Jejak Perkara Kasus Silfester Matutina hingga PK Digugurkan PN Jaksel
Kasus hukum yang menjerat Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina terus memasuki babak baru. Terpidana kasus dugaan fitnah itu kembali menjadi sorotan setelah majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggugurkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya.
Silfester terseret kasus hukum usai dilaporkan oleh putra Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK), Solihin Kalla, pada 2017. Laporan tersebut berawal dari orasi Silfester yang terekam dalam sebuah video dan tersebar di media sosial.
Dalam orasinya, Silfester menuding JK menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Atas ucapannya itu, ia dilaporkan dengan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah melalui media, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 dan 28 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang ITE.
Pada 30 Juli 2018, PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada Silfester. Putusan itu kemudian dikuatkan di tingkat banding pada 29 Oktober 2018. Namun, Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis menjadi 1,5 tahun penjara di tingkat kasasi.
Meski demikian, hingga kini putusan tersebut belum dieksekusi. Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa permohonan PK yang diajukan Silfester tidak menghalangi proses eksekusi.
"Prinsipnya PK tidak menunda eksekusi," kata Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, Senin (11/8).
Namun, Anang menyebut pelaksanaan eksekusi merupakan kewenangan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Lambannya eksekusi Silfester memunculkan spekulasi di publik, termasuk dugaan adanya hubungan keluarga dengan pejabat Kejari Jakarta Selatan. Isu ini ramai dibicarakan di media sosial. Namun, Anang menepis kabar tersebut.
"Enggak (benar) ada info tersebut," tegasnya, Rabu (13/8).
Anang menjelaskan keputusan eksekusi sepenuhnya berada di tangan Jaksa Eksekutor Kejari Jakarta Selatan. Menurutnya, Silfester sempat menghilang setelah putusan inkrah pada 2019, sehingga eksekusi terkendala.
"Kita sudah lakukan (perintah eksekusi) sesudah inkrah. Saat itu tidak sempat dieksekusi karena sempat hilang," ujarnya, Kamis (14/8).
Ia menambahkan, eksekusi juga terhambat akibat situasi pandemi Covid-19.
"Kemudian keburu Covid-19, jangankan memasukkan orang, yang di dalam aja harus dikeluarkan," tambah Anang.
Tidak kunjung dieksekusinya Silfester menuai kritik tajam. Komisi Kejaksaan (Komjak) menilai hal tersebut bisa menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia.
"Justru kalau nunggu PK, itu jadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia ke depan, bisa jadi semua terpidana minta eksekusi nunggu putusan PK. Kita berharap sebelum sidang PK sudah dieksekusi," kata Komisioner Komjak, Nurokhman, Selasa (12/8).
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD juga menegaskan bahwa masa eksekusi vonis belum kedaluwarsa.
"Pasal 84 KUHP masa daluwarsa penuntutan atas Silfester adalah 12 tahun, sedangkan daluwarsa untuk eksekusi adalah 12 tahun ditambah 1/3-nya. Artinya 16 tahun. Jadi masih sangat jauh dari daluwarsa. Bisa segera dieksekusi," ujarnya dalam cuitan di Twitter, Kamis (14/8).
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, turut mendesak Kejaksaan agar segera mengeksekusi Silfester.
"Tangkap, penjarakan. Tangkap, penjarain. Kalau memang sudah inkrah ya laksanain sesuai," tegas Sahroni di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/8).
Desakan juga datang dari Tim Advokasi Antikriminalisasi Akademisi dan Aktivis. Mereka melaporkan Kepala Kejari Jakarta Selatan kepada Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.
"Karena diyakini ada masalah dari sisi kinerja, karena tidak mungkin ada putusan yang sudah inkrah dan kami juga sudah cek bahwa putusan itu administrasinya sudah dikirim MA dan tidak ada alasan tidak dieksekusi," kata anggota tim, Ahmad Khozinudin, Jumat (15/8).
Silfester pun sempat mengajukan PK di PN Jakarta Selatan. Namun, sidang PK pada Rabu (20/8) ditunda karena ia tidak hadir, dengan alasan sakit. Humas PN Jaksel, Rio Barten, menjelaskan ketidakhadiran itu disertai surat dokter.
Sidang pun kembali digelar pada Rabu (27/8). Namun, Silfester kembali tak hadir sehingga Hakim menggugurkan permohonan PK karena menilai surat sakit yang dilampirkan tidak sah.
"Karena apa, pertama sakitnya enggak jelas, tidak ada keterangan sakit apa. Kedua, dokternya juga tidak jelas," kata Hakim Ketua I Ketut Darpawan dalam sidang PK di PN Jaksel, Rabu (27/8).
"Dengan demikian, kami nyatakan pemeriksaan ini selesai dan gugur," ucapnya.
Sementara itu, Kejagung juga menghadapi gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena tak kunjung mengeksekusi Silfester. Gugatan diajukan oleh Dhen & Partners Advocates and Legal Consultants, diwakili Heru Nugroho dan R. Dwi Priyono, dengan nomor perkara 847/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL.
"Agenda sidang pertama akan berlangsung pada hari Kamis, 28 Agustus 2025," demikian isi permohonan, Senin (25/8).
Pihak tergugat dalam gugatan ini adalah Kejagung, Kejati DKI Jakarta, Kejari Jakarta Selatan, serta Hakim Pengawas PN Jakarta Selatan.
Menurut penggugat, pembiaran ini melanggar prinsip equality before the law.
"Pembiaran perbuatan yang telah mencederai hukum dan mengabaikan rasa keadilan dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan hukum, dan dengan sengaja akan memberi kesempatan kepada 'Silfester' lain di kemudian hari," tegasnya.
Sebelumnya, gugatan serupa juga pernah dilayangkan oleh Aliansi Rakyat Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) dengan nomor perkara 96/Pra.pid/2025/PN Jaksel. Namun, dalam sidang perdana pada Senin (25/8), Kejari Jaksel selaku pihak tergugat tidak hadir.
Meski sudah inkrah sejak 2019, eksekusi Silfester Matutina hingga kini belum juga dilakukan. Polemik ini menambah panjang daftar sorotan publik terkait lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
(kay/isn)