Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Don't change the winning team, atau jangan ganti/jual tim juara adalah frasa yang umum diutarakan ketika sebuah tim sepak bola meraih kesuksesan. Maksud dari frasa ini bukanlah tetap mempertahankan keseluruhan tim, melainkan menjaga baik-baik para pemain yang menjadi fondasi permainan.
Ini yang menjadi kunci Jose Mourinho dalam membawa Chelsea kembali menjadi juara Liga Inggris. Prinsip ini juga yang membuat Barcelona menguasai Liga Spanyol dan menjadi tim raksasa Eropa dalam dua dekade terakhir.
Barcelona sendiri bukan sekadar Lionel Messi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun penyerang asal Argentina itu membantu Barcelona mendulang banyak gol, nyatanya ada anggota tim lain yang mendukung Messi. Xavi Hernandez dan Andres Iniesta adalah duet gelandang yang menopang Messi dari lini tengah. Untuk mengadang bola mengarah ke gawang sendiri, ada gelandang perusak seperti Sergio Busquets.
Xavi sudah menua dan kini ia diganti Ivan Rakitic. Sama halnya ketika ia mulai mengisi posisi yang ditinggalkan Pep Guardiola di lini tengah Barcelona.
Regenerasi, bukan menjual tim juara.
Itulah kata kunci Mourinho sukses bersama Chelsea. Meskipun memiliki dana tak terbatas dari pemilik klub, Roman Abramovich, Mourinho bukan hanya mencari pemain bintang kelas dunia. Ia juga disokong tim pemandu bakat yang ciamik untuk mencari talenta muda yang bisa meregenerasi pemain yang mulai menua atau bintang yang meredup.
Seperti Thibaut Courtois yang menggantikan dewa di bawah mistar gawang Chelsea, Petr Cech.
Tim juara dengan para pemain bermental juara dan pejuang.
Mourinho memanggil kembali Didier Drogba ke tanah Inggris bukan tanpa sebab -- ajakan yang dengan senang hati disambut penyerang veteran asal Pantai Gading tersebut. Dalam pernyataannya setelah trofi juara Liga Inggris diberikan kepada Chelsea akhir pekan lalu, Mou mengaku sedih karena generasi emas saat ia membangun Chelsea pada awal dekade lalu telah mulai hilang. Tinggal tersisa sang kapten, John Terry yang mengayomi para juniornya, generasi baru
The Blues.
Bagaimana dengan Real Madrid? Tak banyak perubahan di tim asal ibu kota Spanyol tersebut. Masih sama ketika mereka merebut trofi Liga Champions ke sepuluhnya pada musim 2013/14. Namun, badai cedera yang menerpa lini tengah Madrid bisa dibilang menjadi momok yang merugikan klub tersebut. Berbeda halnya dengan rival sejati mereka, Barcelona yang terhitung lebih fit sepanjang musim ini.
 Real Madrid tak menggunakan banyak pemain baru di musim 2014/2015. (REUTERS/Sergio Perez) |
Walaupun begitu, di atas lapangan, ada pula keberuntungan dan kesempatan.
Tim yang akan menang tak hanya ditentukan oleh kapabilitas para pemain dan keciamikan pelatih. Misalnya yang terjadi ketika Juventus menyingkirkan Real Madrid di semifinal Liga Champions 2014/15.
Menang 2-1 pada leg pertama di Stadion Juventus, tim Nyonya Tua berhasil menahan imbang Real Madrid 1-1 pada leg kedua yang berlangsung di Santiago Bernabeu, Kamis (14/5) dini hari WIB.
Mental juara, itu juga yang menjadi resep Madrid saat meraih trofi Liga Champions kesepuluh pada musim 2013/14. Ketinggalan lebih dulu, Madrid berhasil menyamakan kedudukan 1-1 pada menit akhir waktu normal. Setelah itu, lawannya, yang merupakan tim satu kota, Atletico Madrid, kewalahan. Akhirnya Madrid berhasil unggul tiga gol di babak tambahan.
Mungkinkah penjualan Raja Assist Angel Di Maria dengan harga fantastis, 59,7 juta poundsterling, ke Manchester United sebagai salah satu dari keputusan salah mengganti 'tim juara ' Madrid?
Di Maria sendiri terlihat tak bahagia bermain di Inggris dengan statistik yang hanya mentereng pada seperempat paruh pertama musim.
Selebihnya, gelandang internasional Argentina itu hanya menjadi penghias bangku cadangan atau cedera. Sepanjang musim ini, Di Maria hanya bermain 27 pertandingan di Liga (1.639 menit), mencetak tiga gol, dan menyumbang 11 assists.
Lain halnya ketika Di Maria belum merumput di Inggris. Di Maria terlihat lebih dominan dan nyaris selalu diturunkan di setiap pertandingan.
Menjual tim juara, itulah yang dilakukan Liverpool di musim 2014/15. Pemilik Liverpool dan juga Manajer Liverpool telah menjual aset paling berharga yang membawa tim itu berjaya pada musim 2013/14 -- menantang Manchester City dalam perebutan gelar liga.
Luis Suarez yang merupakan amunisi utama The Reds dijual dengan harga selangit pada akhir musim 20013/14. Padahal, duetnya dengan Daniel Sturridge dengan disokong Raheem Sterling merupakan jaminan mutu untuk memborbardir gawang lawan.
Kehadiran Rickie Lambert dan Mario Balotelli tak dapat menyamai rekor pendahulunya. Apalagi ketika Sturrrdige cedera dan Sterling dipaksakan menjadi seorang ujung tombak. Malah Gerrard yang menjaddi topskor bagi klub tersebut musim ini di Liga Inggris dengan torehan sembilan gol.
Bahkan, di dua laga terakhir yang seharusnya menjadi laga paling emosional bagi sang kapten, Liverpool harus terpuruk lewat dua kekalahan memalukan.
Rodgers atau pemilik Liverpool tampaknya tak menyadari sejarah yang kerap berulang terjadi pada klub itu. Ketika tim itu berhasil mencapai puncak atau tampil impresif, di musim berikutnya menjual pemain inti dan terseok di papan tengah.
Kini semua liga besar di Eropa sudah berakhir. Tinggal Italia yang menyisakan satu pekan lagi dan pusat perhatian para penggemar berbentuk 'bola liar' di bursa transfer.
Apakah Liverpool akan kunjung sadar?
(vws)