Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyebut DPR harus mengkoreksi dan mengevaluasi rancangan anggaran pendidikan yang disusun pemerintah. Ini dilakukan agar anggaran sebesar RpRp757,8 triliun tersebut bisa benar-benar menghasilkan solusi untuk masalah pendidikan di Indonesia, bukan sekadar untuk program MBG.
"Jadi DPR harus menolak pengajuan RAPBN ini dan dikembalikan kepada pemerintah supaya direvisi. Kita punya anggaran besar pendidikan, tapi rata-rata lama sekolah kita, kita punya program pemerintah sudah 10 tahun lebih, punya program wajib belajar 12 tahun, tapi rata-rata lama sekolah anak-anak Indonesia masih SMP, masih 9 tahun," tutur dia.
"Kenapa itu terjadi? Karena anggaran pendidikan bocor, anggaran pendidikan dibuat bancakan, anggaran pendidikan salah sasaran itu masalahnya," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ubaid menekankan anggaran pendidikan itu harus berorientasi pada kepentingan atau kebutuhan para siswa. Selain itu, juga harus bisa mendorong kesejahteraan guru yang diharapkan bisa mendongkrak pada peningkatan kualitas pendidikan.
"Jadi kesalahan alokasi dana pendidikan, kesalahan peruntukan anggaran pendidikan ini yang membuat kualitas pendidikan kita ini nyungsep. Gurunya masih tidak sejahtera, kualitasnya masih buruk, anak-anaknya banyak yang masih putus sekolah, kemampuan literasi numerasinya juga buruk, sekolah kita juga banyak yang rusak, jumlahnya kurang, daya tampungnya sangat minim sekali. Ya gini-gini saja, karena anggaran pendidikan kita enggak pernah digunakan sepenuhnya untuk pendidikan," ucap dia.
Sementara itu, Totok mengatakan selama ini pemerintah tidak memiliki sistem evaluasi yang sahih terkait pola ataupun penerapan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, tidak pernah ada data ataupun catatan soal apakah pola pendidikan yang diterapkan sudah berhasil atau belum.
Karenanya, Totok menyebut pemerintah juga harus segera berbenah untuk menyiapkan sebuah sistem evaluasi atas penerapan pendidikan di Indonesia.
Tujuannya, agar anggaran yang selama ini digelontorkan untuk sektor pendidikan tak terbuang percuma dan bisa benar-benar menjadi solusi atas permasalahan yang ada.
"Kita tidak tahu apakah anak-anak sudah menguasai pengetahuan dasar, literasi, soft skills, dan life skills? Benarkah kalau sudah masuk sekolah itu berarti sudah belajar? Bagaimana anak-anak kita siap bersaing secara global atau menguasai global ready talent? Apakah sudah siap mengisi pekerjaan2 baru dari kecerdasan artifisial (AI)?," ucap Totok.
"Anggaran terus diberikan, tetapi evaluasinya tidak rigorous dan menyeluruh. Padahal, anggaran ini dari rakyat yang bayar pajak, jadi harus dipertanggungjawabkan. Apa hasilnya dari 20 persen APBN setiap tahun itu?," tambahnya.
(dis/isn)