Narasi dugaan keterlibatan Soeharto diungkap dalam buku Pleidoi Kolonel Latief berjudul A. Latief: Soeharto Terlibat G30S/PKI.
Latief adalah kolonel TNI AD sekaligus tokoh penting dalam peristiwa G30S. Dia jadi salah satu dari sejumlah tokoh TNI dan PKI yang ditangkap usai kegagalan peristiwa G30S.
Buku Latief adalah materi pembelaan resminya saat sidang di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Buku ini diterbitkan setelah Orde Baru tumbang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku itu, Latief menolak tuduhan dirinya sebagai dalang. Ia justru menuding Soeharto telah mengetahui serta menyetujui langkah yang diambil para perwira pelaku G30S.
Fakta-fakta lain mengukuhkan gugatan Latief ini. Hampir semua pelaku militer yang penting dalam G30S adalah anak buah atau bekas anak buah Soeharto, yaitu Soepardjo, Untung, dan Latief di Jakarta, Suherman, Usman, dan kawan-kawannya di Markas Divisi Diponegoro di Semarang.
Latief menyatakan hubungan mereka bukan sekadar hubungan komando militer, melainkan hubungan personal dan kekeluargaan yang erat.
"Bahkan, ketika Untung kawin, Soeharto ikut merayakan upacaranya... keluarga Latief diundang, dan sebaliknya pada upacara sunatan anak lelaki Latief, keluarga Soeharto menjadi tamu terhormat," tulis Latief.
Dari kedekatan itu, Latief yakin bahwa Soeharto mendukung langkah mereka untuk menumpas Dewan Jenderal yang disebut anti-Sukarno.
Melalui pengakuan ini, teori Latief menyimpulkan bahwa Soeharto bukan hanya mengetahui rencana G30S, tetapi juga memanfaatkannya sebagai momentum politik untuk menyingkirkan lawan-lawan ideologisnya dan mengambil alih kekuasaan dari Sukarno.
Soeharto dalam beberapa kesempatan telah membantah keterlibatannya dalam peristiwa G30S.
Dalam buku The Sukarno File, 1965-1967: Chronology of a Defeat karya Anthonie C.A Dake menyajikan teori bahwa Sukarno berperan aktif dalam memicu peristiwa G30S/PKI.
Dake adalah sarjana hukum lulusan Universitas Amsterdam, kemudian meraih master dari Fletcher School of Law and Diplomacy di Massachusetts, Amerika Serikat. Dia meraih doktor dengan predikat cum laude berkat disertasinya yang ditulis di Universitas Freie, Berlin, Jerman, yang dibukukan dalam judul In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking
Dake menilai konflik tajam antara Sukarno dan pimpinan Angkatan Darat menjadi pemicu utama, terutama soal Fifth Force (Angkatan Kelima) dan loyalitas militer menjelang akhir kekuasaannya.
Dalam catatan Dake, sepanjang 1965, ketegangan meningkat karena sejumlah jenderal menolak kebijakan Sukarno yang condong ke Beijing.
Penolakan itu membuat Sukarno menilai sebagian pimpinan Angkatan Darat sebagai kelompok "disloyal." Puncaknya terjadi 4 Agustus 1965, ketika ia memanggil Brigjen Sabur dan Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa ke Istana Merdeka.
"Ex-Lt.Col. Untung arrived in the bedroom of Bung Karno in the palace on August 4th, 1965... Bung Karno asked Lt.Col. Untung if he was prepared to accept orders that measures should be taken against the army generals who were disloyal. Untung replied that he was."
"Mantan Letnan Kolonel Untung datang ke kamar Bung Karno di istana pada 4 Agustus 1965... Bung Karno menanyakan kepada Letnan Kolonel Untung apakah ia bersedia menerima perintah untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal. Untung pun menjawab bahwa ia bersedia."
Setelah pertemuan tersebut, Untung menjalin kontak dengan jaringan rahasia PKI. Dake mencatat:
"Untung diketahui pernah menjalin kontak dengan seorang anggota partai yang dikenal dengan salah satu nama samaran, yakni Walujo. Dalam Biro Khusus PKI yang berada di bawah pengawasan langsung Ketua PKI D.N. Aidit, Walujo menempati posisi sebagai orang ketiga terpenting."
