Paris, CNN Indonesia -- Badan Anti-Korupsi Tenis (TIU) pada Selasa (25/11) menjatuhkan hukuman larangan beraktifitas seumur hidup di dunia tenis kepada Morgan Lamri.
Pria berusia 22 tahun itu dituduh melakukan aksi korupsi dan perjudian. Walau dilarang seumur hidup, tapi Lamri tidak dikenakan denda uang.
Lamri merupakan seorang pemain tenis amatir dan kerap bertugas sebagai hakim garis di turnamen Prancis Terbuka dan Monte Carlo Masters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam aksinya, Lamri mempengaruhi para pemain dan mendorong pengaturan hasil pertandingan. Ia dituduh menjadi salah satu aktor dalam ajang perjudian skor tenis.
Dalam wawancara yang dikutip dari
The Associated Press, ia menyatakan kalau hanya melakukan taruhan pada pertandingan yang tidak menjadi tugasnya. Ia pun membantah terlibat dalam semua hal yang dituduhkan kepadanya.
"Seperti orang Perancis lain, saya taruhan untuk bersenang-senang, antara € 1,50 dan € 125. Itu bukan jumlah yang besar. Saya bertaruh ketika pemain besar main, seperti (Tomas) Berdych misalnya," kata Lamri.
Lamri pertama kali dituduh melakukan pelanggaran saat turnamen Saint-Raphael pada Februari 2013. Ia dibebastugaskan sejak saat itu.
Para penyidik TIU curiga karena Lamri melakukan beberapa pertemuan dengan para pemain saat itu.
"Mereka hanya teman, tidak lebih. Kami sedang makan siang. Mereka mungkin berpikir aku mengatur pertandingan," kilah Lamri.
Lamri menjadi pelaku dunia tenis pertama yang dihukum TIU karena diduga melanggar empat pasal dari undang-undang anti-korupsi TIU pada tahun 2012 dan 2013.
Selama penyelidikan, para penyidik mengatakan kalau Lamri idak bekerja sama dengan baik.
Lamri menolak untuk menyerahkan salinan rekening bank kepada penyidik untuk mengetahui kemungkinan transfer uang yang mencurigakan.
Peringatan InterpolSebelum pengungkapan kasus Lamri, dunia tenis telah lama diperingatkan untuk mewaspadai mafia olahraga.
Chris Eaton, mantan perwira Interpol yang merupakan direktur Pusat Internasional Keamanan Olahraga Internasional (ICSS) telah lama menduga praktik mafia olahraga dalam turnamen Challenger Tour. Kerentangan itu, kata Eaton, terjadi karena turnamen yang berada satu level di bawah turnamen ATP Tour memberi hadiah dan upah yang lebih sedikit.
Eaton berpendapat kalau tenis adalah olahraga ketiga yang paling rentan mafia setelah sepak bola dan kriket.
"Kita tahu turnamen Challengers adalah pertandingan yang sangat menentukan. Sekali anda berhasil di sana, anda akan terus bermain di turnamen besar. Banyak sekali pertaruhan karir di sana," kata Eaton seperti yang dikutip dari
The Guardian.
Eaton mengatakan ia telah melihat bukti kuat dari beberapa mafia olahraga yang melakukan aksi korupsi dan pengaturan hasil pertandingan. Eaton pun menghimbau badan antikorupsi dalam olahraga tidak hanya bertugas untuk memantau dan menghukum. Badan itu perlu juga menyelidiki, membenahi dan mengaudit para atlet dan wasit.
"Hal tersebut perlu dilakukan oleh sesorang yang profesional. Sayangnya dunia olahraga tidak memiliki orang seperti itu," kata Eaton.
Secara terpisah Bos ATP, Chris Kermode, menegaskan akan berkomitmen penuh untuk membebaskan dunia tenis dari aksi mafia olahraga.