratkan hanya para dosen belum tersertifikasi yang menjadi penerima tukin.
Sementara, lanjut dia, sudah banyak dosen DPK atau ASN LLDIKTI di seluruh wilayah Indonesia yang kini telah tersertifikasi sejak tukin diamanatkan tahun 2014 dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 80 tentang Aparatur Sipil Negara.
"Sehingga yang kita takutkan, itu hanya yang belum ber-serdos yang diberikan dan itu jumlahnya sedikit sekali, karena terakhir untuk dosen DPK, khusus ASN LLDIKTI di seluruh wilayah Indonesia itu penerimaan terakhir 2014, sehingga itu bisa hampir semuanya sudah bersertifikasi, sehingga itu nanti di luar (yang semestinya menerima) tukin ya hanya sedikit," papar Suparyanto.
Adapun para dosen DPK baru masuk sebagai kategori penerima tukin sejak terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2020. Pada Pasal 2 ayat (1) peraturan ini, disebutkan jika pegawai di lingkungan Kementerian diberikan tunjangan kinerja setiap bulan.
Tapi, seperti dosen ASN di Kemendiktisaintek lainnya, Suparyanto dkk juga tak pernah sekalipun menerima tukin sejak 2020. Padahal, eks Mendikbudristek Nadiem Makarim pernah menjanjikan tukin dosen ASN di Kemendiktisaintek akan diberikan pada Januari 2025.
Pihaknya pun menuntut agar tukin diberikan kepada seluruh dosen ASN, tanpa membedakan status serdos dan klasterisasi kampus.
Selain itu, tukin ASN dan tunjangan profesi dosen atau serdos mesti dipisahkan secara jelas, mengingat tunjangan profesi dosen diberikan kepada mereka yang sudah tersertifikasi, termasuk dosen di perguruan tinggi swasta.
Berharap ke Prabowo
Lanjut Suparyanto, dosen ASN di LLDIKTI wilayah I sampai XVI bersama Aliansi Dosen ASN Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (ADAKSI) akan terus mengawal kepastian tukin ini.
Termasuk, memastikan anggaran yang diajukan Rp10 triliun disetujui sebelum peraturan presiden (Perpres) sebagai dasar hukum pencairan tukin diteken.
Pasalnya, ia mengklaim pendapatannya sekarang sebagai dosen senior tanpa tukin sudah sangat mepet untuk kehidupan berkeluarga. Kata dia, tak sedikit koleganya yang kemudian mencari penghasilan sampingan demi mencukupi kebutuhan keluarga.
"Nanti kita akan bergerak bersama-sama," ungkapnya.
"Kami berharap kepada Presiden Prabowo Subianto melalui Kemendikti saintek untuk segera memenuhi tuntutan ini demi menciptakan lingkungan kerja yang adil dan mendukung kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia," pungkas dia.
Nizamuddin Sadiq, dosen ASN LLDIKTI Wilayah V yang ditugaskan di UII Yogyakarta menambahkan, tukin dosen ASN di Kemendiktisaintek yang tak diberikan sejak 2020 merupakan bentuk ketidakadilan. Musababnya, ASN selain dosen di lingkungan Kemendiktisaintek tidak mengalami hal serupa.
"Kementerian lain, Kemenkeu dikasih, Kemenag dikasih, Kemenhub dikasih, tapi kok Kemendiktisaintek nggak dikasih. Makanya kami merasa dizolimi, makanya kami menuntut keadilan," ucapnya.
Titis Setyono Adi Nugroho, koordinator wilayah LLDIKTI V sekaligus perwakilan ADAKSI sementara itu memastikan bahwa pihaknya memperjuangkan tukin ini untuk para dosen yang sudah maupun belum tersertifikasi.
"Dari tim ADAKSI tetap memegang teguh bahwa tukin for all, jadi pernyataan menteri pada waktu zoom atau apa di media itu bahwa yang memperjuangkan tukin ini hanya ASN yang belum serdos itu salah besar. Jadi, ASN semua di bawah Kemendiktisaintek baik itu yang serdos ataupun yang belum, semua memperjuangkan," katanya.
Sejauh ini, kata Titis, ADAKSI masih akan melihat bagaimana kebijakan tukin dosen ini nantinya. Pihaknya belum akan bertindak gegabah macam mogok mengajar apabila kebijakan soal tukin ini belum direalisasikan hingga tenggat waktu 24 Januari 2025.
"Jadi (langkah) yang lebih elegant, terorganisir dan terdidik, sebagai pendidik juga," ucapnya.
Kementerian Keuangan telah menyetujui anggaran tunjangan kinerja (Tukin) dosen ASN. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani.
Ari mengatakan, sebelumnya Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti-Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro menyampaikan bahwa Kemenkeu sudah menyetujui hitungan anggaran tukin dosen ASN yang diajukan Kemendikti Saintek.
"Ini tentu kabar baik bagi para dosen ASN. Tidak lama lagi mereka akan mendapatkan hak mereka yang selama lima tahun tertunda," ujar Lalu Ari, Selasa (21/1).
Mengenai anggarannya, Ari menuturkan Kemendiktisaintek telah mengajukan anggaran sebesar Rp10 triliun untuk tukin dosen ASN, tetapi yang disetujui baru Rp2,5 triliun.
"Namun untuk kepastian besaran tukin dosen ASN, kita tunggu data resmi dari Kemenkeu dan Kemendikti-Saintek. Yang jelas kami akan kawal pencairan tukin dosen sampai tuntas," ungkapnya.
Dalam melakukan pencairan tukin dosen ASN, Ari mengingatkan pemerintah membutuhkan peraturan presiden (Perpres) yang menjadi dasar hukum dalam mencairkan tukin dosen. Perpres itu diharapkan mengatur secara jelas dan detail pencairan tunjangan kinerja yang ditunggu-tunggu para dosen.
Akar masalah tukin dosen
Guru Besar bidang Manajemen Kebijakan Publik dari Fisipol UGM, Wahyudi Kumorotomo menjelaskan, persoalan tukin dosen ASN ini berawal dari perubahan Undang-Undang Pegawai Negeri Sipil (UU PNS) menjadi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) pada 2015.
Menurut Wahyudi, perubahan itu turut menyinggung postur anggaran, baik untuk yang berstatus PNS maupun PPPK. Selain itu, adanya UU Guru dan Dosen diterbitkan pada 2005, proses sertifikasi dosen (serdos) belum selesai sepenuhnya, utamanya bagi dosen muda yang belum memenuhi syarat sertifikasi.
"Nah, mereka itu tidak mendapatkan tunjangan. Yang sudah punya sertifikasi dosen, mereka dapat. Yang belum serdos ini yang punya masalah, mereka menuntut," jelas Wahyudi dikutip dari laman resmi UGM.
Ia melanjutkan, para dosen yang belum memiliki serdos itu pun sudah mengajukan tuntutan agar mereka memperoleh tukin sebagai pengganti tunjangan profesi.
Kendati demikian, pengesahan tukin ini nyatanya membutuhkan waktu cukup lama dan semakin rumit seiring dengan adanya perubahan struktur nomenklatur kementerian, dari Kemenristekdikti ke Kemendikbudristek hingga kini menjadi Kemendiktsaintek.