Dugaan keterlibatan Sukarno telah dibantah oleh sejumlah kalangan, termasuk keluarganya. Terbaru, MPR RI secara resmi mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno.
Salah satu poin pertimbangan dalam TAP MPRS itu berbunyi 'Presiden Sukarno disebut melindungi tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI)'. Dengan demikian, poin itu tak lagi terbukti.
Salah satu wacana penting yang muncul dalam penelitian John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup D'Etat in Indonesia, adalah gagasan bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dijelaskan dengan menunjuk satu dalang tunggal.
Roosa adalah asisten profesor Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Narasi resmi Orde Baru menyebut PKI sebagai aktor utama di balik penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat. Namun, Roosa menilai pendekatan ini terlalu menyederhanakan, sebab fakta di lapangan menunjukkan ada banyak aktor yang terlibat dan tidak adanya pusat komando yang jelas.
Pemicu munculnya teori "tidak ada pelaku tunggal" berangkat dari kejanggalan besar: bagaimana mungkin partai sipil seperti PKI mampu mengendalikan operasi militer berskala nasional yang ternyata dijalankan secara kacau? Roosa menyoroti pandangan Harold Crouch yang menyebut bahwa inisiatif awal justru datang dari kalangan militer.
PKI memang ikut serta, tetapi posisinya bukan sebagai perancang utama. Seperti ditulis Roosa:
"Kesaksian di pengadilan mengungkapkan bahwa keterlibatan PKI, khususnya dua anggotanya yakni Sjam dan Pono, terlalu besar untuk dianggap sebagai sesuatu yang tidak disengaja atau kebetulan belaka. [Harold] Crouch tidak dapat sepenuhnya mendukung kesimpulan makalah Cornell yang membebaskan PKI dari segala tuduhan. Namun demikian, kesimpulan akhirnya sejalan dengan premis dasar makalah Cornell. Ia berpendapat bahwa inisiatif awal muncul dari dalam tubuh Angkatan Darat. PKI memang terlibat secara signifikan, tetapi tetap berperan sebagai pihak sekunder."
Kesaksian Brigadir Jenderal Supardjo-salah seorang pelaku G30S-semakin menegaskan kompleksitas itu. Dalam catatan refleksinya, Supardjo sendiri bingung siapa sebenarnya yang memimpin gerakan.
Roosa menulis: "Meskipun Supardjo mengamati gerakan tersebut dari jarak dekat, ia mengakui bahwa dirinya pun bingung tentang siapa sebenarnya yang memimpin gerakan itu. Gerakan tersebut, yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar organisasi militer, tidak memiliki satu komandan tunggal yang memberikan perintah dalam rantai komando yang jelas."
Lebih jauh lagi, Supardjo mengakui bahwa rencana awalnya berasal dari perwira militer progresif, sebelum akhirnya diambil alih oleh unsur PKI melalui Sjam.
Roosa mencatat: "Terjadi pergeseran dalam rencana operasional, yang semula bersifat internal di lingkungan Angkatan Darat, menjadi sebuah operasi yang dipimpin langsung oleh partai. Pergeseran ini menyeret partai untuk terlibat lebih jauh dan pada akhirnya berujung pada kehancuran partai tersebut."
Atas dasar itulah Roosa menyimpulkan bahwa kesalahan penelitian-penelitian sebelumnya adalah berangkat dari asumsi adanya dalang tunggal. Ia menulis:
"Kelemahan dari sebagian besar penyelidikan awal mengenai gerakan tersebut terletak pada titik awalnya, yakni asumsi bahwa pasti ada dalang di balik peristiwa itu. Saya berpendapat bahwa tidak ada satu 'dalang utama', baik berupa satu orang maupun sekelompok kecil individu yang terorganisir dengan pembagian tugas yang jelas dan hierarki kekuasaan tertentu. Gerakan tersebut menjadi misterius justru karena tidak memiliki satu pusat pengambil keputusan yang tunggal."
Dengan demikian, menurut Roosa, G30S lebih tepat dipahami sebagai peristiwa tanpa kendali tunggal, melainkan hasil interaksi antara berbagai kelompok dengan kepentingannya masing-masing.
(nat/wis)