Sejumlah pihak ramai-ramai mengkritik mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI Immanuel Ebenezer yang meminta amnesti atau pengampunan kepada Presiden Prabowo Subianto atas kasus dugaan pemerasan dan/atau penerimaan gratifikasi yang baru saja dibongkar KPK.
Harun Al Rasyid, dikenal sebagai Raja Operasi Tangkap Tangan (OTT) selama bekerja di KPK, mengungkapkan Noel dan sepuluh tersangka lain harus berkaca diri.
Dia meyakini Presiden Prabowo akan mengabaikan permintaan keliru tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terkait kasus Wamenaker, mestinya para tersangka mulai berkaca diri bahwa tidak semua perilaku koruptif itu harus mendapatkan ampunan dari Presiden, dan pastinya Presiden harus sangat selektif dalam mengeluarkan hak istimewanya dalam memberikan abolisi dan semacamnya," ujar Harun saat dikonfirmasi melalui pesan tertulis, Minggu (24/8).
Sementara itu, Ketua Indonesia Memanggil (IM57+) Institute Lakso Anindito meminta Prabowo untuk menolak permintaan Noel tersebut. Sebab, amnesti tidak tepat untuk diberikan terhadap mereka yang terlibat kasus korupsi.
Apalagi, kasus dugaan pemerasan Noel dkk dibongkar KPK hanya berselang empat minggu dari penahanan tersangka yang merupakan mantan pejabat Kementerian Ketenagakerjaan dalam kasus dugaan pemerasan terkait Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
"Artinya, ini adalah tindak pidana yang berulang dilakukan pada kementerian yang sama," tutur Lakso.
Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap menyatakan penolakan memberikan amnesti akan memberikan efek jera kepada Noel dkk.
Dia menekankan apa yang diduga dilakukan Noel dkk berbanding terbalik dengan komitmen yang telah berulang kali disampaikan Prabowo untuk mewujudkan negeri yang bebas dari korupsi.
"Tidak memberikan amnesti bagi saya merupakan salah satu wujud sikap tegas presiden bahwa keinginan beliau memberantas korupsi ke akar-akarnya akan terwujud," ucap Yudi.
"Sekaligus membuktikan kepada publik bahwa ketika ada anggota kabinetnya yang kemudian dia melakukan tindak pidana korupsi, maka dipersilakan kepada penegak hukum untuk memprosesnya," imbuhnya.
Baik Harun, Lakso maupun Yudi menyambut positif kerja-kerja KPK yang terlihat mulai kembali mengaktifkan metode Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam membongkar kasus korupsi.
Harun menjelaskan memang dalam kerja-kerja OTT ada masa menanam dan masa menuai.
"Setelah sekian lama menanam, akhir-akhir ini datang masa tuai atau panen tersebut. Saya tetap percaya bahwa teman-teman KPK mulai menunjukkan kinerja yang profesional dan tajam kembali," ucap dia.
Sementara Lakso mengapresiasi KPK yang belakangan membongkar kasus korupsi dengan OTT- metode yang tak jarang dikritik oleh pejabat publik.
Lakso menegaskan OTT merupakan ciri khas dari KPK yang harus dilanjutkan apabila ingin merebut kembali kepercayaan publik. Dia pun meminta Presiden Prabowo mendukung hal tersebut.
"Tentu semakin meningkatnya dan berprestasinya KPK ini harus kita apresiasi sebagai wujud keseriusan KPK dalam upaya kembali pulih, akibat, kita tahu, kontroversi-kontroversi di masa pimpinan yang lalu," kata dia.
Meski sudah bekerja di jalur yang benar, Lakso bilang IM57+ Institute tetap akan mengkritisi apa yang kurang dari KPK. Hal itu dia sampaikan sekaligus juga mengingatkan publik untuk terus bersama-sama mengawal kerja KPK.
"Jangan sampai kita euforia, dan ingat bahwa ini baru satu OTT yang membuat publik kembali bergairah terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK," kata Lakso.
Sedangkan Yudi berharap OTT terhadap Noel bukan menjadi yang pertama dan terakhir, di mana publik menurut dia sangat mengapresiasi kerja KPK.
"Semoga ke depan ada lagi OTT-OTT atau pengungkapan kasus besar termasuk pekerjaan rumah KPK yang harus diselesaikan terkait kuota tambahan haji, kemudian CSR BI, dana hibah Jatim, dan pengungkapan kasus di Pemprov Sumut ya, yang OTT kemarin, termasuk juga kasus BJB," pungkas Yudi.
Kepala PCO Hasan Nasbi menyebut Presiden Prabowo tidak akan membela bawahannya yang diduga korupsi, termasuk mantan Wamenaker.
Hasan menyampaikan itu dalam merespons Noel yang berharap amnesti dari Prabowo usai terjerat kasus dugaan korupsi oleh KPK.
"Presiden juga pernah menyampaikan tidak akan membela bawahannya yang terlibat korupsi," ujar Hasan dalam keterangannya, Sabtu (23/8).
KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan Rp3 miliar pada Desember 2024. Dari temuan awal KPK, Noel diduga juga telah menerima satu unit motor Ducati.
Dugaan pemerasan tersebut melibatkan 10 tersangka lain dan telah terjadi sejak tahun 2019.
Satu di antaranya merupakan intelektual dader atau otak kejahatan yakni Irvian Bobby Mahendro (IBM) selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Tahun 2022-2025.
Modusnya, menurut KPK, para pihak yang hendak mengurus penerbitan sertifikat K3 diharuskan membayar lebih mahal dari biaya resmi.
KPK menyebut biaya resmi seharusnya cuma Rp275 ribu, namun pihak yang mengurus sertifikasi diperas sehingga harus mengeluarkan biaya Rp6 juta.