Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Gelaran Kompetisi Liga Italia akan ditabuh minggu ini. Sorotan orang akan liga yang pernah didapuk sebagai liga terbaik dunia ini mulai sirna. Secara bertahap Serie-A mulai ditinggalkan.
Di Eropa, peringkat koefisien UEFA negara ini pun sudah terpelanting ke posisi empat, tertinggal jauh dari Liga Inggris, Liga Jerman, apalagi Liga Spanyol.
Bahkan, Liga Portugal --liga yang hanya menyumbang nama Porto, Benfica dan Sporting Lisbon sebagai klub yang akrab di telinga-- pun sudah mulai menyalip.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Posisi Italia kini terancam didepak dari empat besar.
Penduduk Italia pun menganggap sepakbola sudah jadi bagian tak menarik. Berkurangnya jumlah penonton yang hadir di stadion dari tahun ke tahun menjadi penegas hal itu.
Satu hal yang membuat orang enggan menyaksikan Liga italia adalah sifat anarkis dan rasialisme yang kerap dihadirkan oleh para ultras di dalam stadion-stadion.
Kasus terakhir menimpa pesepakbola dari klub AC Milan, Nigel De Jong. Musim lalu, tercatat hampir seluruh klub-klub besar yang dijatuhi denda akibat
chant-chant bernada rasialisme dan menyerang. Baik AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, maupun Lazio sempat dihukum oleh FIGC.
Badan otoritas tertinggi sepakbola Italia itu juga sempat memberlakukan aturan akan menutup stadion jika yel-yel diskriminatif dan rasisme tetap terjadi.
Namun, bukannya jera, kelompok ultras ini malah bersatu. Mereka melupakan perbedaan antarkelompok untuk melawan FIGC dengan cara akan menyanyikan yel-yel rasis. Tujuannya agar stadion di seluruh pelosok negara ditutup.
Marco Di Domizio seorang pengajar di University of Teramo dalam jurnal ilmiahnya berjudul
Hooliganism and Demand for Football in Italy: Attendance and Counter-Violence Policy Evaluation memaparkan penyebab tren penurunan jumlah penonton di stadion.
Menurutnyaa, 80% disebabkan dari perilaku yang dilakukan kelompok Ultras.
Selama musim 1998-99, misalnya. Tercatat 900 orang terluka akibat kerusuhan sepak bola, 75 orang ditangkap, dan sekitar 2.000 ultras teridentifikasi dan dilarang hadir di stadion.
Tingginya angka kekerasan ini membuat Kementerian Dalam Negeri, Kemeterian Kebudayaan, dan Kepolisian membentuk badan gabungan bernama Osservatorio Nazionale delle Manifestazioni Sportive.
Tugas lembaga ini adalah untuk menangani kekerasan suporter sepakbola. Namun, organisasi ini nyatanya gagal total.
Titik terendah jumlah penikmat serie A terjadi pada tahun 2006/2007 saat rataan penonton di stadion hanya 18,756 orang/pertandingan -- sebuah angka terburuk sepanjang 60 tahun terakhir.
"Stadion kini jadi tempat yang mengerikan. Jika Anda seorang penggemar sepakbola, apakah Anda ingin membawa keluarga Anda ke stadion, dan keluarga Anda mungkin akan mendengar nyanyian rasis dan beresiko terjebak dalam kerusuhan?" tanya Paolo Bandini, seorang jurnalis asal Italia dalam kolomnya di surat kabar The Guardian.
Ya begitulah ultras. Di negara asalnya, kini mereka dicap sebagai penjahat, perusak moral, dan penghancur tatanan sepakbola Italia. Sekelompok orang yang kadang hanya jadi pembawa kabar jelek belaka.