Hal serupa disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji yang menilai kebijakan di sektor pendidikan sangat strategis untuk mendulang popularitas.
Hal itu dikarenakan sektor pendidikan melibatkan banyak pihak; ada orang tua, anak, organisasi masyarakat pengelola lembaga pendidikan, dan masyarakat umum.
"Jelas ini hanya untuk cari sensasi, bikin konten viral, dan popularitas semata," kata Ubaid saat dihubungi melalui pesan tertulis, Kamis (24/7).
Menurut Ubaid, kebijakan 'mentah' Dedi di sektor pendidikan yang akhirnya mendapat perlawanan tersebut dikeluarkan untuk menarik simpati presiden yang mempunyai latar belakang militer.
"Selama ini KDM kan bangun citra melalui konten-kontennya yang viral. Maka, dia bikin kebijakan pendidikan dengan cara yang biasa dia lakukan melalui konten-konten itu," imbuhnya.
Ubaid menilai Dedi tidak menyadari dirinya sebagai seorang kepala daerah yang harus mengeluarkan kebijakan berdasarkan kajian mendalam dan melewati uji publik, tidak lagi hanya demi yang penting viral.
"Kenapa menjadi kontraproduktif dan banyak menuai protes? Karena dia tidak sadar bahwa sekarang adalah sebagai gubernur dan terkait dengan kebijakan publik yang mestinya harus dilakukan kajian mendalam dan uji publik. Proses-proses partisipatif itu tidak dilakukan oleh KDM sehingga banyak pihak yang dirugikan, lalu protes menjamur," ucap Ubaid.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, lanjut Ubaid, harus membuka mata dan telinga dengan menjamurnya berbagai penolakan terhadap kebijakan di sektor pendidikan.
JPPI memotret lima anomali serius dari Januari 2024 hingga Juli 2025. Ubaid mengatakan sudah saatnya Pemprov Jabar tidak lagi jalan sendiri dalam merumuskan kebijakan publik.
Lima anomali tersebut adalah, pertama, Jabar menempati peringkat pertama nasional untuk kategori Anak Tidak Sekolah (ATS) dengan jumlah 616.080 anak.
Angka tersebut jauh melampaui Jawa Tengah (333.152 anak) dan Jawa Timur (332.844 anak). Fakta itu menunjukkan kegagalan fundamental dalam menjangkau dan mempertahankan anak-anak di bangku sekolah. Selain itu juga menjadi bukti layanan dasar pendidikan di Jabar masih sangat buruk dan perlu prioritas khusus.
Anomali kedua adalah episentrum kekerasan di lingkungan pendidikan. Jabar masuk dalam tiga besar provinsi dengan kasus kekerasan paling banyak.
Kekerasan seksual (38 persen), perundungan (29 persen), dan kekerasan fisik (22 persen) mendominasi laporan.
Anomali ketiga menyoal sarang tawuran pelajar. Kasus tawuran pelajar merajalela di 41 desa/kelurahan di Jawa Barat, jauh di atas Jakarta (25 kelurahan) dan Sumatera Utara (20 desa/kelurahan).
Menurut JPPI, potret tersebut memperlihatkan bukan lagi kenakalan remaja biasa, melainkan cermin kegagalan pendidikan karakter dan intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Anomali selanjutnya adalah Jabar menjadi provinsi dengan kasus intoleransi tertinggi di lingkungan pendidikan.
Mulai dari guru agama untuk minoritas yang kurang, persekusi pelajar beda keyakinan, ujaran kebencian, hingga intimidasi dan stigmatisasi "sesat". Menjadi pukulan telak bagi semangat Bhinneka Tunggal Ika dan keragaman yang seharusnya dijunjung tinggi di institusi pendidikan.
Anomali kelima adalah skandal penahanan ijazah. Hingga Juli 2025, JPPI menerima 612 pengaduan penahanan ijazah oleh sekolah. Pengaduan kasus ini di Jabar terbilang terbanyak dibanding daerah lain.
Kata Ubaid, Pemprov Jabar ingkar janji untuk membayar uang tebusan kepada sekolah swasta sebagaimana yang telah dijanjikan.
"Ini adalah alarm keras bagi Gubernur selaku pimpinan Pemprov Jawa Barat," ucap Ubaid.