Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menyurati Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus dugaan korupsi dan suap izin pertambangan nikel Rp2,7 triliun yang diduga menjerat mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman.
Surat tersebut menindaklanjuti langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sejak Desember 2024.
"Kami sangat menyesalkan karena telah dihentikannya penanganan kasus dugaan korupsi tersebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, padahal telah menetapkan tersangka," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulis, Minggu (28/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami berharap agar Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dapat memberikan atensi dan berkenan untuk menangani kasus dugaan korupsi tersebut secara tuntas," imbuhnya.
Laporan ke Kejaksaan Agung termuat dengan nomor perihal: 1220/MAKI-JAMPIDSUS/XII/2025, perihal laporan dugaan korupsi bidang pertambangan.
Surat laporan tersebut ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung.
Berdasarkan temuan MAKI, Boyamin menuturkan perkara dugaan korupsi penerbitan izin pertambangan pada tahap eksplorasi, eksploitasi, hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Konawe Utara.
Izin usaha pertambangan tersebut diberikan kepada 17 perusahaan pertambangan nikel tahun 2017 oleh Bupati Konawe Utara saat itu, Aswad Sulaiman.
Dugaan korupsi diduga dilakukan melalui percepatan pemberian izin. Dalam satu hari, Aswad disebut berhasil menerbitkan izin untuk 17 perusahaan tersebut.
"Atas upaya percepatan pemberian izin tersebut Bupati Aswad Sulaiman diduga mendapatkan suap/gratifikasi senilai Rp13 miliar. Bahwa atas pemberian izin tersebut negara mengalami kerugian mencapai Rp2,7 triliun," kata Boyamin.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menuturkan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di kasus nikel Konawe Utara untuk memberikan kepastian hukum lantaran tak ditemukan bukti yang cukup dan kasus dugaan suap sudah kedaluwarsa.
"Penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2-Pasal 3 nya yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," kata Budi saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Minggu (28/12).
"Kemudian dengan tempus perkara yang sudah 2009 ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait Pasal suapnya," imbuhnya.
Budi menjelaskan "pemberian SP3 ini untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait karena setiap proses hukum harus sesuai dengan norma-norma hukum."
Kata dia, keputusan tersebut sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang mengatur kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Namun, Budi tidak memberi penjelasan mengenai alasan mengapa lembaganya tidak membawa kasus dugaan suap tersebut ke pengadilan di tahun-tahun sebelumnya sebelum masuk masa kedaluwarsa.
KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemberian izin pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pada Oktober 2017 lalu.
Aswad diduga merugikan keuangan negara hingga Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan nikel atas pemberian izin kepada sejumlah perusahaan yang disinyalir melawan hukum.
"Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat perizinan yang melawan hukum," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 3 Oktober 2017.
Aswad selaku pejabat bupati Konawe Utara 2007-2009 dan 2011-2016 menerbitkan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha produksi operasi produksi kepada sejumlah perusahaan mulai 2007 sampai 2014.
Selain diduga merugikan negara hingga Rp2,7 triliun, Aswad juga diduga menerima suap sebesar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan terkait pertambangan nikel selama 2007-2009.
(ryn/bac)