Peneliti SETARA Institute Sayyidatul Insiyah menilai banyak peraturan yang berbau syariah di pelbagai daerah Indonesia belakangan ini muncul lantaran di latar belakangi oleh gejala favoritisme terhadap kelompok tertentu sehingga kelompok lain di eksklusi atau dipinggirkan.
Ia mengatakan gejala favoritisme ini muncul di daerah-daerah yang memiliki nilai atau paham keagamaan tertentu yang dianut oleh mayoritas warganya. Alhasil, gejala favoritisme ini kemudian mendasari lahirnya peraturan kebijakan yang ternyata ketika diimplementasikan diskriminatif.
"Kami juga menyebut itu adalah bentuk favoritisme gitu. Bagaimana tindakan dari pemerintah itu memang seolah memfavoritkan, memfavoritismekan salah satu agama tertentu gitu," kata Insiyah kepada CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Insiyah menilai Perda syariah menjadi masalah jika Perda dijadikan alasan untuk mengistimewakan satu kelompok masyarakat di satu locus tertentu atas kelompok yang lain dalam konteks itu minoritas.
Ia kemudian mengungkapkan riset yang dilakukan SETARA menemukan beberapa peraturan yang cukup diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama atau kepercayaan tertentu lantaran didominasi oleh kepentingan politik dari sang kepala daerah di kawasan tersebut.
Ia mengatakan biasanya kepala daerah ketika berkampanye sudah meneken kontrak politik dengan kelompok mayoritas, baik agama, suku atau ras tertentu yang berada di daerahnya. Ketika terpilih, kemudian kepala daerah membuat peraturan yang isinya hanya menguntungkan kelompok tersebut dan mendiskriminasi kelompok lain.
"Peristiwa yang menyerang teman-teman Ahmadiyah di Kabupaten Sintang beberapa waktu lalu, itu kental sekali dengan unsur-unsur kepentingan politis daripada beberapa kelompok-kelompok tertentu seperti itu. Jadi memang itu, dan biasanya memang kepentingan politis itu ya memang biasanya terjadi di masyarakat yang memang mayoritasnya didominasi oleh agama tertentu gitu," kata dia.
Insiyah beranggapan munculnya Perda syariah ini lantaran negara belum cukup mampu untuk menempatkan posisi pada bagian mana agama harus diadopsi dalam sebuah regulasi.
Ia juga menyangsikan klaim jika Perda syariah yang ditetapkan dianggap bisa melindungi kalangan minoritas. Ia mencontohkan Perda syariah di Aceh ditemukan masih menimbulkan diskriminasi bagi kalangan minoritas di kawasan tersebut.
"Karena biasanya itu tadi, Perda yang didasarkan pada agama tertentu itu sangat mungkin untuk berdampak diskriminasi, baik itu terhadap masyarakat dengan agama tersebut gitu ya, atau bahkan untuk teman-teman minoritas agama kepercayaan lainnya," kata dia.
Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie berpendapat sepanjang Perda bernuansa syariah tidak melanggar prinsip dasar seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka semestinya tidak ada persoalan berarti.
"Sebaliknya, apapun Perda, tak terkecuali perda bernuansa syariah bertentangan dengan ketentuan tersebut akan menjadi masalah" kata Tholabi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (25/3).
Tholabi mengatakan salah satu ciri khas Perda yakni pengejawantahan dari peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah.
Tholabi pun merinci jenis-jenis Perda cukup beragam. Di antaranya Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, tata ruang wilayah daerah, APBD, Rencana Program Jangka Menengah Daerah, Perangkat Daerah, Pemerintahan Desa, hingga Perda tentang pengaturan umum lainnya.
Ia mengatakan Perda yang bernuansa syariah dapat dikualifikasikan ke dalam pengaturan umum lainnya.
"Secara prinsip perda atau Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan atau kesusilaan," kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid berpendapat penerapan hukum Islam dalam masyarakat modern juga menghadapi berbagai tantangan. Globalisasi, pluralisme, dan perbedaan interpretasi menjadi tantangan bagi penerapan hukum Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, ia menilai penting bagi umat Islam untuk terus memperdalam pemahaman tentang hukum Islam, mengadaptasi ajarannya dengan konteks zaman, serta mengedepankan prinsip toleransi.
"Dengan cara ini, hukum Islam dapat terus memberikan kontribusi konstruktif dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan beradab," kata dia kepada CNNIndonesia.com.
Fahri menilai pada hakikatnya Hukum Islam sebagai sebuah pedoman yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk aspek ibadah, dan mu'amalah. Baginya, Hukum Islam juga mempunyai orientasi dan fungsi yang sangat esensial dalam kehidupan masyarakat.
"Ini berguna untuk mengatur, menjaga, dan memajukan masyarakat, basisnya adalah untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang," kata Fahri.