Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (Sumut ) Berdasarkan data surveilans rutin mencatat sebanyak 1.191 kasus suspek campak rubela mulai dari Januari hingga Juli 2025. Dari jumlah itu sebanyak 362 diantaranya kasus positif Campak dan 10 kasus positif Rubela.
"Data tersebut mulai dari Januari hingga Juli 2025. Jadi totalnya ditemukan 362 kasus positif campak dan 10 kasus rubella," kata Kepala Dinas Kesehatan Sumut, Faisal Hasrimy melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Sumut Novita Saragih, Minggu (3/8/2025).
Novita menjelaskan terdapat 12 kabupaten/kota di Sumatera Utara yang melaporkan kejadian luar biasa (KLB) Campak dengan rincian sebagai berikut Medan (159 kasus positif), Deli Serdang (101), Tebing Tinggi (16), Tapanuli Selatan (9), Dairi (7), Padanglawas (7), Tapanuli Tengah (6), Samosir (4), Padanglawas Utara (3), Mandailing Natal (3), Binjai (2), dan Pematang Siantar (2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam menanggulangi KLB Campak di Sumatera Utara, Dinas Kesehatan Sumut telah melakukan tindakan berupa penyelidikan epidemiologi (PE), yakni pelacakan kontak erat serta penemuan kasus tambahan di sekitar domisili penderita (lingkungan rumah/tetangga, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya)," ucapnya.
Kemudian, Dinas Kesehatan Sumut melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mengalami KLB, koordinasi lintas sektor dengan pihak sekolah, pemerintah setempat dan tokoh masyarakat, melakukan survei cepat komunitas terkait imunisasi.
"Dinas Kesehatan Sumut juga melakukan kajian epidemiologi serta penyusunan mikroplaning untuk persiapan imunisasi untuk respons KLB (outbreak response immunization/ORI)," urainya.
Menurut Novita imunisasi campak-rubela (MR) termasuk dalam imunisasi dasar lengkap (IDL). Hingga 31 Juli 2025, capaian IDL sebesar 38,66% dari target: 58% atau peringkat 5 secara nasional. Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi terhadap kasus campak di Sumatera Utara, maka terdapat sebanyak 56% kasus tidak pernah mendapatkan imunisasi MR.
"Meskipun sudah divaksin MR, anak masih bisa terkena campak, meskipun risikonya jauh lebih kecil dan gejala yang dialami cenderung lebih ringan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk efektivitas vaksin yang tidak selalu 100%, kemungkinan infeksi terjadi sebelum vaksin bekerja optimal, atau adanya paparan virus campak yang sangat tinggi," terangnya.
Faktor lain penyebab campak pada anak meski sudah vaksin yakni daya tahan tubuh. Saat daya tahan tubuh menurun dan orang di sekitarnya sedang ada yang terpapar campak, anak lebih berisiko tertular.
"Tantangan utama yang dihadapi adalah kurangnya informasi dan kesadaran masyarakat, keraguan terhadap vaksin karena adanya informasi yang salah (hoaks)," katanya.
Puskesmas dan rumah sakit, tambah Novita, memiliki peran penting dalam deteksi dini dan penanganan campak. Puskesmas berperan dalam surveilans aktif, deteksi kasus, dan penanganan awal, sementara rumah sakit memberikan penanganan lanjutan, termasuk perawatan suportif dan penanganan komplikasi.
"Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) swasta juga sangat berarti dalam meningkatkan penemuan dan pelaporan kasus suspek campak," sebutnya.
Untuk mencegah KLB Campak maupun PD3I di Sumatera Utara, perlu dilakukan upaya meningkatkan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata, juga mendorong penguatan sistem surveilans untuk memantau upaya eradikasi, eliminasi dan pengendalian penyakit PD3I.
"Keberhasilan program imunisasi memerlukan dukungan kolektif dari semua pihak yaitu pemerintah daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga pendidikan, tenaga kesehatan, hingga media massa," paparnya.
Tak hanya itu, Dinas Kesehatan Sumut juga melakukan jemput bola berupa Imunisasi kejar untuk memberikan vaksinasi kepada individu yang belum menerima dosis vaksin sesuai jadwal yang seharusnya, atau yang terlewat dari jadwal imunisasi nasional.
"Ini dilakukan agar seseorang mendapatkan perlindungan optimal dari penyakit menular. Mulai tanggal 4-9 Agustus 2025 juga akan dilakukan Imunisasi PENARI. PENARI adalah singkatan dari Pekan Imunisasi Nasional, yang merupakan program pemberian imunisasi secara serentak dalam kurun waktu satu minggu. Program ini bertujuan untuk mengejar ketertinggalan imunisasi pada anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi sesuai jadwal yang seharusnya," kata Novita.
Namun begitu, keberhasilan program imunisasi memerlukan dukungan kolektif dari semua pihak yaitu pemerintah daerah, tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga pendidikan, tenaga kesehatan, hingga media massa.
Dalam meningkatkan cakupan imunisasi juga diperlukan kerja sama dari lintas sektor seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dapat berperan aktif dalam menggerakkan masyarakat, memberikan edukasi, dan memantau cakupan imunisasi di tingkat desa atau kelurahan.
"Organisasi masyarakat dapat membantu menyebarluaskan informasi tentang imunisasi, menjangkau kelompok masyarakat yang lebih luas, serta memberikan dukungan logistik. Media massa memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi tentang imunisasi, meluruskan misinformasi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat," tutupnya.
(fnr/wis)