Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Vietnam untuk undur diri sebagai tuan rumah Asian Games 2019 karena alasan ketidaksiapan menanggung beban finansial mencerminkan tentang beban berat yang harus ditanggung penyelenggara ajang olahraga.
Walau tuan rumah diprediksi mendapatkan keuntungan pada masa depan dari pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol atau perbaikan bandara, biaya yang dikeluarkan untuk membangun tempat pertandingan berskala internasional sering kali tak sedikit.
Misalnya saja Asian Games empat tahun lalu yang berlangsung di Guangzhou. Total dana yang dikeluarkan baik pemerintah Tiongkok maupun swasta mencapai US$ 40 miliar. Sebagian dari dana ini juga masih belum terlunasi hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi berbicara mengenai tempat ajang olahraga yang nantinya tak terpakai secara maksimal.
Belasan hingga puluhan ribu orang memang bisa didatangkan saat perayaan pembukaan, atau pun ketika menyaksikan berbagai pertandingan. Namun, stadion acap kali kosong tak terisi pada tahun-tahun berikutnya karena ajang olahraga skala besar memang terhitung jarang.
Karena itulah pada Asian Games ke-XVII yang akan diadakan di Incheon, Korea Selatan, pihak tuan rumah telah memangkas biaya penyelenggaraan secara drastis.
Bahkan, total biaya yang dikeluarkan oleh Korsel diperkirakan kurang dari sepersepuluh dari biaya empat tahun lalu.
"Asian Games kali ini akan menjadi ajang yang lebih ekonomis dan efisien dibandingkan dengan sebelumnya," ujar Kepala panitia Kim Yong-Soo kepada para wartawan.
"Saya berharap ajang ini akan menjadi model yang baik bagi penyelenggara-penyelenggara selanjutnya."
Total biaya yang dikeluarkan oleh Korsel diperkirakan mencapai US$ 1,62 milliar, dengan pemerintah pusat menanggung 19 persen dana, sementara pemerintah kota Incheon 78,9 persen lagi.
Dari total biaya tersebut, US$ 1,39 miliar akan dianggarkan untuk membangun stadion dan perbaikan infrastruktur, sementara US$ 11 juta untuk biaya pemeliharaan gedung dan tempat latihan.
Kurang lebih US$ 103 juta juga digunakan untuk proyek jalan dan transportasi.
Korsel sendiri mampu melakukan penghematan biaya dengan cara memotong jumlah cabang olahraga dari 42 (yang dipertandingkan empat tahun lalu) menjadi hanya 36 cabang.
Dengan demikian, jumlah stadion berkurang dari 53 ke 49. Selain itu, Korsel pun bisa mengurangi biaya transportasi atlet.
Selain memangkas biaya penyelenggaraan, Korsel juga melakukan terobosan berupa pengurangan kapasitas stadion utama, Incheon Asiad Main Stadium, seusai ajang berlangung.
Ketika perayaan pembukaan dan penutupan Asian Games, maka kapasitas maksimum stadion akan berada pada angka 61 ribu tempat duduk. Namun, seusai ajang tersebut berlangsung, tribun timur akan dicopot dan lalu dibangun taman publik di atasnya.
Kapasitas stadion pun akan berkurang menjadi tiga puluh ribu tempat duduk.
Terobosan pengurangan kapasitas stadion juga dilakukan oleh Inggris ketika menjadi tuan rumah Olimpiade 2012, dan Tiongkok pada Olimpiade 2008.
Ilusi Insentif EkonomiInsentif ekonomi sering kali dijadikan alasan untuk menyelenggarakan suatu perhelatan akbar.
Misalnya yang terjadi di Chiang Mai, Thailand. Pada 1997, kota ini dipilih oleh pemerintah Thailand untuk menjadi tuan rumah kompetisi olah raga se-Asia Tenggara, atau SEA Games.
Kota yang dulunya lebih terkenal karena keindahan alam dan tidak memiliki berbagai fasilitas modern tersebut lalu dilimpahi beberapa proyek: pembangunan stadion utama, kompleks olah raga, jalan bebas hambatan, dan juga jalan lingkar kota beserta pembangunan infrastruktur lain.
Pembangunan-pembangunan ini pada akhirnya mendorong Chiang Mai bertansformasi jadi kota industri nan modern.
Tapi tak semua 'bola salju' ekonomi berefek positif atau akan jadi sebesar yang dibayangkan.
Misalnya saja Piala Dunia Afrika Selatan yang berlangsung pada 2010 lalu. Pada gelaran akbar sepakbola tersebut, pemerintah Afrika Selatan mengeluarkan kurang lebih US$ 3,9 milliar untuk konstruksi stadion dan juga infrastruktur lain.
Mereka berharap adanya perubahan citra negara dan juga peningkatan wisatawan ke Afrika Selatan.
Namun, ketika Piala Dunia berlangsung, hanya ada kurang lebih 200 ribu turis yang berkunjung, dan hanya total 300 ribu turis sepanjang tahun 2010.
Kisah-kisah tentang penyelenggaraan festival olah raga berskala besar tidak menguntungkan secara finansial, dan menyisakan pekerjaan rumah yang banyak, juga sering kali menjadi bahan penelitian.
Pada 2008, John Haberman menulis bagaimana Olimpiade 1976 Montreal menyisakan utang yang baru lunas terbayar 30 tahun kemudian.
Demikian pula dengan Robert Baade dan Victor Matheson yang pernah membuat geger dunia sepakbola di tahun 1994.
Melalui penelitian terhadap Piala Dunia di Amerika Serikat, keduanya mengungkapkan bahwa tidak ada keuntungan ekonomi secara mendasar bagi negara tuan rumah.
Karena itulah berbagai terobosan pun dilahirkan untuk mengurangi biaya penyelenggaraan. Salah satunya oleh Korea Selatan kali ini.
Jika berlangsung sukses, maka standar penyelenggaraan ajang olahraga yang lebih ekonomis nampaknya bisa segera terwujud.