Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun 2025 diwarnai serangkaian protes atau demonstrasi berskala besar. Puncaknya terjadi pada Agustus, tak lama setelah perayaan kemerdekaan Indonesia, ketika gelombang demonstrasi pecah di berbagai daerah hingga menelan korban jiwa.
Tercatat sejumlah demonstrasi besar sepanjang 2025, mulai dari aksi para pengemudi ojol menuntut THR, 17 Februari 2025, diikuti aksi bertajuk Indonesia Gelap beberapa hari kemudian.
Demo May Day dan demonstrasi di Pati juga terjadi pada tahun ini, hingga puncak demo besar yang pecah di pengujung Agustus, yang berujung ricuh menimbulkan korban jiwa, fasilitas umum rusak, dan ribuan orang ditangkap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demo Agustus 2025 menjadi salah satu titik kulminasi kemarahan publik bahkan saat usia Pemerintahan Prabowo-Gibran belum genap satu tahun.
Demonstrasi dipicu oleh akumulasi kekecewaan publik. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan selama beberapa hari.
Aksi dimulai pada 25 Agustus, di depan gedung DPR, Jakarta. Demo menyuarakan sejumlah tuntutan, seperti menolak tunjangan fantastis anggota DPR. Massa mahasiswa juga mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset.
Di beberapa daerah seperti Makassar, demo mahasiswa juga menolak kebijakan yang tidak pro rakyat, termasuk tunjangan anggota DPR.
Demo di Jakarta berakhir ricuh. Aparat berulang kali memukul mundur massa dengan gas air mata dan water cannon. Massa tersebar di sejumlah lokasi. Bentrok terjadi di beberapa titik.
Polisi menangkap 351 orang imbas demo ricuh di Jakarta itu,196 di antaranya adalah anak-anak. Polisi saat itu mengklaim massa melakukan perusakan fasilitas umum, kendaraan hingga melawan petugas.
Keesokan harinya pada 26 Agustus, demo terjadi di berbagai daerah seperti di Medan. Massa lagi-lagi menolak soal tunjangan mewah yang diterima anggota DPR. Demo ricuh, puluhan orang kembali ditangkap.
Di Jakarta, demo berlanjut pada 28 Agustus. Massa buruh saat itu ikut turun dengan tuntutan seperti penghapusan sistem pekerja alih daya, kenaikan upah minimum 2026 hingga 10,5 persen, penghentian PHK massal, reformasi pajak, hingga pengesahan RUU Ketenagakerjaan sesuai putusan MK.
Demo dari elemen mahasiswa juga terjadi di depan Gedung DPR saat itu. Ricuh kembali terjadi di berbagai titik. Kericuhan memakan korban jiwa, seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan terlindas mobil rantis brimob.
Peristiwa itu memicu kemarahan publik, di hari yang sama, malam hari, Markas Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat digeruduk massa ojek online. Kericuhan saling lempar terjadi hingga pagi hari.
7 Anggota Brimob diproses hukum akibat peristiwa itu. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta maaf atas peristiwa itu. Presiden Prabowo Subianto untuk pertama kali muncul melalui video merespons demonstrasi dan kematian Affan.
"Dalam situasi seperti ini, saya mengimbau masyarakat untuk tenang, untuk percaya ke pemerintah yang saya pimpin. Pemerintah yang saya pimpin akan berbuat yang terbaik untuk rakyat. Semua keluhan-keluhan masyarakat akan kami catat dan akan kami tindak lanjuti,' kata Prabowo Agustus lalu.
Kemarahan Publik
Kematian Affan juga memicu kemarahan publik di berbagai daerah. Aksi-aksi terus terjadi hingga berakhir ricuh dan pembakaran dan penyerangan kantor polisi hingga fasilitas publik.
Di Jakarta, aksi berhari-hari terus terjadi di depan Mako Brimob hingga akhir Agustus.
Aksi juga melebar hingga penjarahan ke rumah sejumlah Anggota DPR seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, hingga Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani. Para pejabat itu menjadi korban penjarahan karena pernyataan dan perbuatan yang dinilai tidak berempati ke masyarakat.
Seiring aksi demonstrasi itu, para aktivis dan influencer menyuarakan tuntutan rakyat 17+8 atau 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang.
Tuntutan rakyat '17+8' itu kompak digaungkan lewat media sosial. Lalu, tuntutan itu juga telah diserahkan ke DPR.
Beberapa dari tuntutan itu adalah, tarik TNI dari pengamanan sipil dan pastikan tak ada kriminalisasi demonstran, bentuk tim investigasi kematian Affan Kurniawan, dan semua demonstran yang menjadi korban aksi 25-31 Agustus. Bekukan kenaikan tunjangan, gaji, dan fasilitas baru anggota DPR.
Lalu sahkan RUU Perampasan Aset, hingga reformasi kepolisian agar profesional dan humanis.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Pada September, usai gelombang aksi di berbagai daerah, Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo mengatakan total 5.444 orang ditangkap imbas demonstrasi di berbagai daerah.
