Transparency International Indonesia (TII) menyatakan sejumlah ketentuan yang termuat dalam draf Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (RKUHAP) berpotensi melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
"Memang RKUHAP itu potensial bermasalah. Potensial melemahkan pemberantasan korupsi oleh KPK," kata Peneliti TII Sahel Al Habsyi dalam agenda 'Diskusi Media: Menakar Dampak RUU Hukum Acara Pidana bagi Pemberantasan Korupsi' di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/7).
Sahel menyoroti beberapa proses kerja yang mengharuskan KPK berkoordinasi dengan penyidik Polri.
Pasal 1 angka 7 RKUHAP hanya mengakui penyelidik Polri. Padahal, KPK berwenang mempunyai kewenangan mengangkat dan memberhentikan penyelidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang KPK.
Kemudian Pasal 20 RKUHAP yang mengatur penyelidikan dikoordinasikan, diawasi, dan diberi petunjuk penyidik Polri. Hal ini akan berdampak pada independensi KPK dalam menangani perkara.
Tak hanya itu, Pasal 25 ayat 3 RKUHAP mewajibkan adanya keterlibatan penyidik Polri dalam penghentian penyidikan. Padahal, dalam Pasal 40 UU KPK, KPK berwenang menghentikan penyidikan dengan mekanisme pengawasan berupa pemberitahuan kepada Dewan Pengawas KPK.
Selanjutnya Pasal 7 ayat 4 dan Pasal 8 ayat 3 RUU HAP yang mewajibkan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum melalui penyidik Polri. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak pada efektivitas dan independensi penyerahan berkas perkara di KPK.
Ketentuan tersebut bertentangan dengan UU KPK yang mengatur penyerahan berkas perkara ke penuntut umum di KPK.
"Saya kira sejumlah ketentuan yang mengharuskan KPK berkoordinasi, mendapat arahan, kuasa, atau persetujuan, atau diperantarai oleh lembaga penegak hukum lain, itu semuanya potensial untuk melemahkan KPK," ungkap Sahel.
Dari sejumlah permasalahan tersebut, Sahel menyebut sulit untuk mencari nilai positif terhadap draf RUU HAP yang tengah dibahas DPR.
"Jadi, sulit kita berusaha mencari nilai positifnya dari gagasan yang dibawa dalam KUHAP ini dan barangkali cacat logika juga. Bukan barangkali, pasti cacat logika juga karena KPK ini kan didirikan, dia sebagai respons atas kegagalan aparat penegak hukum lain memberantas korupsi. Jadi, KPK itu di dalam Undang-undangnya sampai sekarang masih dikasih kewenangan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain," ucap dia.
Dalam kesempatan itu, Sahel berbagi cerita mengenai informasi yang diperolehnya terkait dengan pembahasan RKUHAP di DPR. Kata dia, pembahasan tersebut dilakukan tidak dengan semestinya.
"Kita masyarakat sipil di luar, saya pribadi atau mewakili Transparency Internasional Indonesia tidak pernah mendapat undangan untuk mendiskusikan Rancangan KUHAP. Barangkali ada teman-teman civil society yang lain, oke lah, tapi dapat cerita di belakang bahwa sebagai ahli pun, tim ahli, proses konsultasinya unik," tutur Sahel.
"Draf utuh tidak diberikan. Hanya Pasal tertentu yang ingin dikonsultasikan, yang di-screenshot, lalu dikirim kepada ahli, lalu ditanya pendapatnya. Loh, kok prosesnya tambal sulam? Kok pelibatan ahli tambal sulam? Padahal kita membaca Undang-undang harus utuh," sambungnya.
Atas dasar itu, Sahel bertanya-tanya dengan cara seperti apa masyarakat bisa memberi masukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat.
"Apakah cara yang harus ditempuh adalah masyarakat mendobrak masuk dalam rapat pembahasan Undang-undang seperti sebelumnya? Apakah harus seperti itu, selalu seperti itu? Apakah harus selalu masyarakat menyampaikan pandangannya lewat judicial review ke Mahkamah Konstitusi? Itu yang selalu disampaikan oleh pembentuk undang-undang. Bukan cuma KUHAP. Kalau keberatan, tidak suka, nanti silakan judicial review, bawa ke Mahkamah Konstitusi," tutur dia.
"Dibawa ke Mahkamah Konstitusi, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, pembentuk undang-undangnya protes: sembilan orang itu enak saja membatalkan produk yang sudah kita buat. Akhirnya, Mahkamah Konstitusinya mau diacak-acak juga, Undang-undang Mahkamah Konstitusinya," katanya.
(fra/ryn/fra)