Mengenang Maria Ulfah, Menuntut Kesetaraan di Mata Hukum Masuk UUD 45

CNN Indonesia
Rabu, 20 Agu 2025 09:14 WIB
Kesetaraan atau persamaan di mata hukum bisa masuk ke dalam konstitusi Indonesia, tak lepas dari kiprah perempuan bernama Maria Ullfah Santoso.
Kesetaraan atau persamaan di mata hukum bisa masuk ke dalam konstitusi Indonesia, tak lepas dari kiprah perempuan bernama Maria Ullfah Santoso. (Fareleadsm via Wikimedia Commons (CC-BY-SA-4.0)(
Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia --

Konstitusi Indonesia, UUD 1945, genap berusia 80 tahun pada Senin (18/8). Konstitusi yang diketuk palu pada 18 Agustus 1945 itulah yang menjadi peletak dasar Indonesia menjadi sebuah negara.

Salah satu hal krusial di dalam konstitusi itu adalah 'kesetaraan atau persamaan di dalam hukum' yang terdapat pada Pasal 27 UUD 1945.

Mengutip dari berbagai sumber, aturan yang memberi jaminan kesetaraan hukum itu ternyata diusulkan satu dari dua perempuan yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perempuan pengusul itu adalah Raden Ayu Maria Ulfah atau lebih dikenal dengan Maria Ullfah Santoso atau Maria Soebadio Sastrosatomo (18 Agustus 1911-15 April 1988).

Sebagai anggota panitia perumusan UUD, Maria menekankan pentingnya kesetaraan hukum bagi seluruh rakyat, baik laki-laki maupun perempuan.

Ia bahkan mengusulkan agar perlindungan hak asasi manusia dicantumkan lebih rinci dalam konstitusi. Meskipun usulan itu sempat ditolak dalam rapat BPUPKI, gagasan tentang kesetaraan di depan hukum akhirnya diterima dan menjadi bagian Pasal 27 UUD 1945 yang terdiri atas tiga ayat.

Atas kontribusinya tersebut, Komnas HAM pada 2014 menganugerahkan penghargaan Hak Asasi Manusia kepada Maria Ulfah, bersama dengan aktivis Munir Said Thalib.

Sejarah hidup Maria Ulfah

Mengutip dari artikel jurnal Multikultura Universitas Indonesia (UI) dengan judul Srikandi Pendiri Bangsa: Perjuangan dan Sumbangsih Maria Ulfah Untuk Kemerdekaan Indonesia karya Yuda B Tangkilisan, Maria Ulfah lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911.

Keluarganya kemudian ikut ayahnya, Raden Adipati Arya Mohammad Ahmad yang menjadi Bupati Kuningan, Jawa Barat. Belakangan disebutkan penentuan lokasi Perundingan Linggarjati pada 1946 tak lepas pula dari usul Maria Ulfah.

Lewat status keluarganya, Maria memiliki akses menempuh pendidikan di masa kolonialisme. Dia mengenyam pendidikan menengah di Batavia (nama Jakarta di masa kolononalisme Belanda), lalu ikut orangtuanya yang bertugas ke Belanda.

Di Negara Kincir Angin itu, dia menempuh pendidikan hukum di Leiden.

Mengutip dari detik.com yang menyarikan informasi surat kabar de Locomotif edisi 2 November 1933, Maria Ulfah pulang ke Indonesia dan disebut sebagai perempuan pertama pribumi yang meraih gelar sarjana hukum di Belanda.

Mengutip dari laman Museum Pendidikan Nasional di situs Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), "Selama menempuh pendidikan di Leiden, ia banyak mengenal para mahasiswa pejuang yang kelak menjadi tokoh pergerakan nasional dan calon pemimpin Indonesia, seperti Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, dan Sjahrir."

Pergerakan perempuan

Sekembalinya ke nusantara, mengutip Sumatra Post edisi 7 Februari 1934, Maria diangkat sebagai pegawai honorer di Kantor Pemerintahan Kabupaten Cirebon dengan gaji 200 gulden per bulan.

Tak lama, ia beralih menjadi guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah serta aktif mengadakan kursus pemberantasan buta huruf bagi kaum ibu.

Kiprah Maria dalam memperjuangkan hak perempuan menguat setelah ikut serta dalam Kongres Perempuan Indonesia kedua pada 1935 di Batavia (nama Jakarta di era kolonialisme Belanda).

Pascakongres tersebut, dia dipercaya memimpin Biro Konsultasi yang mengurusi persoalan perkawinan, khususnya membantu perempuan menghadapi kesulitan dalam pernikahan dan perceraian.

Ia disebut sebagai tokoh dan pahlawan perempuan Indonesia yang melawan poligami.

Kiprah politik

Selain menjadi anggota BPUPKI, Maria Ulfah juga duduk di Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Pada awal kemerdekaan, Maria dilantik menjadi Menteri Sosial pertama Republik Indonesia. Meski hanya menjabat satu tahun, ia meluncurkan program transmigrasi dari Jawa ke Sumatra. Mengutip Arnhemsche Courant edisi 12 Februari 1947, program tersebut memindahkan sekitar 10 ribu orang atau 30 ribu anggota keluarga untuk membentuk permukiman baru.

Lebih dari sekadar tokoh politik, Maria Ulfah dikenang sebagai sosok yang memperjuangkan akses perempuan terhadap hukum. Kepakarannya di bidang hukum menjadikannya pionir dalam mengedepankan prinsip kesetaraan di tengah masyarakat yang masih timpang kala itu.

Momentum Hari Konstitusi yang diperingati setiap 18 Agustus menjadi pengingat atas kontribusi besar Maria Ulfah. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang lahir dari gagasannya kini menjadi dasar penting penegakan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.

(kay/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER