Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan bersama tiga orang ibu yang anaknya mengidap cerebral palsy mengajukan permohonan uji materi UU Narkotika ke MK pada Kamis, 19 November 2020.
Mereka berpendapat larangan pemanfaatan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).
Selain pemohon perseorangan, beberapa organisasi non-pemerintah juga bergabung sebagai pemohon uji materi ini yakni ICJR, Rumah Cemara, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, dan LGN yang selama ini menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan konstitusi.
Selain itu juga meminta penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut definisi narkotika golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/ terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Lihat Juga :![]() LAPORAN INTERAKTIF Jejak Kratom di Jantung Borneo |
Pada Minggu, 26 Juni 2022, Santi beserta anaknya Pika melakukan aksi damai di Bundaran HI saat Car Free Day (CFD).
Santi membawa sebuah surat yang ditujukan kepada hakim MK agar segera memberikan putusan atas permohonan uji materi yang sudah dia ajukan atas UU Narkotika. Dia meminta agar ganja yang masuk golongan I UU Narkotika bisa digunakan untuk keperluan medis.
Dalam foto yang beredar, di kawasan Bundaran HI yang ramai itu, Santi terlihat memegang papan putih bertuliskan 'Tolong Anakku Butuh Ganja Medis'.
Santi berdiri di samping Pika yang duduk di sebuah kereta dorong atau stroller dengan kepala disangga bantal dan kain. Lewat surat yang ia tulis, Santi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi sang anak.
Dalam potongan video yang juga beredar di media sosial, banyak orang yang menghampiri Santi dan memberikan dukungan kepadanya.
Pada 20 Juli 2022, lewat Putusan Nomor: 106/PUU-XVIII/2020, MK menolak permohonan uji materi yang dilayangkan oleh koalisi bersama tiga orang ibu yang anaknya mengidap cerebral palsy.
Namun, terdapat sejumlah poin penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah.
MK mengamini ada manfaat dari narkotika golongan I yang terbukti di berbagai praktik negara lain. Hal itu dilihat dalam pertimbangan yang menjelaskan narkotika golongan I dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, namun dalam konteks Indonesia saat ini harus dikaji.
Kemudian MK menyatakan dalam menentukan jenis narkotika untuk ditetapkan dalam suatu jenis golongan narkotika tertentu dibutuhkan metode ilmiah yang ketat. Artinya, untuk mengubah pemanfaatan jenis narkotika harus melalui tahapan penting yang dimulai dari penelitian dan kajian ilmiah di konteks Indonesia.
MK secara tegas menyatakan sesungguhnya fenomena perihal kebutuhan terhadap jenis narkotika golongan I untuk dapat dimanfaatkan sebagai keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan.
Lihat Juga :![]() Laporan Mendalam 'Demam' Ganja di Indonesia |
Dalam persidangan perkara a quo, DPR mengatakan setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri dalam memutuskan suatu pelegalisasian terhadap ganja atau minyak ganja (cannabis oil) untuk pelayanan kesehatan yang termasuk dalam golongan narkotika.
Hal itu disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, Selasa, 10 Agustus 2021.
"Proses legalisasi ganja pun membutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas; ilmu pengetahuan yang pasti; dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian tersebut sehingga tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan kesehatan," ucap Taufik.
Politikus Partai NasDem ini menambahkan ada usulan untuk merevisi UU Narkotika terkait kebijakan penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Ia mengatakan hal itu dibuktikan dengan masuknya usulan tersebut ke dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 dengan status usulan Pemerintah.
Taufik melanjutkan persoalan narkotika adalah masalah transnasional sehingga dalam pengkajiannya tidak hanya mengutamakan aspek hukum, tetapi juga melihat aspek kesehatan.
Selain itu, ia menyebut jika dalam penentuan kebijakannya pun harus didasarkan pada metode ilmiah dengan berbagai tahapan.
"Sehingga dari hasil penelitian tersebut akan ditemukan kebenaran dan pemanfaatan dari narkotika tersebut secara lebih lanjut serta perlu pula dilakukan pengujian untuk kepentingan praktis. Maka, penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi kesehatan guna pembangunan kemajuan bidang kesehatan," ungkap Taufik.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya menyatakan penggunaan ganja atau minyak ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.
Selain karena pengawasan penggunaan ganja yang sulit jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.
"Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan ganja yaitu kanabidiol dapat memberikan efek anti-epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya," urai Arianti.
Ia menuturkan penggolongan narkotika telah didasarkan pada kesepakatan internasional.
Oleh karenanya, hanya narkotika golongan III yang mempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan. Sedangkan untuk narkotika golongan I masih menduduki tempat tertinggi yang menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya.
"Maka sangat logis jika narkotika golongan I hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk pelayanan kesehatan," ucap Arianti.
Sebelumnya, pada 2020 lalu, jauh sebelum MK mengeluarkan putusan, Kementerian Pertanian (Kementan) sempat menetapkan ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementan.
Ketetapan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Pertanian saat itu Syahrul Yasin Limpo pada 3 Februari 2020.
Ganja dimasukkan dalam lampiran jenis tanaman obat yang dibina oleh Direktorat Jenderal Hortikultura.
Total ada 66 jenis tanaman obat yang dibina direktorat tersebut.
Selain ganja, jenis tanaman obat lain yang dibina antara lain kecubung, mengkudu, kratom, brotowali, hingga purwoceng.
"Keputusan menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan," bunyi diktum ketujuh.
Namun, tak lama setelah menjadi polemik, Menteri Pertanian mencabut keputusan tersebut.
Kementan mengatakan bakal berkoordinasi dengan BNN, Kementerian Kesehatan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait," kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha, Sabtu (29/8).
Mantan Wakil Presiden RI yang sempat menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin mengatakan ada fatwa MUI yang selama ini melarang penggunaan ganja.
Namun, setelah ada gugatan di MK yang mendesak pemanfaatan ganja medis, dia menilai MUI perlu membuat pengecualian melalui fatwa baru yang mengatur kriteria kebolehan penggunaan ganja untuk kesehatan.
Belum diketahui informasi terkini apakah permintaan tersebut dijalankan atau tidak oleh MUI.
"Saya minta MUI nanti segera membuat fatwanya untuk dipedomani, jangan sampai berlebihan dan menimbulkan kemudaratan. Masalah kesehatan itu saya kira nanti MUI [membuat] pengecualian. MUI harus membuat fatwanya, fatwa baru pembolehannya. Artinya ada kriteria," kata Ma'ruf di Kantor MUI, Jakarta, Selasa, 28 Juni 2022.
Menurut ICJR, Pemerintah Indonesia sama sekali belum melakukan penelitian terkait penggunaan ganja untuk kepentingan medis pasca-putusan MK No.106/PUU-XVIII/2020.
"Kami menyesalkan sikap pengambil kebijakan yang tidak mampu memenuhi hak kesehatan masyarakat yang paling membutuhkan," ungkap ICJR.
(fra/ryn/fra)