Dari jumlah itu, 4.800-an massa kemudian dipulangkan. Lalu ada lebih dari 500 orang yang menjalani proses hukum lebih lanjut. Di Jakarta, puluhan orang telah menjalani proses persidangan terkait kericuhan demo itu.
Ada juga yang ditangkap dan menjalani proses hukum dengan tuduhan menghasut demo rusuh.
Beberapa di antaranya adalah Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, pengelola akun @blokpolitikpelajar Muzaffar Salim, pengelola akun @gejayanmemanggil Syahdan Husein, dan pengelola akun @aliansimahasiswamenggugat Khariq Anhar.
Sementara itu, Komnas HAM melaporkan sebanyak 10 orang menjadi korban tewas selama rangkaian demonstrasi.
Beberapa korban tewas diduga karena mendapat kekerasan dan penyiksaan oleh aparat.
Data korban tewas tersebut serupa dengan yang dimiliki Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lewat data yang dikumpulkan dari LBH-LBH di daerah, selain korban tewas, juga ada 3.337 massa aksi yang ditangkap di 20 kota, serta 1.042 orang dilarikan ke rumah sakit diduga karena mengalami kekerasan aparat.
Demo ricuh juga berdampak pada fasilitas umum di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut total ada 22 halte TransJakarta dirusak oleh kelompok tak dikenal di tengah rentetan aksi demo.
Selain halte TransJakarta, sejumlah stasiun MRT dan CCTV di wilayah Jakarta juga mengalami kerusakan imbas demo. Kerugian ditaksir mencapai miliaran rupiah.
"MRT Jakarta kerusakan infrastruktur untuk MRT sebesar Rp3,3 miliar, TransJakarta kurang lebih Rp41,6 miliar, kemudian kerusakan CCTV infrastruktur lainnya Rp5,5 miliar, sehingga total kerusakan ada Rp55 miliar," kata Pramono saat itu.
[Gambas:Infografis CNN]
Respons Pemerintah dan DPR
Presiden Prabowo Subianto kembali merespons soal tuntutan massa dalam gelombang demonstrasi.
Prabowo menyatakan sebagian tuntutan 17+8 yang digemakan warga masyarakat setelah demonstrasi akhir Agustus lalu masuk akal, dan sebagian lain perlu diperundingkan.
"Ya saya kira kita pelajari sebagian masuk akal, sebagian kita bisa berunding, kita bisa berdebat. Saya katakan tuntutan saya kira banyak yang masuk akal, banyak yang menurut saya normatif dan bisa kita bicarakan dengan baik," kata Prabowo, September 2025.
Terkait tuntutan menarik militer dari pengamanan sipil, Prabowo hanya menjelaskan tugas TNI yang satu di antaranya untuk menjaga masyarakat dari ancaman.
"Jadi, terorisme itu ancaman, membakar-bakar ancaman, membuat kerusuhan itu ancaman kepada rakyat, masa tarik TNI dari pengamanan sipil, itu menurut saya debatable, tapi saya akan melaksanakan tugas yang diberikan oleh UUD kepada saya," ujarnya.
Sementara itu, pada November lalu Prabowo melantik Ketua dan Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri. Diketuai oleh Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Pembentukan Komisi Reformasi Polri itu tak terlepas dari kerusuhan besar di akhir Agustus lalu yang menewaskan Affan.
Setelahnya, desakan untuk mereformasi tubuh internal Polri ke pemerintah pun menguat hingga pemerintah membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Selain Pemerintah, DPR juga merespons tuntutan masyarakat. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan DPR sepakat menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota terhitung 31 Agustus 2025, dan melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri terhitung 1 September 2025.
Dasco juga menyampaikan DPR akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR.
Sejumlah komponen yang dievaluasi itu meliputi biaya langganan listrik dan jasa telepon. Selain itu ada juga biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi.
Lalu pada November, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menjatuhkan sanksi kepada lima anggota DPR nonaktif buntut gelombang demo 25-31 Agustus.
Dalam sidang putusan MKD pada Rabu (5/11), tiga dari lima anggota DPR nonaktif disanksi nonaktif dalam beberapa bulan.
Ahmad Sahroni dari NasDem yang disanksi nonaktif enam bulan, Nafa Urbach dari NasDem tiga bulan, dan Eko Patrio dari PAN yang disanksi empat bulan.
Sahroni dijatuhi sanksi karena pernyataannya saat merespons usul pembubaran DPR. MKD menilai respons Sahroni kurang bijak.
Lalu, Nafa dijatuhi sanksi karena pernyataannya terkait tunjangan rumah dinas DPR, sedangkan Eko disanksi karena responsnya atas kritik publik ihwal kenaikan gaji DPR dengan memparodikannya di media sosial.
Lain halnya dengan Uya Kuya dan Adies Kadir yang dinyatakan tak melanggar etik. MKD pun memerintahkan keanggotaan mereka diaktifkan kembali.