Mengkritisi Pasal Krusial KUHAP Baru, Benarkah Semua Bisa Kena?
Rapat Paripurna DPR RI kedelapan masa sidang II secara resmi telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang setelah enam bulan proses pembahasan, Selasa (17/11).
Sebanyak delapan fraksi di DPR kompak mendukung KUHAP baru segera berlaku. Aspek formil dari penegakan hukum di Indonesia itu rencananya akan diberlakukan pada 2 Januari 2026, bersamaan KUHP yang telah lebih dulu disahkan pada Desember 2022.
"KUHAP sangat dibutuhkan penegak hukum di negeri ini, dan akan mendampingi penggunaan KUHP, dan sama sama berlaku mulai Januari 2026," kata Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman dalam pidatonya di paripurna pengesahan RKUHAP.
Meski diklaim banyak perubahan progresif, sejumlah pihak melayangkan kritis keras terhadap sejumlah pasal dalam KUHAP kian memperkuat kewenangan aparat.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP setidaknya mencatat delapan poin krusial dalam KUHAP yang berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.
Beberapa di antaranya pasal penangkapan atau penahanan tanpa kejelasan. Koalisi menilai Pasal 5 bisa membuat semua orang bisa ditahan bahkan saat kasus masih di tahap penyelidikan.
Koalisi, misalnya, juga menyoroti pasal undercover buying (pembelian terselubung) atau teknik penyemaran yang semula digunakan untuk kasus narkoba, kini bisa digunakan pidana lain. Sisanya, koalisi menyoroti penggeledahan tanpa izin hakim, restorative justice jadi alat peras, hingga pembatasan bantuan hukum.
Pasal penangkapan oleh penyelidik
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengaku sepakat bahwa KUHAP kini tak memberi pemisahan yang jelas antara penyelidikan dan penyidikan. Imbasnya, seseorang bisa ditahan kapan pun, meski belum terbukti melakukan tindak pidana.
Menurut Fickar, ketentuan itu berpotensi membuat polisi sewenang-wenang untuk menarget seseorang.
"Ini potensi penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik terutama kepolisian, untuk mentarget seseorang," kata dia saat dihubungi, Kamis (20/11).
Pasal penangkapan dan penahanan oleh penyelidik tertuang dalam Pasal 5 ayat 2, "penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan".
Habiburokhman membantah potensi kesewenang-wenangan dalam pasal tersebut. Sebab, menurut dia, penangkapan oleh penyelidik tetap dilakukan atas perintah penyidik. Menurut dia, kewenangan itu dilakukan karena keterbatasan jumlah penyidik saat ini.
"Hal ini diatur untuk mengatasi keterbatasan jumlah penyidik," kata dia dalam jumpa pers di kompleks parlemen, Rabu (18/11).
Pasal undercover buying
Fickar menilai Pasal undercover buying (pembelian terselubung) atau metode penyamaran controlled delivery dalam KUHAP baru bisa berpotensi jadi alat pemerasan. Sebab, menurut dia, pasal tersebut kini bisa diterapkan untuk pidana umum, tak hanya untuk kasus narkoba.
"Cara ini menjadi logis jika kasusnya diterapkan pada kasus narkotika, tapi ketika diberlakukan secara umum, maka potensial menjadi alat peras kepada seseorang yang djebak untuk melakukan kejahatan," kata dia.
Pasal 16 berbunyi, "penyelidikan dapat dilakukan dengan cara: f. Pembelian terselubung g. Penyerahan di bawah pengawasan".
Habiburokhman mengatakan metode undercover buying dan controlled delivery hanya berlaku untuk kasus narkotika. Menurut dia, limitasi tersebut telah diatur dalam bagian penjelasan KUHAP.
"Tidak benar karena sudah dilimitasi di bagian penjelasan. Metode penyelidikan diperluas, namun hanya untuk investigasi khusus, bukan untuk semua tindak pidana.
Pasal restorative justice
Terakhir, Fickar menyoroti pasal restorative justice atau keadilan restoratif yang juga berpotensi menjadi alat pemerasan aparat.
Sebab, dalam KUHAP baru, keadilan restoratif bisa dilakukan sejak tahap penyelidikan, alias sebelum terkonfirmasi tindak pidana.
"Ini artinya membuka ruang terjadinya sogok suap menyuap, bahkan jual beli perkara (pidana) diantara penyidik dan calon tersangka atau terdakwa," kata Fickar.
Ketentuan restorative justice diatur dalam Pasal 79 yang berbunyi, "Mekanisme keadilan restoratif dilaksanakan pada tahap: a. Penyelidikan; b. Penyidikan; c. Penuntutan; dan d. pemeriksaan di sidang pengadilan".
Sementara itu, Habiburokhman menyebut kekhawatiran pasal keadilan restoratif jadi alat peras hanya klaim sepihak. Menurut dia, keadilan restoratif bisa diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga proses di pengadilan.
Menurut Habib, sejumlah ketentuan yang mengatur keadilan restoratif tertuang dalam sejumlah pasal dalam KUHAP baru yakni Pasal 79A, Pasal 8, dan Pasal 83.
"Jadi restorative justice ini enggak mungkin justru menjadi alat untuk menekan, karena harus dengan kesukarelaan, tanpa paksaan, intimidasi, tekanan, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan, penyiksaan, dan tindakan merendahkan kemanusiaan," kata politikus Gerindra tersebut.
Baca Halaman Selanjutnya