Pemeriksaan terhadap eks Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (7/8) dalam kasus dugaan korupsi kuota haji, kian menambah kekhawatiran apakah haji memang menjadi ladang subur praktik korupsi.
Dalam kasus ini, penyelidik KPK tengah mendalami dugaan perbuatan melawan hukum terkait dengan penggunaan kuota haji reguler dan khusus. Merujuk UU Haji dan Umrah, kuota haji khusus regular mestinya 92 persen berbanding 8 persen.
Namun, pada praktiknya, tambahan kuota antara haji khusus dan regular kala itu menjadi 50:50.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tadi ada proses-proses yang akan didalami. Ada di Undang-undang diatur 92 persen dan 8 persen. Kenapa bisa 50-50 dan (pendalaman) lainnya," kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, Rabu (6/8) malam.
Yaqut selaku terperiksa hadir tanpa didampingi kuasa hukum. Dia mengaku hanya membawa Surat Keputusan (SK) terkait pengangkatannya sebagai Menag pada 2020. Namun, Yaqut mengaku tak tahu menahu soal dugaan kasus korupsi kuota haji di masanya.
"Saya enggak tahu ya," kata dia singkat.
Faktanya, dugaan kasus korupsi di balik penyelenggaraan haji saban tahun di Indonesia sudah jadi barang mafhum. Meski begitu, tak semuanya dilanjut ke ranah hukum dengan ada tersangka.
Sejak awal reformasi, Kemenag yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan haji di Indonesia terus berada di bawah bayang-bayang korupsi. Pertama, kasus korupsi dana abadi umat dan dana penyelenggaraan ibadah haji 2001-2004 dengan tersangka Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar.
Selama menjadi menteri, ia disebut menerima uang sebesar Rp4,5 miliar dan pada Februari 2006, Said divonis 5 tahun penjara.
Kedua, kasus korupsi dana penyelenggaraan haji dan dana operasional menteri (DOM) dengan tersangka Menag periode 2009-2014, Suryadharma Ali. Pada 22 Mei 2014, KPK menetapkan dia sebagai tersangka dan kemudian divonis 6 tahun.
Dalam kasus kuota haji yang tengah diusut, KPK belum menetapkan tersangka. Namun, KPK memberi sinyal perkaranya akan naik tahap penyidikan.
"Mudah-mudahan kalau kemudian faktanya, buktinya cukup kuat, KPK akan segera menaikkan status ke tingkat penyidikan," kata Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, Rabu (6/8).
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai bayang-bayang korupsi di balik penyelenggaraan ibadah haji tak terkait dengan norma atau nilai agama. Dia menyebut, sebagai program yang melibatkan jumlah anggaran besar, haji memiliki konsekuensi untuk diselewengkan.
Kedua, penyelenggaraan ibadah haji dipenuhi dengan program pengadaan barang dan jasa. Mulai dari katering, transportasi, maupun akomodasi sehingga juga rawan untuk disalahgunakan. Ketiga, risiko korupsi ibadah haji juga tinggi karena dilakukan di luar negeri dan melibatkan pihak luar.
"Nah, maka pengadaan dalam jumlah anggaran besar, paket pengadaan jumlah banyak, dilakukan di luar negeri, berkaitan dengan pihak-pihak lain, ini risiko korupsinya menjadi lebih tinggi," kata Zaenur saat dihubungi, Kamis (7/8).
Menurut dia, dengan kondisi itu, risikonya bisa lebih tinggi jika tak dibarengi dengan tata kelola yang baik. Indikasi paling mudah tata kelola yang tidak baik, bisa dilihat dari layanan kepada jemaat haji di bawah standar.
Misalnya, kualitas katering di bawah standard dan banyak keluhan. Begitu pula dengan pemondokan yang banyak mendapat keluhan. Makanya, praktik korupsi penyelenggaraan haji umumnya berbentuk suap. Begitu pula dalam dugaan kasus korupsi yang kini menyeret eks Menag Yaqut.
Zaenur menilai, KPK harus menemukan alat bukti dalam dugaan korupsi tambahan kuota haji antara regular dan khusus dari semula berbanding 92:8 menjadi 50:50. Jika tak ditemukan bukti suap, kata dia, bisa saja dijerat dengan pasal lain yakni, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terkait Tindak Pidana Korupsi.
Namun, pasal itu bisa diterapkan dengan beberapa syarat misalnya, niat jahat atau mens rea dalam bentuk persekongkolan atau kesepakatan dengan pihak tertentu agar pembagian kuota haji tak sesuai aturan.
"Jadi enggak mens rea-nya, ada yang menunjukkan bahwa ini memang bersekongkol, jadi di situ letaknya, itu tugas penyidik untuk mengecek," kata Zaenur.
Namun, Zaenur juga mengingatkan agar KPK tak perlu memaksakan jika tak ditemukan unsur pidana korupsi dalam kasus tersebut. Menurut dia, aparat penegak hukum harus belajar dari kasus Tom Lembong.
"Kalau enggak, jangan menjerat orang yang tidak melukakan kesalahan. Kan harus belajar dari kasusnya Tom Lembong, ada enggak persekongkolannya, ada enggak suapnya, ada enggak konflik kepentingannya," kata Zaenur.
Pengamat haji UIN Jakarta, Dadi Darmadi memandang bahwa secara umum penyelenggaraan haji di Indonesia terus mengalami perbaikan. Meski begitu, ada beberapa masalah fundamental yang masih perlu diperbaiki.
Misalnya, kata dia, keterlambatan layanan, pengelolaan kuota, dan transparansi anggaran. Menurut Dadi, meski haji sarat dengan nilai-nilai spiritual, namun melibatkan pengelolaan dana besar, rentan terhadap penyalahgunaan.
Apalagi, jika terjadi monopoli kekuasaan, akuntabilitas minim, dan pengawasan yang lemah. Dia menyebut, kondisi itu akan menjadi celah korupsi.
Di sisi lain, secara antropologis, lanjut Dadi, sikap dan pandangan tertentu dari jemaah haji, seperti pasrah dan legowo, kadang juga dimanfaatkan pihak tertentu, sehingga praktik korupsi bisa berkembang tanpa kritik memadai.
"Untungnya banyak pihak, termasuk media massa sering memberitakan dan mempersoalkan jadi masalah haji sering menjadi isu nasional," kata dia.
Oleh karena itu, Dadi berpendapat, DPR dan pemerintah perlu memperkuat pengawasan independen, melibatkan lembaga seperti KPK dan BPK. Di samping itu, pemerintah juga harus lebih meningkatkan transparansi pengelolaan dana haji.
Dia menilai revisi RUU Haji mestinya juga bisa lebih fokus pada isu-isu strategis, seperti pembentukan lembaga haji yang lebih akuntabel, peningkatan layanan jemaah, mulai dari transportasi, kesehatan, akomodasi, konsumsi.
"Dan ini yang juga penting, pengaturan kuota yang lebih adil. Saya kira evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola haji tetap diperlukan karena perubahan terus terjadi baik di Indonesia maupun Saudi, termasuk digitalisasi sistem, bisa sangat krusial untuk mencegah penyimpangan di masa depan," kata dia.
(thr/isn)