Hingis, Sebuah Pelajaran tentang Kejayaan dan Keterpurukan

Putra Permata Tegar Idaman | CNN Indonesia
Selasa, 03 Feb 2015 17:49 WIB
Pernah merebut gelar juara grand slam pada usia 17 tahun, petenis Swiss Martina Hingis sempat mengalami keterpurukan dan terlempar dari panggung tenis.
Petenis Swiss, Martina Hingis, menjadi pemenang grand slam termuda ketika ia memenangkan Australia Terbuka pada 1997 silam. (Getty Images/Clive Brunskill)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Being black only helps them. Many times they get sponsors because they are black. And they have had a lot of advantages because they can always say, 'It's racism'. They can always come back and say, 'Because we are this colour, things happen'."

(Mereka terbantu karena berkulit hitam. Sering kali mereka mendapatkan sponsor karena mereka berkulit hitam. Mereka juga mendapatkan berbagai keuntungan karena mereka selalu bisa berkata, 'ini rasisme', mereka selalu bisa berkata, 'Karena kami memiliki kulit berwarna, hal-hal buruk terjadi pada kami'."

Kalimat di atas adalah salah satu kalimat fenomenal yang pernah ada di dunia tenis profesional. Kalimat itu terlontar dari mulut Martina Hingis pada tahun 2001 dengan sasaran Williams bersaudara, Venus dan Serena.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai seorang petenis, Hingis memang terkenal tak tanggung-tanggung dengan ucapannya. Ia tak pernah ragu untuk mengkritik atau menyerang lawannya dengan kata-kata.

Tapi bukan hanya hal itu yang membuat seorang Hingis tenar di dunia olahraga.

Sebelum publik menyebut nama Roger Federer ketika kata 'tenis' dan 'Swiss' disandingkan, dunia lebih dulu mengenal Hingis sebagai fenomena tenis dunia yang berasal dari Swiss.

Kemunculan Hingis di usia muda seiring dengan invasi Williams bersaudara. Alhasil, mereka pun menjadi rival, tak hanya adu kuat di lapangan melainkan juga perang kata di luar lapangan.

Namun sebelum Williams bersaudara merajalela, Hingis lebih dulu berkuasa.

Saat Serena meraih grand slam perdananya pada tahun 1999, Hingis sudah bisa berdiri tertawa lantaran sudah mengoleksi lima gelar grand slam di tangannya. Apalagi jika dibandingkan dengan Venus yang masih nihil gelar grand slam saat itu.

Di usia 17 tahun, ia bahkan nyaris menorehkan calendar grand slam, meraih empat gelar grand slam dalam satu tahun yang sama, andai saja ia tak kalah pada babak final Prancis Terbuka di tangan Iva Majoli dari Kroasia.

Memasuki era 2000-an, taji Williams bersaudara mulai semakin menggeliat. Satu per satu gelar demi gelar grand slam mereka raih. Koleksi gelar Williams bersaudara terus menumpuk sementara Hingis hanya bisa puas memandangi lemari trofi grand slam miliknya yang tak jua bertambah.

Martina Hingis dan Sabine Lisicki ketika memenangkan gelar turnamen internasional Brisbane. (Reuters/Jason Reed)


Ironi Hingis dan Williams Bersaudara

Pedih adalah kata yang paling pas untuk menggambarkan perjalanan karier Hingis pasca 2001.

Ia harus menjalani operasi pergelangan kaki kanan pada Oktober 2001. Saat kembali bermain, Hingis sepertinya tak mengalami kendala lantaran mampu menjadi runner up di Australia Terbuka.

Namun ternyata, Hingis kembali berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa ia harus naik ke meja operasi, kali ini untuk pergelangan kaki kiri. Operasi kedua ini akhirnya benar-benar menenggelamkan kemampuan terbaik Hingis.

Ia tak lagi bisa mampu menampilkan ritme permainan seperti yang ia inginkan.

Pada Februari 2003, Hingis akhirnya mengumumkan bahwa ia pensiun dari dunia tenis profesional. Ironisnya, pengumuman pengunduran diri Hingis ini terjadi beberapa hari setelah Venus dan Serena memanggungkan 'All Williams Final' di Australia Terbuka.

Saat Williams bersaudara terus menambah koleksi gelar grand slam, Hingis mencoba untuk kembali ke dunia tenis pada 2006 dan sempat kembali ke posisi 10 besar dunia.

Namun lantaran dalam darahnya terdapat kandungan benzoylecgonine, ITF menjatuhkan sanksi dua tahun meskipun Hingis menyebutkan bahwa zat itu masuk melalui proses yang tidak sengaja.

Hingis kembali menepi dua tahun dan namanya kembali tenggelam di balik persaingan tenis dunia yang semakin sengit.

Martina Hingis dan Leander Paes memenangkan grand slam Australia Terbuka 2015 di sektor ganda campuran. (Reuters/Issei Kato)


Menelan Harga Diri

Meski tak lagi menjadi pemain profesional, Hingis tetap tak bisa jauh-jauh dari tenis.

Ia sering melakukan partai eksebisi, berlaga di turnamen untuk para mantan pemain, dan juga sempat menjadi pelatih bagi Anastasia Pavlyuchenkova dan Sabine Lisicki.

Dan cinta Hingis pada tenis pulalah yang kemudian membawanya kembali ke lapangan sebagai pemain profesional. Sejak tahun 2014, Hingis kembali berlaga di turnamen WTA sebagai pemain ganda putri dan ganda campuran.

Bagi seorang Hingis, berlaga di nomor ganda bukanlah hal mudah. Bukan soal kemampuan, karena di awal kariernya Hingis juga banyak bermain di nomor ganda dan memenangkan titel juara.

Tetapi ini soal reputasi dan harga diri mengingat nomor ganda di tenis tidaklah sementereng nomor tunggal.

Seakan tak peduli hal itu, Hingis tetap yakin pada jalannya dan membuktikan bahwa ia tetap bisa menikmati tenis dan kompetisi. Gelar juara ganda campuran Australia Terbuka 2015 kemarin menjadi bukti.

Ia tetap tersenyum gembira saat meraih trofi juara di tengah-tengah gegap gempita publik memberikan sanjungan terhadap Serena yang sukses membukukan gelar grand slam ke-19, nyaris empat kali lipat lebih banyak dibandingkan koleksi Hingis yang cuma lima.

Dari Serena, banyak orang belajar nilai kerja keras akan membawa konsistensi penampilan dalam jangka waktu panjang. Namun, dari Hingis, banyak orang belajar bahwa kegagalan tidaklah pernah berarti vonis final sampai si pelaku benar-benar menyerah pada keadaan.

"The first point is always to believe in it when you go on court and then you have the chances to win," ucap Martina Hingis suatu ketika.

Selama Hingis masih berdiri maju ke lapangan dengan percaya diri, maka selama itu pula peluang untuk menang terbuka. Pun begitu dengan semua orang di tiap kehidupannya masing-masing. (vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER