Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan semua pihak agar berpegang pada pidato Presiden ketiga RI BJ Habibie di MPR ketika membicarkaan polemik kekerasan seksual atau pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998.
Hal itu disampaikan Puan merespons polemik kasus pemerkosaan massal selama rapat Komisi X DPR dengan Menteri Kebudayaaan Fadli Zon, Rabu (2/7). Menurut Puan, Habibie dalam pidatonya telah mengungkap fakta sejarah selama kerusuhan.
"Ya kita berpegang saja pada fakta sejarah 1998, di mana waktu itu Habibie dalam pidatonya menyatakan bahwa ada fakta sejarah yang dalam poin-poinnya disampaikan," kata Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (3/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Coba kita buka fakta sejarah itu, kita kaji kita lihat kembali," imbuhnya.
Menurut Puan, semua pihak harus menghormati fakta sejarah dalam peristiwa itu. Apalagi, fakta itu disampaikan Habibie yang notabene menjabat sebagai Presiden kala itu.
"Apalagi disampaikan oleh seorang presiden, artinya itu kan suatu fakta sejarah yang harus kita akui dan hormati. Jangan sampai fakta sejarah kemudian tidak dihargai atau dihormati," kata dia yang juga Ketua DPP PDIP itu.
Negara melalui Presiden ketiga RI BJ Habibie pernah mengakui rangkaian kasus kekerasan dan pemerkosaan massal terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998 sebelum kejatuhan Presiden kedua RI Soeharto. Pengakuan itu disampaikan dalam pidato saat Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1998.
Menurut Habibie, kala itu, rangkaian peristiwa kerusuhan 1998 memalukan bagi Indonesia sebagai bangsa yang beradab.
"Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan, dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual, terhadap kaum perempuan, terutama dari etnis Tionghoa," kata Habibie kala itu.
Puan menambahkan, penulisan sejarah harus ditulis apa adanya. Sejarah, kata Puan, tak boleh menghilangkan atau mengurangi peran pihak-pihak yang terlibat.
Namun, Puan irit bicara soal sikap Fadli yang memberi sinyal tetap akan melanjutkan proyek tersebut, meski didesak PDIP agar proyek penulisan ulang sejarah itu dihentikan.
"Ya coba kita lihat nanti apakah seperti itu atau tidak," kata Puan.
Fadli Zon sendiri dalam rapat dengan Komisi X, Rabu (2/7), mengakui peristiwa pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan 1998 silam. Namun, Fadli mempersoalkan penggunaan diksi 'massal' dalam peristiwa pemerkosaan.
"Jelas kita semua mengutuk hal-hal yang semacam itu, dan mengecam segala kekerasan terhadap perempuan. Saya kira dalam posisi yang sama sekali tidak berbeda dalam hal itu," kata Fadli.
"Nah, cuma secara spesifik tadi, kalau ada sedikit perbedaan pendapat terkait dengan diksi itu, yang menurut saya itu pendapat pribadi, ya mungkin kita bisa dokumentasikan secara lebih teliti lagi ke depan. Ini adalah bagian dari perbedaan data, atau pendapat yang perlu kita lebih akurat lagi ke depan," imbuhnya.
(thr/kid)