Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
“When you walk through a stormHold your head up high…And don’t be afraid of the dark”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pertandingan terakhir Liga Inggris pada 19 April 1954, Liverpool berhasil mengalahkan Middlesbrough dengan skor telak 4-1.
Hasil ini membuat Middlesbrough harus turun kasta dari Divisi Utama (Liga Primer baru terbentuk pada 1992-red). Namun, hasil itu tidak mengubah fakta bahwa Liverpool akan terdegradasi ke Divisi Dua Liga Inggris
Kondisi manajemen Liverpool kala itu tidak terlalu baik. Pelatih Si Merah, Dan Welsh, tidak memiliki kebebasan seperti yang dimiliki pelatih Liverpool sekarang, Brendan Rodgers.
Welsh tidak dapat memilih sendiri pemain-pemain yang akan bertanding, dan justru petinggi-petinggi Liverpool-lah yang menentukan susunan pemain di setiap pertandingan, layaknya semua klub sepakbola Inggris kala itu,
Hanya ada satu pengecualian, yaitu Manchester United yang memberikan kebebasan penuh untuk manajer mereka, Matt Busby.
Hasil buruk yang dialami Liverpool akhirnya membuat Welsh dipecat. Akan tetapi, Phill Taylor yang menggantikan Welsh juga belum mampu mengangkat Liverpool kembali ke divisi utama.
“… At the end of the stormIs a golden sky…And the sweet, silver song of a lark”Akhirnya, pada 1960, seorang pria Skotlandia berumur 47 tahun bernama William Shankly tiba di Anfield. Ia mau melatih The Reds setelah para petinggi setuju untuk tidak lagi mengendalikan susunan pemain yang akan bertanding.
Hanya butuh tiga tahun bagi Shankly untuk membawa Liverpool kembali ke Liga Primer. Stadion Anfield, yang menjadi saksi masa-masa kegelapan Liverpool di tahun 50-an, kini kembali disesaki para pendukung.
Di bawah asuhan Shankly, Liverpool kembali ke jalur juara.
Si Merah yang telah menjadi klub semenjana dari divisi dua yang baru saja promosi, berhasil meraih tiga gelar divisi utama ( yaitu pada 1963/1964, 1965/1966, 1972/1973), Piala FA (1964/1965, 1973/1974), dan Piala Liga (1972/1973).
Pada masa-masa itu, para pendukung harus datang lebih cepat untuk mengantre panjang untuk masuk ke stadion dan menonton klub kesayangan mereka.
Oleh karena itu, untuk menghibur para penonton yang menunggu di stadion, biasanya pihak stadion akan memutar lagu-lagu yang populer saat itu.
Publik Anfield serempak menyanyi bersama-sama ketika lagu sebuah lagu yang dibawakan Gerry Mardsen yang kala itu tenar menggema di Anfield: You’ll Never Walk Alone
Hingga kini lagu You’ll Never Walk Alone selalu diputar di Anfield. Lagu ini senantiasa menyertai sang tetangga EVeron, baik di saat mereka menang, kalah, pertandingan kandang, hingga pertandingan tandang baik di dalam maupun di luar Inggris.
Bagi sebagian orang, You’ll Never Walk Alone mungkin tidak lebih dari sekedar lagu, akan tetapi bagi Liverpool dan pendukungnya, lagu ini akan selalu memiliki tempat khusus di hati mereka.
You’ll Never Walk Alone selalu menyertai Liverpool disaat suka maupun duka, 2005 maupun 1989. Saat kejayaab Istanbul maupun duka di Hillsborough.
Pada 15 April 1989, sembilan puluh enam suporter Liverpool meninggal dalam suatu tragedi gencetan penonton di tribun stadion.
Kejadian yang dikenal sebagai tragedi Hillsborough ini menyatukan kota Liverpool.
Pada pertandingan Piala FA antara Liverpool dan rival sekota, Everton, terdapat 90 ribu warga Liverpool yang menyanyikan You’ll Never Walk Alone. Lagu ini juga berkumandang di Liverpool ketika warga berkumpul untuk mengantar 96 saudara mereka yang telah pergi.
Selain menjadi penghibur di kala duka, You’ll Never Walk Alone juga membahana ketika Liverpool mencapai puncak kasta tertinggi benua Eropa, Liga Champions.
Pada 25 Mei 2005, Liverpool yang kala itu telah empat kali menjuarai Liga Champions, bertemu dengan wakil Italia, AC Milan.
Takluk tiga gol tanpa balas di babak pertama setelah Paolo Maldini, Andriy Shevchenko, dan Hernan Crespo menjebol gawang Liverpool yang dikawal Jerzy Dudek, piala Liga Champions kala itu tampak akan pergi ke kota Milan.
Namun, ketika para pemain memasuki lapangan setelah istirahat turun minum, mereka disambut campuran teriakan frustasi, doa, harapan, dan pengharapan para Liverpudlians yang menggema di seluruh stadion.
“Walk on through the windWalk on through the rainThough your dream be tossed and blown”Teriakan, nyanyian, seruan, apapun Anda mau menyebutnya semakin membahana ketika kapten Steven Gerrard memperkecil ketinggalan Liverpool 3-1.
“Walk on…Walk on…With hope in your heart…”Selang beberapa saat setelah gol Gerrad, Liverpool kembali menciptakan gol setelah tembakan jarak jauh Vladimir Smicer gagal diantisipasi Dida, 3-2.
“… and you’ll never walk alone!”Tiga menit setelah Smicer menaklukan DIda, kini giliran Xabi Alonso menciptakan gol. Walaupun tendangan penaltinya berhasil diblok oleh Dida, Alonso berhasil menyambar bola muntah untuk membuata kedudukan imbang 3-3.
Hasil imbang 3-3 akhirnya berlanjut ke babak adu penalti, dan Liverpool berhasil mendapatkan gelar Liga Champions mereka yang kelima.
Layaknya sebuah dongeng.
Maka tidak heran jika bagi kebanyakan pendukung Liverpool, You'll Never Walk Alone seolah menjadi nyanyian doa, harapan, ekspresi kegembiraan, dan terkadang luapan kesedihan.