Vetriciawizach
Vetriciawizach
Pernah bekerja di Pikiran Rakyat dan menjadi editor di Pandit Football Indonesia. Senang menulis dan menyaksikan Liverpool di layar televisi. Kini menjadi redaktur olahraga CNN Indonesia.

Memahami Kebesaran Mayweather Jr.

Vetriciawizach | CNN Indonesia
Senin, 04 Mei 2015 20:18 WIB
Sebagai seorang petinju, Floyd Mayweather Jr. tak terkalahkan. Namun ia tak pernah merebut hati para pecinta tinju di seluruh dunia.
Floyd Mayweather Jr mengalahkan Manny Pacquiao dalam laga Fight of The Century di Las Vegas pada Sabtu (2/5) waktu setempat. (Getty Images/Al Bello)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Entah apa yang berkelebat di benak Floyd Mayweather Jr. malam itu. Gelar dan sabuk juara memang sudah dalam genggaman, namun telinganya tak mungkin salah menangkap suara yang menggema dalam ruangan hotel MGM Grand Arena, Las Vegas.

Ia yang baru saja mengokohkan status tak terkalahkan dihadiahi cemoohan oleh ribuan orang.

Tak mau menundukkan kepala, Mayweather Jr. berjalan ke sudut ring. Kepalanya ditegakkan dan tangannya direntangkan, menantang suara-suara ejekan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

I told you so. I told you so.

(“Bukankah aku pernah memberitahumu bahwa aku akan menang?”)

Tapi suara-suara itu tak mau bungkam. “Booo,” ujar mereka yang setengah jam sebelumnya menggaungkan rapal “Manny! Manny! Manny!”

Las Vegas sendiri bukannya tak akrab bagi Mayweather. Dalam 11 laga terakhir, Money Man selalu memilih kota di Nevada tersebut sebagai tempat bertarung. Ia kenal setiap centi meter dari sudut ring. Ia hapal sorotan lampunya. Ia akrab dengan suara Jimmy Lennon yang memperkenalkan namanya sebelum memasuki ring.  

Hanya saja kali ini publik memutuskan untuk membalikkan badan kepada Si Anak Rupawan – The Pretty Boy, julukan yang ia tanggalkan ketika mengandaskan Si Anak Emas dunia tinju Oscar de La Hoya pada 5 Mei 2007.

Yang ditawarkan oleh Mayweather Jr. kini tak cukup lagi untuk memuaskan dahaga mereka.

Bukan juara yang merunduk dan menunduk. Yang mereka inginkan adalah sang petarung yang berulang kali maju dan menyerang, meski jangkauan tangannya tak sepanjang lawan. Yang mereka inginkan adalah Pacquiao si agresif yang mencium darah lawan dan mengejarnya hingga ke sudut ring.

“Manny! Manny! Manny!”

II


Dalam esainya di Grant Land, Louisa Thomas, menjabarkan perbedaan seorang boxer dan fighter dengan sangat baik. Fighter, menurutnya, mengimplikasikan perjuangan melawan kesukaran, yang dicerminkan dengan adanya agresi berlebih – keinginan atau dorongan liar untuk menyalurkan luka di dalam batin kepada dunia luar.

Boxer berbeda. Dalam definisi harafiah, boxer bermula dari kata box yang menyaratkan adanya geometri – garis dan sudut—sekaligus juga menjadi barang untuk menyimpan sesuatu.

Dalam konteks inilah Mayweather Jr. terlihat menjadi seorang maestro boxer. Tangan kiri selalu ia gunakan untuk mengukur lawan dengan jab ringan. Menggoda namun sekaligus juga meyakinkan para juri bahwa ia melayangkan lebih banyak pukulan ketimbang Pacquiao.

Mayweather Jr. bergerak seperlunya. Cepat, terukur, dan lebih sering untuk menghindar pukulan lawan. Kadang ia berlari ke sudut ring, kadang justru mengambil inisiatif terlebih dahulu, seperti yang sekilas terlihat di ronde-ronde akhir. Begitu melihat celah, maka ia akan segera melayangkan pukulan tangan kanan untuk menyerang balik. Begitu seterusnya, ronde demi ronde, hingga waktu menunjukkan tiga puluh enam menit dan pertarungan usai.

Begitu dingin dan efisien.

Satu-satunya emosi yang terlihat di mukanya adalah ketika ia terdorong ke tali ring. Sambil menggelengkan kepala, Mayweather Jr. berkata “tidak” kepada Pacquiao yang baru saja mendaratkan pukulan ke mukanya.  

(“Tidak, PacMan. Ini tidak melukaiku”)

Menanggapi cemoohan penonton, Floyd Mayweather Jr. hanya merentangkan tangan. (Reuters/Joe Camporeale)


III


Ada banyak alasan orang menyukai dan tergila-gila pada olahraga. Ada banyak juga analisis yang menjelaskan mengapa olahraga sebagai hiburan demikian digandrungi, entah itu sepak bola, bulu tangkis, hingga pertarungan brutal seperti tinju.

Salah satu penjelasan yang paling saya suka adalah karena tak dibutuhkan seorang jenius untuk memahami jenius olahraga. Misalnya saja Lionel Messi atau Ronaldinho. Anda tak perlu pintar bermain bola atau jadi seorang ahli matematika untuk mengetahui bahwa mereka memiliki teknik luar biasa.

Anda cukup merasakannya dengan raga. Entah Anda seorang anak kecil berumur lima tahun, atau seorang kakek bercucu lima, tubuh Anda akan bereaksi secara otomatis ketika Anda menyaksikan suatu keajaiban di arena olahraga.

Bokong Anda akan bergeser secara otomatis mendekati pinggiran kursi. Tubuh Anda akan seperti terkena sengatan listrik dan bahkan bergoyang ke kiri dan ke kanan mengikuti gerak yang Anda saksikan di depan mata. Dan, meminjam ungkapan seorang jurnalis The Guardian, Sid Lowe, mungkin Anda pun akan sedikit mengumpat secara otomatis.

Ada reaksi naluriah ketika Anda menyaksikan Messi menggocek bola melewati beberapa pemain dan kemudian mencetak gol dengan tendangan voli kaki kiri yang indah. Ada sesuatu yang liar dalam diri Anda ketika menyaksikan seorang petenis seperti Rafael Nadal mengirimkan bola tanpa bisa dijangkau lawan.

Otak Anda tak perlu angka-angka untuk menyadari bahwa suatu pukulan atau tendangan adalah sesuatu yang spesial, sebagaimana rasa Anda tak butuh alasan untuk mengenali suatu keberanian.

Karenanya, ketika Barcelona mendominasi suatu pertandingan dengan penguasaan bola total, namun Anda bereaksi dengan mengatakan bahwa hal itu membosankan pun sah-sah saja. Tak mungkin Anda mengatakan sesuatu hal adalah indah, ketika tubuh Anda tidak merasakannya sendiri.
    
(“Manny! Manny! Manny!”)

IV


Tinju punya dua wajah. Ia adalah bentuk olahraga paling liar sekaligus juga paling mulia.

Di atas ring tinju hanya ada dua manusia saling coba mengalahkan tanpa dibatasi sesuatu apapun. Tanpa bola. Tanpa alat. Tanpa berlindung di balik rekan satu tim. Tanpa pengaruh teknologi. Tanpa ruang untuk bersembunyi, karena secara langsung petinju memang tak mungkin keluar dari arena ring.

Dalam tinju hanya ada dua manusia memperebutkan kemenangan, meski artinya harus melukai lawan dan membuat darah mengucur dari pelipis – satu hal yang sering dijadikan simbol kebarbaran dan betapa tertinggalnya peradaban seseorang yang masih mengandalkan kekerasan.

Namun, tak ada olahraga lain yang mengekstraksi karakter seseorang ketimbang tinju. Seberapa berani engkau menghadapi pukulan lawanmu, tak berkaitan dengan latar belakang atau pendidikanmu. Di atas ring tinju lah, lahir raksasa-raksasa yang dikenang sepanjang masa karena kebesaran hati dan kenginan kuat untuk melawan – bahkan ketika kalah – dan menembus batas diri mereka sendiri.

Karena itulah karakter dan kepribadian selalu menjadi bagian penting dan selama berpuluh-puluh tahun dijual sebagai atraksi dari tinju. Bukan sekadar geometri dan taktik.

Tak sulit membayangkan, sebenarnya apa yang dilakukan Mayweather Jr sehingga ribuan orang membayar mahal hanya untuk melihat dirinya  dipukuli petinju lain?

V

David Halberstam pernah menuliskan satu frasa favorit saya tentang Joe Frazier yang menjalani trilogi pertarungan dengan Muhammad Ali. “Sebagai yang menderita dua kekalahan dari tiga pertarungan, tampaknya Frazier tak mengerti bahwa mereka memuliakannya sama besar dengan Ali.”

“Karena, satu-satunya cara kita memahami kebesaran Ali adalah melalui kebesaran lawan-lawannya.”

Dalam kariernya, Mayweather Jr pernah mengalahkan yang terbaik. Ia menundukkan Miguel Cotto, Oscar de la Hoya, Juan Manuel Marquez, Shane Mosley, Ricky Hatton, Zab Judah, dan tentu saja Manny Pacquiao.

Bahwa seluruh petinju tersebut tak pernah bisa membuat muka Mayweather Jr. babak belur menjadi tanda kelihaiannya memainkan tinju sebagai suatu permainan: memukul dan menghindar dari pukulan.

Prihal para penonton yang bereaksi mengelu-elukan nama Manny, saya kira ia pun tak benar-benar peduli. Demikian pula dengan kesulitan orang-orang ‘biasa’ untuk memahami kejeniusannya dalam taktik dan geometri. Saya rasa Mayweather Jr. tak memusingkannya.

Dalam sesi wawancara seusai pertarungan, ia pun mengakuinya sendiri. Kecintaannya pada tinju telah hilang bertahun-tahun lalu. Memasuki arena ring hanya sekadar menjadi pekerjaan yang sangat pandai ia lakukan. Ini bukan masalah karakter dan keberanian dan menjadi raksasa.

Apa boleh bikin! (vws)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER