Koalisi Sipil: Usul Pilkada via DPRD di Tengah Bencana Nirempati
Sejumlah organisasi sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Kodifikasi UU Pemilu mengkritik usul pemilihan kepala daerah (pilkada) via DPRD di tengah penanganan dampak banjir dan longsor Sumatra.
Menurut koalisi, berbicara perbaikan tata kelola pemilu sebetulnya bukan hal tabu. Namun, semua pihak mestinya melihat kebutuhan rakyat yang menjadi prioritas. Koalisi menilai usulan pilkada via DPRD saat ini hanya mencerminkan nafsu kekuasaan dan tak mencerminkan empati kepada masyarakat.
"Oleh karena itu kami menganggap apa yang diusulkan, dikaitkan dengan kondisi penanganan bencana yang masih menjadi persoalan, adalah tindakan nirempati," kata peneliti Perludem Haikal, selaku perwakilan koalisi dalam keterangannya, Selasa (23/12).
Koalisi sekaligus menyatakan sikap tegas menolak usulan tersebut. Mereka menilai Pilkada tak langsung adalah inkonstitusional karena mereduksi kedaulatan rakyat dan membuka ruang transaksi politik yang lebih gelap di balik pintu parlemen atau DPRD.
Menurut koalisi, masalah Pilkada selama ini bukan pada mekanisme pemilihan, melainkan pada tata kelola. Jika dicermati, sambungnya, ongkos politik yang mahal bukan disebabkan karena pemilihan secara langsung, tapi karena biaya kampanye yang tidak terkendali.
Mengutip riset Muhtadi (2018), sekitar 25-33 persen pemilih pada Pemilu 2014 terpapar politik uang. Angka ini sangat mungkin meningkat pada Pemilu 2019, Pemilu 2024, hingga Pilkada 2024.
"Fakta ini memperlihatkan bahwa politik uang berlangsung masif di seluruh arena elektoral di Indonesia, termasuk Pilkada," kata koalisi.
Tingginya ongkos politik juga disebabkan oleh mahar politik selama proses kandidasi atau pencalonan, mulai dari konsolidasi dukungan partai, biaya survei elektabilitas, hingga belanja komunikasi dan jaringan politik.
"Dengan demikian, tingginya ongkos Pilkada bukanlah disebabkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung, melainkan oleh proses pencalonan yang transaksional dan tidak akuntabel," katanya.
Mengatasi sejumlah persoalan tersebut, mengubah sistem pemilu menjadi tak langsung, bukan jawaban. Koalisi memandang cara pandang demikian berpotensi mengubah sistem pemilu secara keseluruhan menjadi tak langsung.
"Bila logika ini dipakai secara konsisten, maka pemilu-pemilu lain pun berpotensi dihapus hanya karena tingginya praktik politik uang," katanya.
"Berdasarkan uraian di atas, Koalisi untuk Kodifikasi UU Pemilu dengan tegas menolak wacana pengembalian Pilkada kepada DPRD," imbuh koalisi.
Lebih dari 10 organisasi sipil tergabung dalam Koalisi untuk Kodifikasi UU Pemilu. Beberapa di antaranya seperti Perludem, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), hingga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet).
Wacana pilkada lewat DPRD kembali bergulir setelah Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) akhir pekan lalu. Salah satu rekomendasi rapimnas itu adalah mendorong pilkada tak langsung atau via DPRD dan koalisi permanen.
Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia mengatakan rekomendasi itu disampaikan sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, dengan tetap menitikberatkan pada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses pelaksanaannya.
"Partai Golkar mengusulkan Pemilihan Kepala Daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," kata Bahlil di Rapimnas Golkar itu.
Selain Golkar, wacana itu didukung Gerindra, PAN, dan PKB. Sedangkan, PDIP dan Demokrat menolak tegas, PKS mengusulkan variasi, dan NasDem belum angkat suara.
Sementara itu, DPR akan memulai pembahasan RUU Pemilu, yang di dalamnya mencakup UU Pilkada, pada 2026 mendatang. Nantinya, delapan fraksi DPR akan mengkaji usulan perubahan sistem pilkada, bersama sejumlah isu lain, termasuk soal pemisahan pemilu nasional dan daerah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
(thr/wis)