Jakarta, CNN Indonesia -- Dengan populasi sekitar 49.500 orang, Kepulauan Faroe memiliki perenang jarak jauh, Pal Joensen, sebagai bakat olahraga paling terkenal dari negara tersebut. Setidaknya hal itu yang terjadi sejak Joensen memenangi medali emas di Kejuaraan Junior Eropa pada 2008 silam hingga pertengahan Huli.
Kesuksesan Joensen mengagetkan panitia penyelenggara, terutama karena mereka tidak menyiapkan bendera Kepulauan Faroe di prosesi penyerahan medali.
Tujuh tahun kemudian, perenang berusia 24 tahun itu menjadi peraih dua medali emas di kejuaraan Eropa, dan perenang terbaik kedua di Eropa setelah Gregorio Paltrinieri dari Italia. Ia juga bersiap untuk menjajal Kejuaraan Dunia pertamanya di Kazan pekan ini dengan mengikuti nomor 800 meter dan 1500 meter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, status Joensen sebagai atlet nomor satu di kepulauan yang terletak di Atlantik Utara itu kini terancam oleh tim nasional sepak bola yang kian mendapatkan momentum.
Sebelum November, kesuksesan terbesar timnas Kep. Faroe terjadi pada 1990 ketika mereka mencatatkan kemenangan 1-0 atas Austria. Namun kemenangan tandang dan kandang mereka atas Yunani pada tahun ini membuat Kep. Faroe membuat lompatan ajaib di peringkat dunia FIFA, tepatnya dari peringkat 183 ke peringkat 74 dunia.
"Kini jumlah orang di seluruh dunia yang mengetahui keberadaan Kep. Faroe meningkat sepuluh kali lipat," kata Joensen kepada
Reuters.
"Memenangi laga sepak bola adalah cara yang efektif untuk membuat dunia tahu kami di mana," kata sang perenang mengenai kesuksesan negaranya menembus peringkat 100 besar dunia untuk pertama kali dalam sejarah.
"Saya harap hal ini akan menginspirasi penduduk Faroe lainnya untuk tidak melihat diri kami sendiri sebagai komunitas di pulau kecil. Untuk mengatasi keterbatasan, kami membutuhkan kebanggaan dan keinginan kuat."
Masalah utama Kep. Faroe bukan hanya minim sumber daya manusia, namun juga fasilitas. Dengan kontur tanah yang berbatu-batu, sulit untuk membangun jalanan dan tanah lapangan yang datar.
Hingga 1988, Kep. Faroe hanya memiliki satu lapangan yang terbuat dari aspal. Pertama kalinya Kep. Faroe bertanding secara kompetitif di bawah FIFA pada kualifikasi Piala Eropa 1992 silam, mereka meminjam lapangan di Swedia.
Hal ini berubah ketika Kep. Faroe bersiap mengikuti kualifikasi Piala Dunia 1994. Para pekerja desa Toftir yang bekerja tanpa dibayar membangun sebuah stadion yang memenuhi standar UEFA.
Tapi bukan berarti masalah Kep. Faroe berhenti begitu saja. Selama lebih dari 20 tahun mereka terus menjadi bulan-bulanan Eropa. Pada 2008, Kep. Faroe juga berada di peringkat tiga terbawah dunia -- tertinggal dari Kepulauan Cayman, Bhutan, Aruba, dan Comoros.
Di kualifikasi Piala Eropa 2016, keberuntungan Kep. Faroe terlihat belum akan berubah setelah mereka mendapatkan nol poin di tiga laga pertama melawan Finlandia, Irlandia Utara, dan Hungaria. Namun, secara mengejutkan mereka bisa mendapatkan kemenangan tandang pertama dalam 13 tahun terakhir ketika menghadapi Yunani di kota Piraeus.
Kep. Faroe menang 1-0 dan satu-satunya gol dicetak oleh Joan Edmundsson.
Kekalahan 0-1 dari Rumania di laga selanjutnya tak membuat rasa optimistis penduduk Faroe hilang. Menjamu Yunani di hadapan penggemar sendiri, total tiket 4700 terjual habis.
Mimpi Kep. Faroe pun terwujud menjadi nyata. Skuat yang terdiri atas nelayan, pekerja konstruksi, dan guru sekolah itu menang 2-1 dan melengkapi kemenangan beruntun atas tim negeri pada Dewa yang terdiri atas pemain Bayer Leverkusen, Benfica, Borussia Dortmund, AS Roma dan Sunderland.
Kesuksesan itu membuat peringkat dunia FIFA negara yang terdiri atas 18 pulau itu melonjak tinggi. Mereka melampaui 113 peringkat dan kini duduk di atas negara seperti Uzbekistan, Montenegro, Moroko, Finlandia, Saudi Arabia dan tentu saja Indonesia.
Mimpi Kep. Faroe kini semakin jauh lagi. Berada di peringkat empat Grup F, kini Kep. Faroe untuk pertama kalinya dalam sejarah ingin menembus putaran final Piala Eropa.
(vws)