Koalisi Lingkungan Tolak Substansi, Ungkap Potensi Ancaman RKUHAP

CNN Indonesia
Senin, 21 Jul 2025 05:10 WIB
Koalisi masyarakat sipil dari sektor lingkungan menyatakan menolak substansi RKUHAP yang dinilai berpotensi menjadi ancaman. (Istockphoto/Marilyn Nieves)
Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi masyarakat sipil di sektor lingkungan menyoroti sejumlah substansi dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai berpotensi menjadi ancaman.

Mereka menuntut pembahasan RKUHAP segera dihentikan sebab alih-alih menjadi reformasi hukum, revisi tersebut dinilai semakin memperkuat impunitas dan melemahkan hak-hak tersangka dan terdakwa.

"Koalisi masyarakat sipil dari berbagai sektor lingkungan, sumber daya alam, agraria, masyarakat adat yang memperjuangkan hak asasi manusia menyatakan penolakan terhadap substansi RKUHAP," demikian dikutip dari rilis resmi koalisi, Minggu (20/7).

Sejumlah organisasi lingkungan yang tergabung dalam koalisi antara lain, Greenpeace Indonesia, Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria, Yayasan Pusaka, hingga Walhi.

"Kami menilai ini bukanlah bentuk reformasi hukum, melainkan jalan mundur dalam membuka ruang penyalahgunaan hukum secara masif," katanya.

Catatan substansi

Mereka memberikan sejumlah catatan terhadap substansi RKUHAP. Pertama, koalisi menilai RKUHAP belum mengatur dengan jelas penanganan terhadap pelaku korporasi apalagi korporasi yang selama ini umumnya merupakan pelaku perusakan lingkungan.

Menurut koalisi tidak ada pembeda kapan korporasi sebagai badan harus bertanggungjawab dan kapan pengurus harus bertanggung jawab. Selain itu disebut tidak ada pembedaan upaya paksa yang dapat dikenakan kepada korporasi dan subjek orang.

"Aturan mengenai pembubaran penggabungan, peleburan, pemisahan atau pembubaran korporasi masih harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah," ujar koalisi.

Kedua, koalisi juga mendorong anti-SLAPP atau strategic lawsuit against public participation (SLAPP) sebagai perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan diatur KUHAP.

Anti-SLAPP dinilai penting agar penegak hukum berhati-hati menetapkan tersangka dan melakukan upaya hukum.

"Bahkan Anti-SLAPP dalam KUHAP seharusnya dirumuskan pada: penghentian penyidikan dan penuntutan, praperadilan, dan keberatan serta pembelaan," katanya.

Ketiga, koalisi turut menyoroti potensi kelemahan penyidik berstatus PNS karena berada di bawah penyidik Polri dan Kejaksaan dalam RKUHAP. Mereka menilai klausul itu menghambat independensi lembaga sektoral dalam memberantas kejahatan lingkungan.

"Penyempitan otonomi penyidik sektoral di berbagai bidang, terkhusus di bidang kehutanan dan lingkungan hidup dapat terjadi yang secara hukum mereka memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan," katanya.

Keempat, koalisi menilai RKUHAP masih mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, terutama berkenaan dengan standar perlindungan terhadap masyarakat adat.

Menurut mereka, sejak awal KUHP Pasal 2 ayat (1) KUHP terkait terkait living law telah dicurigai sebagai upaya melemahkan masyarakat adat dengan mengaburkan pemaknaan living law dan pengakomodiran living law dalam hukum pidana. Dan kecurigaan itu diperkuat dalam RKUHAP.

"Seperti misalnya tidak terdapatnya klausul yang menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok rentan. Padahal selama ini dalam praktek penegakan hukum, masyarakat adat dalam kedudukannya sebagai person dan kolektif banyak dirugikan dalam penegakan hukum," katanya.

"Penting menyertakan mekanisme perlindungan bagi pembela lingkungan, masyarakat adat, dan kelompok rentan sebagai aktor penting dalam sistem peradilan pidana," imbuhnya.

(thr/fea)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK