DPR Usul Komdigi Bisa Akses Algoritma Konten Medsos di RUU Penyiaran

CNN Indonesia
Kamis, 17 Jul 2025 01:15 WIB
Dalam RDPU dengan sejumlah perwakilan platform, anggota komisi I DPR usul agar Komdigi dan KPI bisa akses algoritma konten medsos di RUU Penyiaran.
Ilustrasi media sosial. Dalam RDPU dengan sejumlah perwakilan platform, anggota komisi I DPR usul agar Komdigi dan KPI bisa akses algoritma konten medsos di RUU Penyiaran. (AFP PHOTO / MOHAMMED ABED)
Jakarta, CNN Indonesia --

Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini mengusulkan agar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan untuk mengakses sistem rekomendasi konten digital atau algoritma yang digunakan platform media sosial seperti YouTube, Meta, hingga TikTok.

Usulan itu disampaikan Amelia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran bersama perwakilan sejumlah platform tersebut.

"RUU Penyiaran yang sedang kami bahas secara eksplisit mengusulkan agar Kominfo [Komdigi] atau KPI diberi kewenangan mengakses sistem rekomendasi konten digital," kata Amelia dalam rapat, Selasa (15/7).

Dia menilai kewenangan itu nantinya bukan sebagai intervensi negara terhadap teknologi dan media sosial, melainkan langkah preventif untuk menjaga ekosistem digital nasional.

Menurut Amelia, pihaknya menyoroti sejumlah isu dalam revisi beleid itu, termasuk transparansi algoritma, perlindungan anak dari konten ekstrem dan hoaks, serta penghapusan konten yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

"Ini bukan bentuk intervensi, tetapi langkah preventif untuk menjaga ruang digital Indonesia agar tetap sehat, adil, dan selaras dengan nilai-nilai kebangsaan," kata dia.

Politikus Partai NasDem itu menyinggung contoh viral tradisi Pacu Jalur di media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Menurut dia, kasus itu bukti algoritma bisa berpihak pada budaya lokal.

"Pacu Jalur yang kini viral di berbagai platform seharusnya menjadi contoh bagaimana algoritma digital bisa berpihak pada kekayaan budaya lokal. Namun sayangnya, keberpihakan seperti ini masih menjadi pengecualian, bukan kebijakan sistematis," ucapnya.

Dia mempertanyakan kesiapan platform seperti Google, YouTube, X, TikTok, dan Meta untuk membuka sistem algoritma mereka kepada regulasi nasional. Amelia mewanti-wanti agar rekomendasi konten medsos tak menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat.

Amelia menilai lembaga negara terkait bisa mengakses algoritma media sosial itu lumrah, dan telah dilakukan di luar Indonesia.

"Beberapa negara seperti Kanada, Prancis, Singapura, dan Turki telah lebih dulu memberikan mandat pengawasan yang kuat terhadap platform digital, termasuk kewajiban membuka algoritma ... Maka sudah selayaknya Indonesia juga berdaulat dalam ruang siar digitalnya," katanya.

Respons TikTok

Menanggapi usulan itu, Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto menyatakan pihaknya siap diatur dan terbuka berdialog dengan pemerintah. Namun, ia meminta agar pendekatan pengaturan terhadap TikTok tidak disamakan dengan lembaga penyiaran konvensional.

"Kita bersedia untuk diatur, tapi memang seperti rekomendasi yang tadi disampaikan, sarana aturan tersebut sebaiknya terpisah dengan penyiaran," kata Hilmi.

Hilmi menjelaskan, model bisnis TikTok yang berbasis konten buatan pengguna (user generated content/UGC) berbeda dari lembaga penyiaran konvensional. Dalam platform seperti TikTok, pengguna berperan ganda sebagai kreator sekaligus penonton.

"Model bisnis itu memang berbeda sekali, Bu, antara sifat dari traditional broadcaster atau lembaga penyiaran konvensional dengan platform UGC seperti kami," ujarnya.

"Di mana pengguna yang menjadi content creator-nya juga, tapi juga menjadi penontonnya. Ini berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional yang memproduksi dan mengedit tayangan yang kemudian dikurasi lebih lanjut," sambung Hilmi.

(thr/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER