Eks Bos BMKG: Banjir Sumatra Akibat Perubahan Iklim dan Ulah Manusia

CNN Indonesia
Minggu, 07 Des 2025 08:10 WIB
Eks Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sumatra merupakan kombinasi perubahan iklim akibat aktivitas manusia dan dinamika alamiah sistem Bumi. AFP/YT HARIONO
Jakarta, CNN Indonesia --

Eks Ketua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh merupakan kombinasi perubahan iklim akibat aktivitas manusia (antropogenik) dan dinamika alamiah sistem Bumi.

Menurutnya, kombinasi keduanya membuat bencana hidrometeorologi semakin sering, semakin ekstrem, semakin panjang durasi kejadiannya, dan semakin rumit diprediksi.

Dwikorita mengatakan rekonstruksi suhu Bumi selama 400 juta tahun terakhir menunjukkan bahwa fluktuasi atau perubahan iklim memang pernah terjadi secara alami akibat aktivitas vulkanik, variasi orbit Bumi, hingga perubahan sirkulasi samudra. Namun, pemanasan yang terjadi dalam 150 tahun terakhir terjadi berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan perubahan alamiah manapun dalam kurun waktu geologis.

"Laju kenaikan suhu saat ini tidak dapat dijelaskan semata oleh mekanisme alamiah. Kontribusi terbesar datang dari aktivitas manusia, seperti emisi gas rumah kaca, deforestasi, dan industrialisasi," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (7/12).

Dwikorita mengatakan kenaikan suhu tersebut memperbesar kapasitas udara menyimpan uap air. Ketika dilepaskan dalam bentuk hujan, energinya jauh lebih besar dan lebih eksplosif. Di situ lah, sambungnya, faktor antropogenik bertemu faktor alamiah.

Ia menjelaskan Indonesia sebagai negeri cincin gunung api dinamika tektonik aktif secara geologis memang rawan longsor dan banjir bandang karena topografinya curam dan struktur batuannya labil. Namun, pemanasan global dan kerusakan tutupan lahan membuat isiko dan dampaknya meningkat secara drastis dan masif.

Menurutnya, perubahan iklim memperkuat terjadinya hujan ekstrem, degradasi lingkungan melemahkan daya serap kawasan hulu, dan daya dukung lingkungan. Sedangkan kondisi geomorfologi alami Sumatera yang sarat lereng curam dan sesar aktif mengakibatkan rentan terjadi longsor yang membendung atau menyumbat aliran sungai di daerah hulu.

"Ini lah yang saya sebut sebagai coupled hazards di mana faktor alamiah dan antropogenik tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguatkan sehingga bencana menjadi lebih destruktif," jelasnya.

Dwikorita menekankan bahwa banjir Sumatra bukan sekadar insiden lokal, melainkan sinyal bahwa sistem lingkungan Indonesia berada dalam tekanan yang semakin besar dan kritis. Menurutnya, kondisi ini merupakan "bom waktu" yang harus segera dijinakkan.

Karena itu, sistem mitigasi dan adaptasi yang berbasis ekologi dan didukung kajian akademis berbasis sain dan teknologi yang tepat dan kuat perlu dibangun agar bencana yang tak bisa dihindari itu tidak berubah menjadi tragedi besar.

"Jadi mitigasi bencana hidrometeorologi mutlak harus berbasis pada perlindungan dan pemulihan kerusakan lingkungan," katanya.

(fby/mik)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK