ANALISIS

Anggaran Pendidikan Rp757 Triliun, Besar tapi Semu

CNN Indonesia
Rabu, 20 Agu 2025 11:07 WIB
Presiden Prabowo Subianto bakal menggelontorkan anggaran sebesar Rp757,8 triliun untuk sektor pendidikan pada 2026. (Cahyo - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Prabowo Subianto bakal menggelontorkan anggaran sebesar Rp757,8 triliun untuk sektor pendidikan pada 2026. Anggaran ini tembus 20 persen dari total belanja negara yang direncanakan pemerintah di tahun depan.

Dari ratusan triliun itu, Prabowo menganggarkan Rp335 triliun untuk pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang rencananya akan menyasar 82,9 juta orang. Anggaran ini naik dua kali lipat dibanding tahun ini yang hanya Rp171 triliun.

Kemudian, sebesar Rp24,9 triliun digelontorkan untuk pelaksanaan program Sekolah Rakyat. Angka ini naik lebih dari 20 kali lipat jika dibandingkan 2025 ini yang hanya Rp1,76 triliun.

Selanjutnya, anggaran pendidikan juga akan digunakan Prabowo untuk membangun Sekolah Garuda sebesar Rp3 triliun. Anggaran akan digunakan untuk membangun Sekolah Unggulan Garuda di sembilan lokasi.

Anggaran pendidikan itu juga akan digunakan Prabowo untuk melaksanakan program revitalisasi sekolah. Total anggaran yang akan digelontorkan sebesar Rp22,5 triliun. Anggaran ini naik dibandingkan dengan 2025 yang hanya sekitar Rp19 triliun dengan target sasaran revitalisasi 10.440 sekolah dan 2.120 madrasah.

Selain itu, anggaran pendidikan juga akan digelontorkan Prabowo untuk melanjutkan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Pada 2026, PIP akan diberikan Prabowo ke 21,1 juta siswa; KIP Kuliah 1,2 juta mahasiswa; BOS Kemendag sebanyak 11,6 juta siswa. Anggaran juga digunakan untuk meningkatkan kompetensi 41.694 guru.

Kemudian, anggaran juga digelontorkan ke daerah sebesar Rp253,35 triliun. Anggaran pendidikan itu akan digelontorkan dalam bentuk Dana Alokasi Umum bidang pendidikan dan Dana Alokasi Khusus.

Lantas, apakah anggaran sebesar Rp757,8 triliun yang disiapkan pemerintah di tahun 2026 itu mampu mengatasi masalah pendidikan di Indonesia?

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyebut anggaran ratusan triliun rupiah yang dialokasikan untuk pendidikan itu hanya sebatas angka di atas kertas.

Kata dia, jumlah yang disiapkan pemerintah memang tergolong besar, namun pelaksanaannya tidak fokus pada upaya peningkatan kualitas pendidikan.

Ubaid pun menyoroti soal anggaran pendidikan sebesar Rp335 triliun yang justru digelontorkan untuk program MBG. Menurutnya, MBG tidak berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan.

"Nah, makan bergizi gratis itu harusnya diambilkan dari sektor lain, tidak boleh ngambil dari sektor pendidikan. Sekolah-sekolah kedinasan aja enggak boleh ngambil dari sektor pendidikan, apalagi ini makan gratis yang enggak ada hubungan langsung dengan sektor pendidikan," kata Ubaid kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/8) malam.

"Jadi menurut saya dengan anggaran yang kelihatannya besar ini, nyatanya realisasinya untuk pendidikan sangat kecil sekali. Karena itu maka kita harus katakan yang pertama, ini pasti bermasalah, masalah besar," sambungnya.

Ubaid menyebut tantangan pendidikan di Indonesia saat ini adalah soal banyaknya anak yang masih belum bisa menempuh bangku sekolah.

Namun, anggaran pendidikan yang disiapkan pemerintah untuk tahun depan, justru tak memberikan solusi untuk permasalahan tersebut.

"Padahal Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada presiden untuk melaksanakan kebijakan sekolah tanpa dipungut biaya di SD dan SMP. Dan di postur APBN ini enggak tercermin sama sekali. Jadi kalau ditanya soal anak tidak sekolah, pasti dugaan saya akan bertambah banyak, tidak kemudian tambah berkurang," ujarnya.

Kemudian juga masalah terkait kualitas dan kesejahteraan guru yang masih buruk. Lagi-lagi, Ubaid menyebut penyelesaian ihwal masalah ini juga tak disiapkan oleh pemerintah dalam perencanaan anggaran pendidikan tersebut.

Padahal, menurut Ubaid, seharusnya pemerintah bisa mencari solusi atas permasalahan tersebut melalui anggaran pendidikan yang mencapai ratusan triliun rupiah tersebut.

"Jadi ini postur anggaran yang menurut saya paling buruk sepanjang sejarah, karena 50 persen untuk makan-makan. Dan ini enggak pernah ada dalam sejarah alokasi anggaran pendidikan 50 persen untuk makan-makan. Enggak ada itu," ucap dia.

Terpisah, pengamat pendidikan Totok Amin Soefijanto menyampaikan porsi 20 persen dari total APBN yang digelontorkan untuk anggaran pendidikan merupakan amanat konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah. Asumsinya, kualitas pendidikan bisa meningkat dengan dukungan anggaran yang memadai.

"Sekarang kita sadar bahwa asumsi itu masih perlu dikoreksi, karena nyatanya kualitas tidak membaik secepat negara tetangga. Belajar dari negara lain, sebenarnya ada faktor-faktor penting yang saling berkaitan, yaitu ada kesenjangan antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan tersebut di lapangan," tutur Totok.

"Contohnya kurikulum yang terus berubah, tetapi di sekolah sepertinya tidak ada perbedaan yang signifikan. Semuanya 'business as usual'," lanjutnya.

Totok menyebut pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen); Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) serta Kementerian Agama (Kemenag) seharusnya sudah memiliki kajian mengenai masalah krusial terkait pendidikan di Indonesia.

Salah satunya, terkait kompetensi guru dan dosen di era disrupsi saat ini hingga masalah kesejahteraan para tenaga pengajar. Terkait hal ini, kata Totok, pemerintah juga dihadapkan dengan berbagai pilihan.

Misalnya, fokus pada kompetensi atau kesejahteraan? Lalu fokus pada anak didik di dalam sekolah atau luar sekolah? Ataupun fokus pada metode belajar atau kecukupan gizi?

"Pilihannya tidak mudah, tapi harus memilih. Nah, rezim presiden Prabowo memilih kecukupan gizi dulu, maka digenjotlah MBG. Mudah-mudahan MBG ini 'right on the target' karena sekarang jadi primadona," Kata Totok.

"Begitu juga Sekolah Rakyat yang menyasar anak-anak dari desil 1 data kesejahteraan sosial (miskin ekstrem), sehingga anak di luar sekolah atau yang putus sekolah bisa kembali sekolah. Kita lihat tahun depan hasilnya," sambungnya.

Evaluasi Rancangan Anggaran Pendidikan


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :