Eks Bos BMKG soal Bencana Sumatra: Jika Alamiah Tak Akan Sedahsyat Ini

CNN Indonesia
Jumat, 05 Des 2025 09:05 WIB
Mantan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan banjir bandang yang melanda Sumatra akhir tak akan luas dampaknya apabila memang terjadi secara alamiah.CNN Indonesia/ Tunggul
Yogyakarta, CNN Indonesia --

Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyatakan banjir bandang yang melanda sebagian wilayah Sumatra akhir November 2025 tak akan terlalu luas dampaknya apabila memang murni terjadi secara alamiah.

"Memang alamiahnya rentan dapat menimbulkan bencana, tapi bencananya tidak akan sedahsyat saat ini," kata Dwikorita dalam acara Pojok Bulaksumur di UGM, Sleman, DIY, Kamis (4/12) sore.

Dwikorita menjelaskan, kawasan sekitar Bukit Barisan yang membentang dari Aceh hingga Lampung rentan terjadi banjir bandang karena karakteristik perbukitan tersebut.

"Dan ciri sungai-sungai di pegunungan Perbukitan Barisan, yang merupakan pegunungan patahan, sungainya itu sempit-sempit, menyiku sempit gitu. Sehingga itu terbendung oleh tumpukan longsor tadi bersama kayu-kayu," paparnya.

Dwikorita bilang, usai banjir bandang di Taman Nasional Gunung Leuser, tepatnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Bahorok, kawasan Pegunungan Bukit Barisan pada 2003 silam, ia terjun ke lokasi untuk melaksanakan studi melalui wawancara warga setempat.

Hasilnya, diperoleh data dan informasi bahwa banjir bandang serupa di lokasi tersebut pernah terjadi 50 tahun sebelumnya. Dwikorita menangkap ini sebagai sebuah fenomena alamiah.

Kala itu, longsor pemicu banjir bandang terjadi karena gempa tektonik bermagnitudo rendah tak terasa manusia. Kawasan hijau atau pepohonan di daerah aliran sungai dari video udara terlihat tercerabut hingga ke akar.

Hasil video udara, area vegetasi terkena longsor membentuk pola cakar atau berbeda dengan bekas-bekas hasil pembalakan liar.

Hanya saja, yang menjadi catatan Dwikorita adalah fenomena alamiah macam ini lazimnya periode ulangnya cukup panjang. Mengacu riset 2003 lalu, siklusnya disinyalir membutuhkan waktu kisaran 50 tahun untuk berulang.

"Sehingga, kesimpulannya kalau itu memang benar-benar alam, mestinya sekarang belum terjadi. Masih kira-kira kalau itu tahun 2003, 50 tahun lagi ya 2053 gitu. Sekarang masih 2025, masih separuh (siklus)," kata Guru Besar bidang Geologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang juga mantan rektor UGM tersebut.

Selain itu, kejadian pada tahun 2003 lalu banjir bandang hanya melanda satu titik Daerah Aliran Sungai (DAS) saja. Beda dengan yang belakangan terjadi di banyak titik DAS. Dwikorita pun melihat ada aspek non-alamiah di balik perubahan-perubahan ini.

Dwikorita menduga ada pengaruh antropogenik yang memicu perubahan pada situasi lahan. Ia tidak mengumbar bentuk campur tangan manusia ini, tapi inilah yang memperpendek siklus banjir bandang di sana.

"Nah, itu berarti kan ada aspek non-alamiah yang sifatnya memperparah, dan kejadiannya saat itu tidak sedahsyat saat ini. DAS yang terkena itu kan banyak, saat itu (2003) hanya satu DAS saja. Jadi aspek non-alamiah itu memperparah kejadian bencana dari sisi lebih sering terjadi, periode ulangnya lebih pendek, intensitasnya lebih dahsyat, dan sebarannya lebih meluas.Itu peran non-alamiah," katanya.

Hasil wawancara pada 2003 silam juga membuka mata peneliti bahwa lokasi pemukiman terimbas bencana alam Sumatra akhir November 2025 kemarin merupakan area endapan banjir bandang purba.

"Kalau kita lihat kejadian saat ini, kita lihat dari videonya, itu sebetulnya bantaran banjir bandang. Tempat-tempat hunian saat ini, itu merupakan akumulasi tumpukan endapan banjir bandang purba yang sudah berkali-kali. Sehingga memang lahan itu merupakan lahan banjir bandang, sehingga kalau itu terjadi memang jalannya," kata Dwikorita.

Oleh karenanya, Dwikorita menyarankan perlunya pemetaan ulang wilayah bekas banjir bandang purba ini dan penataan tata ruang ke depannya. Terlebih, banyak area pemukiman sekarang ini berdiri di atas kawasan kipas aluvial.

Kipas aluvial sendiri adalah endapan sedimen berbentuk kipas yang terbentuk di daratan ketika aliran sungai yang deras keluar dari area pegunungan ke dataran yang lebih datar.

Dwikorita menyarankan, kawasan bekas banjir bandang purba ini menjadi area pemulihan ekologi demi mengantisipasi kejadian berulang.

"Dengan kejadian yang sekarang kan ada sedimentasi baru. Ada sedimen lama yang sudah ditinggali, tapi biasanya, kalau ini ada hambatan, dihuni, sedimen ini akan mencari jalan, makanya melebar. Dulu lewat sini, tapi sekarang sudah tertimbun, lebih tinggi, dia cari jalan yang lebih rendah," jelasnya.

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo menambahkan, kawasan kipas aluvial ironisnya justru menarik jadi hunian karena karakteristik tanahnya yang subur.

"Sehingga kalau kita lihat di sepanjang Pulau Sumatra, terutama di bukit barisan itu bagian muara itu pasti ada banyak pemukiman. Contoh Kota Padang. Sehingga dengan kondisi alami ini maka kalau kita tidak hati-hati dan tidak memerhatikan alam, maka ketika alam itu dia bereaksi untuk menyesuaikan dirinya ada potensi kita untuk terkena dampak," kata Hatma.

Hatma turut mengungkap, beberapa hasil riset menyatakan beberapa wilayah Sumatra akan banjir apabila diguyur hujan lebih dari 50 mm. Sedangkan pada 25-27 November 2025 lalu, curah hujan di sana berdasarkan informasi BMKG mencapai 308 mm.

"Sudah enam kali lipat (curah hujannya). Jadi mau ekosistem sebaik apapun, ekosistem alaminya itu berpotensi menyebabkan banjir. Apalagi ini ekosistemnya mungkin sudah berubah, sehingga kemampuan ekosistem untuk mengendalikan hujan menurun, ditambah dipicu hujan ekstrem, selesai," kata Hatma.

Hatma bilang, tiga provinsi yang terdampak bencana di Sumatra kemarin mengalami kerusakan di bagian hulu. Sementara, dalam sistem Daerah Aliran Air (DAS), hulu memiliki fungsi utama sebagai kawasan lindung untuk area di bawahnya.

Senada dengan Dwikorita, Hatma mengindikasikan adanya pengaruh antropogenik melihat bencana di Sumatra terakhir. Hal itu karena terjadi proses perubahan penggunaan lahan, khususnya area hulu di tiga provinsi terdampak.

Perubahan penggunaan lahan itu termasuk berupa perpindahan penduduk dari kawasan kipas aluvial ke dataran yang lebih tinggi. Migrasi ini berujung ke pembukaan lahan. Imbasnya, permintaan izin untuk membuka kebun dan lainnya juga meningkat.

"Ini yang jadi turunan elemen mempercepat proses kebencanaan di wilayah itu. Kalau kita lihat antropogenik pengaruhnya sangat besar," terangnya.

Padahal, kata Hatma, beragam hasil penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera mencatat kemampuan hutan menahan-menampung air hujan di tajuk (intersepsi) mencapai 15-35 persen dari hujan.

Dengan permukaan tanah yang tidak terganggu, mampu memasukkan air ke dalam tanah (infiltrasi) hingga 55 persen dari hujan, sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen saja.

"Nah kalau tutupan hutan diubah ataupun dikurangi, otomatis rumus tadi akan berubah. Yang tadinya itu 35 persen nggak sampai permukaan tanah, akhirnya sampai ke permukaan tanah. Yang tadinya 55 persen bisa masuk mungkin akan berkurang. Maka secara alami kalau hutan dikurangi, neraca air akan berubah," ujarnya.

Lebih jauh, Hatma pun menekankan bahwa restorasi ekosistem di sana kini praktis menjadi kebutuhan dan urgensi.

"Tinggal peran dari para pihak untuk berkontribusi dalam pemulihan ekosistem. Karena kalau ekosistem di hulu DAS bisa terpulihkan, setidaknya kemampuan hutan mengendalikan daur air tadi kembali pulih. Kalau pulih, bisa sedikit banyak mengurangi dampak (bencana) yang terjadi," pungkasnya.

(kum/gil)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK