Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang masa-masa krusial dalam perjalanannya di Liga Inggris, Manuel Pellegrini diterpa isu tak sedap. Posisinya sebagai manajer Manchester City dikabarkan bisa saja digantikan oleh Carlo Ancelotti, Diego Simeone, Pep Guardiola, atau bahkan Brendan Rodgers.
Rumor ini merebak setelah City mengalami dua kekalahan beruntun dari Barcelona dan Liverpool.
Musim ini City sendiri telah disingkirkan dari Piala FA oleh Middlesbrough, sehingga Liga Champions dan Liga Inggris menjadi dua ajang tersisa bagi City untuk mendapatkan piala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun kekalahan dari
Blaugrana di Etihad membuat Vincent Kompany dkk kini memiliki misi berat harus menang di Camp Nou. Sementara itu, ditundukkan Liverpool menjadikan selisih angka dari Chelsea di puncak klasemen tak kian menipis, tetap hanya lima angka dengan The Blues masih mengantongi satu pertandingan tersisa.
Sepintas, kabar akan dilepasnya Pellegrini terdengar kejam. Bagaimana pun juga, pria berusia 61 tahun itu adalah pelatih yang membawa dua gelar untuk City dalam musim pertamanya sebagai pelatih. Mengapa tidak memberikan waktu lebih banyak pada pelatih yang jelas-jelas terbukti mampu mempersembahkan piala?
Dengan menggunakan alasan bahwa setiap pelatih butuh waktu untuk merekatkan timnya pun, manajemen Man City semestinya bisa memaafkan jika Pellegrini memang tak bisa mendapatkan gelar apapun musim ini.
Namun ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan City jika ingin tetap mempertahankan Pellegrini dari sekadar "harus memberikan waktu bagi seorang manajer."
Bukan Soal Gelar Liga InggrisSebelum Pellegrini direkrut pada musim panas 2013 silam, Chief Executive Officer City, Ferran Soriano, berkata bahwa klubnya harus mampu untuk merebut lima gelar dalam lima musim.
Meski perkataan ini kemudian dibantah oleh Pellegrini dengan berkata bahwa ia tak pernah diberikan target harus mendapatkan sejumlah gelar tertentu, ucapan Soriano memberikan gambaran konteks lebih luas tentang target City sebagai klub. Bahwa seberapa dalam pun kocek pemilik City, mereka bukan ingin menjadikan kesebelasan kota Manchester ini sebagai mesin penghabis uang, namun klub dengan reputasi prestasi yang baik.
Semenjak Sheik Mansour datang ke Liga Inggris lima tahun lalu, ia telah menanamkan ratusan juta poundsterling untuk mendatangkan berbagai bintang kenamaan. Namun, hingga kini ia hanya memiliki empat piala untuk dibanggakan yaitu dua gelar Liga Inggris, satu piala FA, dan satu Piala Liga.
Mantan manajer Manchester United, Sir Alex Ferguson, pun pernah menyoroti kegagalan City menjadi klub raksasa. Menurutnya, dengan deretan pemain bintang yang dimiliki City, seharusnya mereka telah menjadi kekuatan baru dari Inggris.
Namun nyatanya City tak mampu tampil dominan dan hanya bisa meraih gelar liga di menit-menit terakhir. "Mengapa hal ini bisa terjadi?" tanya Ferguson dalam buku otobiografinya.
Namun kegagalan paling kentara adalah di kompetisi level teratas di Eropa yaitu di Liga Champions. Baik Roberto Mancini maupun Manuel Pellegrini sama-sama belum menemukan cara untuk membuat City bisa melangkah jauh di Liga Champions.
Alih-alih merasakan panasnya suhu pertarungan partai final, salah satu klub terkaya di Eropa ini belum pernah melangkah lebih jauh ketimbang 16 besar. Rekor buruk ini juga kemungkinan besar akan terulang, jika di Camp Nou nanti City tak bisa menemukan minimum tiga gol untuk mengejar keunggulan gol tandang yang sudah dkantongi Barcelona.
Minim prestasi di Eropa itu mau tak mau menjadikan City tetap dipandang sebelah mata dan belum bisa disejajarkan dengan klub elit lainnya seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester United, atau Bayern Munich.
Dan beban inilah yang seolah tak dipahami Pellegrini. "Piala memang penting, tapi bukan yang paling penting," ujarnya dalam sesi jumpa wartawan sebelum laga melawan Leicester.
 Dua gol yang dicetak Luis Suarez membuat Barcelona unggul di kandang City. (Reuters / Darren Staples) |
Bertaruh pada Hal Pasti Terlihat dari luar, bergonta-ganti pelatih memang tak baik bagi stabilitas tim. Seorang pelatih baru akan membawa ide-ide baru dan ingin membangun tim dengan pemain pilihannya.
Apalagi jika berbicara soal merebut piala dan menjadi raksasa di kompetisi Eropa. Real Madrid menjadi bukti bagaimana memiliki deretan pemain bintang bintang dan deretan pelatih papan atas tak serta merta membuat mereka mudah merebut La Decima, atau gelar Liga Champions ke sepuluh.
Ada jarak terentang selama satu dekade antara gelar ke sembilan Madrid dengan La Decima. Pada periode tersebut, ada nama-nama seperti Carlos Quieroz, Jose Antonio Camacho, Mariano Remon, Fabio Capello, Bernd Schuster, Juande Ramos, atau Jose Mourinho yang gagal memberikan gelar Liga Champions.
Namun, hanya ada satu pertanyaan bisa dilontarkan oleh manajemen City ketika memutuskan Pellegrini masih pantas untuk meneruskan jabatannya sebagai pelatih atau tidak: "apakah masih percaya Pellegrini mampu menjadi nahkoda yang membuat City menjadi raksasa Eropa?"
Jika melihat deretan prestasi yang pernah didapatkan Pellegrini sebagai pelatih, sesungguhnya Sang Profesor tak memiliki dasar kuat bisa melakukannya. Hingga saat ini, gelar tertinggi di Eropa yang pernah didapatkannya hanyalah gelar Liga Inggris musim lalu dan gelar Piala Intertoto bersama Vilarreal 2004 silam.
Usianya yang sudah menginjak kepala enam pun menunjukkan bahwa ia berpengalaman, namun mungkin tak lagi memiliki peluru apapun dalam simpanan. Bahwa taktik dan strategi yang telah ia tunjukkan selama dua musim di City adalah puncak penampilannya sebagai pelatih
Mengganti seorang manajer seperti Pellegrini hanya dalam dua musim memang terdengar sedikit kejam. Tapi, apabila para petinggi Man City benar-benar berambisi ingin menjadikan City klub dengan reputasi sebanding dengan ratusan juta poundsterling yang telah mereka keluarkan, mereka pasti akan berpikir untuk mencari pelatih nomor satu.
Pelatih-pelatih seperti Carlo Ancelotti, Pep Guardiola, Fabio Capello, atau bahkan Jose Mourinho sekali pun yang terbukti sukses pernah menangani klub raksasa lainnya. Para pelatih yang tahu caranya mengendarai tim yang didorong mesin pemain nomor satu seperti Man City.
Setidaknya, yang bisa Man City lakukan adalah mendapatkan pelatih yang tidak akan berkata bahwa: "Piala memang penting, tapi bukan yang paling penting."
(vws)