Duel Dua Raksasa Inggris yang Terancam Hilang Ditelan Waktu

Martinus Adinata | CNN Indonesia
Minggu, 22 Mar 2015 13:29 WIB
Tak ada gelar yang diperebutkan oleh dua klub terbesar Inggris, Man United dan Liverpool, dalam laga akbar pada Mingu (22/3) di Stadion Anfield nanti.
Meski masih mencatatkan diri sebagai dua klub Liga Inggris dengan gelar terbanyak, Liverpool dan Manchester United hanya berebut satu tiket ke zona Liga Champions musim ini. (CNN Indonesia/Fajrian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jika memegang jumlah gelar dan dukungan global sebagai patokan, Liverpool dan Manchester United masih memegang gelar sebagai dua klub terbesar Liga Inggris. Namun pertandingan keduanya pada Minggu (22/3) seolah menjadi pertanda bahwa keduanya kini harus berpacu dengan waktu.

Untuk pertama kalinya sejak 1971 silam, salah satu dari kedua tim ini tak akan berada dalam perebutan gelar juara. Ya, di Stadion Anfield nanti, keduanya hanya bertarung untuk mendapatkan satu tiket ke Liga Champions.

Kedua kesebelasan yang sama-sama mengenakan warna merah ini pun harus menerima kenyataan bahwa ketika mendongak ke atas klasemen, mereka harus melihat dua klub yang ditopang oleh kekayaan hartawan Rusia dan Timur Tengah, Chelsea dan Manchester City, yang tampaknya tak akan tergoyahkan dalam musim-musim ke depan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak bisa sekadar mengandalkan nama besar di masa lalu, baik Man United dan Liverpool kini memang harus berusaha untuk mengejar ketertinggalan mereka. Satu tiket ke kompetisi teratas Eropa pun diperebutkan bukan sekadar demi gengsi, namun memastikan klub memiliki pasokan pundi-pundi uang agar bisa tak terlalu tertinggal dari Chelsea atau Man. City.

Liverpool Mencari Sisa-Sisa Kejayaan

Liverpool sendiri berpacu dengan waktu untuk kembali menemukan tempat mereka di jajaran elit Inggris. Bukan hanya soal kebangaan, namun soal yang lebih mendasar lagi dalam keberlangsungan klub yaitu mempertahankan pemain-pemain bintang mereka, satu hal yang tak mampu mereka lakukan saat kehilangan Luis Suarez pada musim panas lalu.

Meski The Reds musim ini berhasil lolos ke Liga Champions, Suarez akhirnya hengkang ke Barcelona, meninggalkan lubang di lini depan The Reds yang pada musim lalu tampak siap menjebol gawang siapapun. Lagipula, pemain mana yang bisa menolak tawaran klub raksasa Eropa?

Hilangnya Suarez juga bukan kali pertama kubu Anfield kehilangan pemain bintang mereka, karena gagal berpacu dengan waktu.

Sebut saja pemain-pemain bintang yang pernah mengenakan seragam merah seperti Xabi Alonso, Javier Mascherano, Raul Meireles, hingga Fernando Torres, yang memilih untuk hijrah agar mampu mendapatkan trofi, yang tampaknya menjadi barang langka di Liverpool.

Namun realitas berbicara lain, kejayaan The Reds di Liga Primer sudah lama berakhir, status 18 kali gelar juara tak lagi membuat gentar tim lawan. Bahkan status tersebut terkadang menjadi ejekan tim lain, seperti saat suporter Blackburn mengolok-olok The Reds yang rutin puasa gelar di Liga Primer.

Fakta telah membuktikan bahwa usaha Liverpool untuk berpacu dengan waktu di setiap musimnya, mayoritas berujung pada kekecewaan suporter.

Bahkan, layaknya drama di setiap musim yang terus berulang, musim ini mereka kembali berpacu dengan waktu untuk meraih empat besar atau terancam kehilangan pemain mereka (lagi).

Kontrak Raheem Sterling yang tampaknya sudah menjadi opera sabun, misalnya. Pemain berusia 20 tahun tersebut mungkin saja akan hengkang dari Anfield jika Liverpool gagal masuk ke empat besar pada akhir musim nanti.

Berbeda dengan ketika akan kehilangan Suarez, banyak dari suporter Liverpool yang tak bermasalah jika pemain tim nasional Inggris tersebut dijual dengan harga pantas.

Sterling memang merupakan pemain muda potensial, yang terbukti memiliki kualitas teknik yang brilian, tetapi belum teruji secara prestasi. Namun, dampak yang akan dialami oleh Liverpool jika ditinggal Sterling dirasa tak akan lebih besar seperti saat mereka ditinggal Suarez.

Akan tetapi, jika Sterling pada akhirnya hengkang, hal ini hanya akan semakin memperjelas fakta bahwa Liverpool tak kunjung mampu mengatasi waktu dan mengembalikan kejayaan mereka yang kini hanya tinggal kisah pengantar tidur semata.

Luis Suarez kini telah hijrah ke Barcelona setelah dibeli pada musim panas lalu. (REUTERS/Gustau Nacarino)


Parodi (Gagal) Louis van Gaal

Sama sepeti rival abadi mereka, United juga berpacu dengan waktu untuk segera mengembalikan status mereka sebagai tim besar, sebelum mereka semakin tenggelam.

Sejak ditinggal Ferguson, di bawah asuhan 'The Choosen One', David Moyes, Setan Merah hanyalah menjadi tim pelengkap di papan tengah Liga Primer.

Kini Louis Van Gaal yang didaulat sebagai penyelamat muka United, saat ini tampaknya harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan mukanya terlebih dahulu.

Mengapa? Dengan rentetan curriculum vitae (CV) yang mentereng dari mantan pelatih Belanda tersebut, kegagalan di United setelah menggelontorkan banyak uang akan membuat nama Van Gaal menjadi lelucon kedua Old Trafford setelah Moyes.

Bahkan, musim ini para suporter United terancam kembali tertunduk lesu, setelah menyaksikan tim mereka --setelah mengeluarkan lebih dari 150 juta poundsterling di bursa transfer-- alih-alih bersaing memperebutkan gelar Liga Primer, hanya berupaya untuk merebut tempat keempat.

Bukan berarti Van Gaal benar-benar gagal di United. Keberhasilannya untuk mengembalikan 'keangkeran' Old Trafford setelah era Moyes perlu mendapatkan apresiasi.

Bahkan United memuncaki klasemen kandang Liga Primer dengan total 37 poin dari 15 pertandingan, unggul satu poin dari pemimpin klasemen sementara, Chelsea yang baru tampil 14 kali di Stamford Bridge.

Catatan tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan era Moyes. Manajer yang kini menangani Real Sociedad di Spanyol tersebut 'menodai' nama Old Trafford setelah musim lalu Setan Merah ditaklukkan di hadapan pendukung mereka sendiri sebanyak tujuh kali.

Akan tetapi sekedar mengembalikan kebesaran nama Old Trafford tak akan cukup untuk membayar ratusan juta poundsterling yang telah digelontorkan oleh manajemen United.

Jika --mengambil ucapan Van Gaal-- United merupakan tim yang 'lebih besar' dibandingkan dengan Real Madrid, mereka harus mulai menunjukkan hal tersebut di lapangan.

David Moyes sempat membuat pendukung Man United tertunduk lesu sepanjang musim. (Getty Images/Juan Manuel Serrano Arce)


Menunggu Momen Dramatis

Kini suporter kedua tim harus mau mengakui bahwa tim kesayangan mereka tak lagi bersaing mengejar trofi juara. Kedua mantan penguasa Inggris ini sama-sama memiliki musuh yang sama, yakni waktu.

Jika mampu mengalahkan waktu, Liverpool akan dapat mempertahankan pemain-pemain mereka dan (mungkin) akan mengembalikan status mereka sebagai penguasa Inggris.

Begitupula United, mereka harus mau berkaca pada Liverpool, yang setelah tersingkir dari singgasananya di empat besar, begitu kesulitan untuk mengembalikan posisi mereka.

Akan tetapi tak dapat dipungkiri, duel Liverpool-Man Utd nanti, selalu menghadirkan momen-momen dramatis. Mulai dari rivalitas suporter dengan ejekan-ejekannya, pertemuan Roy Keane dengan Steven Gerrard muda, Diego Forlan yang tiba-tiba menjadi pahlawan United, gol spektakuler John Arne Riise, hattrick Dirk Kuyt, hingga drama tiga penalti Gerrard, Maret 2014 silam.

Jadi apakah yang akan terjadi Minggu nanti? Aksi magis Philippe Coutinho? Kebangkitan Falcao? Brendan Rodgers yang kembali ditertawakan suporter United? Atau tarian aneh ala Alberto Moreno?

Tak ada yang dapat mengetahuinya dengan pasti. Namun satu hal yang pasti, selain gengs, tak ada gelar yang akan diperebutkan di pertandingan tersebut. (vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER